Headline
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Isu parkir berkaitan dengan lalu lintas dan ketertiban kota.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dinilai memuat sejumlah pasal karet. Hal itu berpotensi merugikan masyarakat pada umumnya yang bisa saja dengan mudah terjerat hukum.
Dalam sidang pemeriksaan perbaikan terhadap uji materiil UU ITE di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (29/3), M. Yusuf Hasibuan perwakilan Pemohon menyebut telah melakukan sejumlah perbaikan permohonan, di antaranya mengenai kedudukan hukum. Sebagai warga negara Indonesia, Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK, mengatakan hak dan kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan lantaran pasal yang akan diuji tersebut berpotensi dijadikan alat untuk mengkriminalisasikan Pemohon.
“Serta pasal tersebut merupakan pasal karet yang sering menimbulkan keresahan bagi pemohon ataupun masyarakat luas dan pasal yang diuji ini sering menimbulkan ketidakpastian, kabur dan ketidakjelasan hukum baik secara normatif ataupun secara implementatif sehingga mengancam hak konstitusional dari pemohon,” urai Yusuf dalam sidang MK, Rabu (29/3).
Baca juga: Pembahasan Revisi RUU ITE Perlu Diselerasakan dengan UU KUHP
Yusuf mengatakan pihaknya telah memperbaiki permohonan terkait dengan alasan permohonan. Sehingga, permohonan itu tidak memenuhi syarat nebis in idem dengan perkara yang pernah diuji di MK sebelumnya.
“Permohonan ini berbeda dengan putusan-putusan mengenai pasal dan batu ujinya sebagaimana telah dijelaskan sehingga permohonan pemohon tidak memenuhi syarat nebis in idem atau layak untuk diperiksa dan diadili dan diputus oleh MK,” imbuhnya.
Pemohon memperbaiki petitumnya yang meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Baca juga: Haris Azhar: Negara Tidak Boleh Gunakan Kekuasaan saat Dikritik
Sebelumnya, Pemohon mempersoalkan norma Pasal 27 ayat (3) yang berbunyi, 'Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik”. Pasal 45 ayat (3) menyatakan, 'Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)'.
Pemohon mendalilkan UU ITE terdapat banyak pasal karet dan setiap pasal tersebut harus segera direvisi agar tidak berpotensi dapat merusak nilai keadilan dan kebenaran yang tertuang dalam UUD 1945. Pemohon merasa tidak mendapatkan jaminan dan kepastian hukum akibat berlakunya Pasal 27 ayat (3) dan 45 ayat (3) UU ITE. Pemohon merasa didiskriminasi dan tidak mendapatkan perlindungan hukum terhadap pribadinya yang dijamin oleh negara.
(Z-9)
Akreditasi dengan status terbaik pada Perguruan Tinggi akan berkorelasi pula dengan capaian akreditasi program studi.
Dalil dan bukti-bukti yang disodorkan tim hukum Sahrul Gunawan-Gungun Gunawan dinilai lemah dan tidak memenuhi unsur terhadap tiga materi gugatan yang diajukan.
Anggota KPURI Idham Holik menegur kuasa hukum yang ditunjuk oleh lembaga tersebut karena salah menulis salah satu kata pada bagian petitum
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak seluruh permohonan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan oleh kubu Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.
HAKIM Konstitusi Saldi Isra menyampaikan dissenting opinion atau pendapat berbeda terkait putusan permohonan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)
Tiga hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pendapat berbeda terkait putusan permohonan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan oleh kubu Amin
Viktor meminta MK memuat larangan wamen rangkap jabatan secara eksplisit pada amar putusan, bukan hanya di dalam pertimbangan hukum.
Menurutnya, pelibatan publik dalam pembahasan undang-undang merupakan tanggung jawab DPR dan pemerintah, karena merupakan hak dari publik.
Ironisnya dalam praktik pengesahan UU TNI, proses pembentukannya justru terkesan politis menjadi alat kuasa dari Presiden dan DPR.
Supremasi sipil dalam UU TNI belum sepenuhnya mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi, khususnya dalam situasi jika terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Empat orang mantan komisioner DKPP memohon supaya DKPP dipisahkan dari Kementerian Dalam Negeri dan nomenklaturnya diubah.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) dijadwalkan menggelar sidang perdana atas uji materi Undang-Undang Nomor 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) siang ini, Jumat (25/4).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved