Usia Minimum Capres Dinilai Bukan Isu Konstitusional

Faustinus Nua
29/8/2023 20:53
Usia Minimum Capres Dinilai Bukan Isu Konstitusional
Sidang lanjutan uji materil UU Pemilu(MI / M Irfan)

BIVITRI Susanti selaku Ahli yang dihadirkan Perludem dalam sidang pengujian batasan umur sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden dalam UU Pemilu menyampaikan bahwa batasan umur sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden bukan isu konstitusional. Pembatasan usia minimum dan maksimum bukan isu yang lazim diatur ketat, karena kapasitas politikus diukur dari rekam jejak.

"Akibatnya berbagai negara menerapkan beragam batas umur, sebab kapasitas politik dan kemampuan berpikir tidak bisa disamakan dengan kebugaran," ujarnya dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (29/8).

Lebih jelas Bivitri mengatakan karena perkembangan dunia kedokteran dan sains, lazimnya batas usia ditentukan oleh sebuah kebijakan dan bukan isu yang tidak dapat diubah. Sebab ragam jabatan bisa dilakukan dengan kajian ilmu terkait dan tidak ada kaitannya dengan hukum.

Baca juga : Kampanye di Kampus: Prabowo belum Dapat Undangan, Ganjar Hati-Hati

Selain itu, pembuat kebijakan dapat berargumentasi mengenai batas usia yang layak dalam konteks pembentukan kebijakan berdasarkan bukti. Misalnya berupa kemampuan mengelola informasi dan komunikasi, tetapi dari aspek hukum satu-satunya hanya menyoal hak dan lainnya aspek non hukum atau non konstitusional. Sebab dalam hal ini ada hak berupa batas usia dewasa. Dalam konteks kepemiluan ada batas usia minimum memilih.

Baca juga : Forum Purnawirawan TNI-Polri Dukung Anies Baswedan, Siapapun Cawapresnya

"Oleh karena itu, dalam perkara ini bukan model usia yang perlu dibangun, tetapi akan adanya asumsi belum matangnya kultur politik Indonesia dan budaya feoadalisme yang membuat rekam jejak politik tenggelam dalam latar belakang keluarga dan gelar. Sehingga, usia sering dijadikan filter mencegah orang atau pihak yang tidak berpengalaman menjadi politisi," jelasnya.

Menurutnya perdebatan mengenai batas minimum untuk dipilih harus dibiarkan dalam wilayah kebijakan. Bukan dipindah ke wilayah konstitusional. Harapannya, kedewasaan dalam berpolitik berkembang dan peradaban politik kian baik, maka hal ini juga bisa diatur secara kontekstual.

"Jika MK yang menetapkannya dalam putusan, maka fleksibilitas yang mengikuti kontekstualitas akan hilang karena batas usia akan menjadi isu konstitusional yang harus kembali diperiksa Mahkamah dengan logika yang inkonsisten,” ucap Bivitri.

Sunandiantoro selaku kuasa hukum Evi Anggita, dkk (Pihak Terkait) menyampaikan keterangan pihaknya yang merupakan perseorangan warga negara yang telah diberikan hak dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Sehingga adanya pembatasan usia pencalonan capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun justru akan menimbulkan diskriminasi bagi warga negara lainnya.

“Menjadi aneh dan tidak konsisten jika pada permohonan disebutkan batas minimum capres dan cawapres sekurang-kurangnya 35 tahun dianggap tidak membatasi hak konstitusional orang lain, sedangkan batas usia maksimal 70 tahun dianggap membatasi hak konstitusional orang lain. Untuk itu, kami ingin menegaskan dalam politik kami mengharapkan para elite memberikan edukasi dan etika politik yang baik, jangan sampai politik mempermainkan hukum dalam hal ini Mahkamah Konstitusi,” sebut Sunandiantoro.

Sementara itu Rayhan Fiqi Fansuri (Pihak Terkait I) dan Sultan Bagarsyah (Pihak Terkait II) memberikan keterangan terhadap permohonan Nomor 29/PUU-XXI/2023. Sebagai perseorangan warga negara, pihaknya bebas menentukan calon presiden dan wakil presiden termasuk dalam menyikapi adanya isu penurunan batas minimum capres dan cawapres. Secara lebih jelas Sultan Bagarsyah menyebutkan pasal yang diujikan tidak melanggar nilai-nilai moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta hak warga negara untuk dipilih dan memilih.

“Pemohon ingin menurunkan usia capres dan cawapres. Justru ini menabrak logika argumentasi Pemohon. Penentuan batas usia 40 tahun adalah pilihan moral pembentuk undang-undang yang harus ditaati. UUD 1945 sebagai konstitusi tidak pernah mengatur batas usia minimum yang demikian,” sebut Sultan.

Kedewasaan dan Kemampuan kepemimpinan Oktavianus Rasubala hadir sebagai Pihak Terkait untuk memberikan keterangan atas tiga perkara tersebut di atas. Sebagai perseorangan warga negara ia merasa berhak untuk mempertahankan sistem demokrasi yang berdasarkan Pancasila. Sehingga menurutnya, peraturan perundang-undangan yang terkait pemilu harus sesuai dengan amanat UUD 1945.

“Berdasarkan UU Advokat berstatus sebagai penegak hukum dan sebagai seorang praktisi hukum menilai permohonan Pemohon ini jauh dari persoalan konstitusionalitas norma. Sehingga dalam hal ini, Pihak Terkait menilai usia adalah indeks yang menempatkan individu dalam perkembangan yang terdiri atas indeks kasar yang bersifat ideologis, sosiologis, dan budaya. Oleh karenanya, kategorisasi usia harus berdasarkan fungsi sangat sulit dilakukan dan terkait pasal yang diujikan ini konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 serta aturan tersebut diundangkan secara benar,” kata Oktavianus.

Pada kesempatan berikutnya hadir pula Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) dan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) sebagai Pihak Terkait. KIPP dan JPPR melalui Kaka Suminta menyatakan, sebagai lembaga atau organisasi terdaftar pada Pemerintah sebagai bagian dari pemantau jalannya pemilu, pihaknya memiliki kedudukan hukum atas pengajuan uji materiil atas Pasal 169 huruf q UU Pemilu.

“Jika yang ingin mencalonkan diri ingin usia 35 tahun dinyatakan adalah batas usia yang adil, maka batas usia lainnya termasuk pula usia 30 tahun juga adil. Usia tidak dapat menentukan tingkat kedewasaan dan kemampuan kepemimpinan seseorang. Jadi, tak bisa diukur hanya oleh usia kronologis. Pada usia 40 tahun atau 35 tahun sekalipun, seseorang dapat saja meraih pencapaian luar biasa dalam kontribusinya. Sehingga jika hanya mengandalkan usia calon, maka ini mungkin mengabaikan dari nilai-nilai lainnya yang juga penting seperti pendidikan, pengalaman, pencapaian, dan dedikasi. Kualifikasi pengalaman misalnya jauh lebih konkret untuk menilai pencalonan seseorang karena mencakup pada visi misai, rencana konkret, dan kemampuannya dalam mewujudkan perubahan yang diinginkan rakyat,” tegas Kaka.(Z-8)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putra Ananda
Berita Lainnya