Headline
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Masalah kesehatan mental dan obesitas berpengaruh terhadap kerja pelayanan.
MAHKAMAH Konstitusi menolak permohonan 12 orang mahasiswa terkait uji Pasal 12 dan Pasal 93 huruf m Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Kedua belas pemohon dimaksud yakni Josua A.F. Silaen, Rolis Barson Sembiring, Sheehan Ghazwa, Bima Saputra, Michael Purnomo, Marvella Nursyah Putri, Ahmad Ghiffaru Rizqul Haqq, Muhammad Nugroho Suryo Utomo, Fathor Rahman, Agusta Richi Fugarsyah, Bagus Septyan Fajar, dan Nobval Fahrizal Gunawan.
“Menolak permohonan para Pemohon untuk semuanya,” demikian disampaikan oleh Ketua MK Suhartoyo membacakan Putusan Nomor 134/PUU-XX/2023, Kamis (21/12).
Sebelumnya, para pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 12 huruf l dan Penjelasannya, Pasal 93 huruf m dan Penjelasannya UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1), ayat (5), dan ayat (6); Pasal 28D ayat (1); Pasal 28F; dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Menurut para Pemohon sebagai penyelenggara pemilihan umum termasuk pemilu calon presiden dan wakil presiden, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) memiliki peran strategis dalam menentukan masa depan bangsa Indonesia.
Baca juga : MK Tetapkan Penarikan Kembali Permohonan Pengujian UU TNI
Oleh karenanya, KPU dan Bawaslu perlu diberikan kewenangan untuk melakukan penelitian khusus tentang rekam jejak pasangan calon (presiden/wakil presiden) yang telah terdaftar dan terverifikasi, meliputi rekam medis kesehatan fisik, mental dan psikologi, rekam jejak tindak pidana korupsi, pencucian uang, pelanggaran HAM, penculikan aktivis, penghilangan orang secara paksa, dan lainnya. Hasil dari penelitian khusus tersebut diumumkan kepada masyarakat selambat-lambatnya pada hari terakhir masa kampanye pasangan calon.
Baca juga : Aturan Batas Usia Notaris Diuji ke MK
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan, secara struktur, norma Pasal 12 huruf I dan Pasal 93 huruf m UU Pemilu dirumuskan sebagai ketentuan yang bertujuan membuka kemungkinan adanya penambahan tugas yang dapat diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan perkataan lain, Pasal 12 huruf I dan Pasal 93 huruf m UU Pemilu secara sengaja (intentionally) dirumuskan secara terbuka, agar tugas KPU dan Bawaslu tetap dinamis sehingga dapat mengikuti kebutuhan serta perkembangan yang terjadi.
“Hal ini juga konsisten dengan ketentuan yang mengatur kewenangan dan kewajiban KPU (vide Pasal 13 huruf I dan Pasal 14 huruf n UU 7/2017) serta kewenangan dan kewajiban Bawaslu. Namun demikian, penambahan tugas KPU dan Bawaslu tersebut, tidak semestinya dilakukan dengan mengubah atau menambahkan norma pada Pasal 12 huruf I dan Pasal 93 huruf m UU 7/2017 sebagaimana dimohonkan oleh para Pemohon, karena hal tersebut selain berpotensi menimbulkan ketidakjelasan norma, juga berpotensi hilangnya pijakan hukum untuk tugas-tugas lainnya dari KPU maupun Bawaslu yang bersifat dinamis dimaksud,” ujar Hakim Konstitusi Guntur Hamzah saat membacakan pertimbangan hukum.
Selain itu, sambung Guntur, mengubah rumusan Pasal 12 huruf I dan Pasal 93 huruf m UU Pemilu sebagaimana dimohonkan pengujian oleh para Pemohon justru akan mempersempit makna dari norma pasal a quo, dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Terlebih lagi, pemaknaan yang dimintakan oleh para Pemohon juga menimbulkan tumpang tindih tugas antara KPU dan Bawaslu, karena para Pemohon mengharapkan KPU dan Bawaslu melaksanakan tugas yang sama dalam penyelenggaraan pemilihan umum.
Pemaknaan ini justru menimbulkan pertentangan norma di dalam undang-undang karena KPU dan Bawaslu meskipun sama-sama sebagai lembaga penyelenggara Pemilu tetap memiliki tugas dan fungsi yang berbeda. KPU sebagai penyelenggara pemilu bertugas untuk melaksanakan pemilu, sedangkan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu yang bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemilu.
Dengan memperhatikan ruang lingkup, tujuan dan struktur norma dalam Pasal a quo yang dimintakan pengujian oleh para Pemohon, Guntur menerangkan bahwa menurut Mahkamah, tidak terdapat alasan konstitusional yang dapat menjadi alasan untuk mengubah atau memberikan makna baru selain sebagaimana rumusan norma Pasal 12 huruf I dan Pasal 93 huruf m UU Pemilu, yaitu 'melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan'.
Andaipun guna memberikan bahan pertimbangan kepada pemilih dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden berupa data/informasi yang sahih dan resmi agar pemilih lebih paham dalam menggunakan hak pilihnya, juga tidak tepat karena persoalan sesungguhnya bukan terletak pada persoalan norma a quo, melainkan lebih pada aspek pelaksanaan atau implementasi terhadap ketentuan syarat yang harus dipenuhi oleh seorang calon presiden atau wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 169 UU 7/2017, bukan pengaturan yang terkait dengan tugas KPU dan/atau Bawaslu sebagaimana norma yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon.
“Sehingga, berdasarkan rangkaian pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah tidak relevan untuk menyatakan bahwa rumusan Pasal 12 huruf I dan Pasal 93 huruf m UU 7/2017 telah melanggar asas pemilihan umum, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Artinya, norma a quo tidak bertentangan dengan asas-asas pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945,” tandasnya. (Z-8)
Saat ini fokus menyusun dokumen brief policy yang akan memuat sejumlah poin evaluasi dan catatan penting dari pengalaman penyelenggaraan pemilu dan pilkada sebelumnya.
Betty menjelaskan saat ini belum ada pembahasan khusus antara KPU dan semua pemangku kepentingan pemilu terkait e-voting.
Netralitas ASN merupakan salah satu isu krusial yang harus ditangani dengan penuh komitmen dan kokohnya peran Kemendagri dalam menangani permasalahan tersebut.
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) RI akan segera memperbaharui dinamika perubahan data pemilih pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah.
KPU Mochammad Afifuddin mengapresiasi Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan untuk memisahkan pemilu tingkat nasional dan lokal mulai 2029.
KPU bakal mempelajari secara detail mengenai putusan MK tersebut yang berangkat dari uji materi oleh Perludem selaku pemohon.
Menurut Perludem, putusan MK sudah tepat karena sesuai dengan konsep pemilu yang luber dan jurdil, dan disertai dengan penguatan nilai kedaulatan rakyat.
PARTAI politik di DPR begitu reaktif dalam merespons Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 135/PUU-XXII/2025.
KETUA Badan Legislasi DPP PKS Zainudin Paru mengapresiasi Mahkamah Konstitusi (MK) yang menahan diri dengan menolak putusan terkait ketentuan persyaratan pendidikan capres-cawapres,
Jimly Asshiddiqie meminta para pejabat dapat membiasakan diri untuk menghormati putusan pengadilan.
Apabila ada sesuatu isu tertentu yang diperjuangkan oleh pengurus atau aktivis, kemudian gagasannya tidak masuk dalam RUU atau dalam UU langsung disebut partisipasi publiknya tidak ada.
Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI 2024-2029 Rambe Kamarul Zaman berharap jangan sampai terjadi kesalahpahaman politik atas putusan MK 135 tersebut.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved