Headline
RI-AS membuat protokol keamanan data lintas negara.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
MENTERI Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek) Brian Yuliarto, membantah adanya pelibatan masyarakat dalam akreditasi program studi sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab pemerintah sehingga tidak sejalan dengan prinsip yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945).
Hal ini disampaikannya dalam sidang pengujian materi Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) serta Pasal 55 ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti).
“Tidak ada pelepasan tanggung jawab negara dalam penjaminan mutu pendidikan meskipun akreditasi eksternal dilakukan oleh LAM (Lembaga Akreditasi Mandiri) yang merupakan bentuk akuntabilitas publik yang terpercaya,” ujar Brian di Ruang Sidang Pleno MK, Rabu (24/7).
Brian mengatakan konstitusi memberikan ruang kebijakan atau open legal policy bagi pembentuk UU untuk menetapkan satu sistem pendidikan nasional. Meskipun sistem pendidikan nasional ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ilmu pengetahuan dan pengembangan keilmuan bukan monopoli negara atau Pemerintah dan dipimpin sendiri oleh Pemerintah.
“Pengembangan ilmu pengetahuan menjadi ranah institusi pendidikan termasuk perguruan tinggi, dunia profesi dan dunia kerja yang selalu berkaitan, berkolaborasi dan bersifat dinamis. Penolakan terhadap peran masyarakat dalam bidang pendidikan akan mengarah pada etatisme,” ucapnya.
Selain itu, Brian menjelaskan Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) sejalan dengan tujuan dari akreditasi program studi dalam Pasal 60 ayat (2) UU Sisdiknas dan Pasal 55 ayat (5) UU Dikti, yaitu untuk “akuntabilitas publik”.
“Keberadaan LAM menjadi kunci untuk menghindari konflik kepentingan antara penyelenggaraan dan penjaminan mutu. LAM sejalan dengan mutu dalam tata kelola perguruan tinggi dalam masyarakat global,” tukasnya.
Brian menegaskan Peraturan Mendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 telah memuat pengaturan terperinci untuk memastikan bahwa LAM yang dibentuk benar-benar memiliki kapasitas dan kesesuaian substansi dalam melaksanakan tugas akreditasi program studi. Bahkan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi berwenang untuk menyetujui atau menolak usulan pendirian LAM.
“Pemerintah yang berwenang untuk menyetujui pendirian LAM juga terlebih dahulu telah memeriksa dan menyetujui satuan biaya pelaksanaan akreditasi program studi yang hendak dikenakan oleh LAM terkait,” tutur Brian.
Atas dasar itu, Brian menyebut pemerintah tetap mengawasi LAM melalui dua bentuk pengawasan yaitu pengawasan oleh menteri terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi dari LAM. Hal itu sesuai Pasal 98 ayat (1) Permendikbudristek 53/2023 dan pengawasan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) terhadap pelaksanaan akreditasi oleh LAM dalam bentuk evaluasi sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Mendikbudristek 53/2023.
Dengan demikian, Brian mengatakan adanya kerangka pengaturan, standar pendidikan nasional, izin pendirian LAM, instrumen evaluasi, pengawasan dan sanksi hal dapat memastikan akreditasi dilakukan secara independen dan profesional, bebas kepentingan, objektif berbasis instrumen dan tentu selaras dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN-Dikti).
Di samping itu, Brian mengungkapkan akreditasi perguruan tinggi (institutional level) dan akreditasi program studi (program or couse level) akan fokus pada standar-standar yang tidak selalu sama.
Menurutnya, perbedaan akreditasi untuk perguruan tinggi dan program studi juga membantu masyarakat untuk mendapatkan informasi yang lebih relevan terhadap mutu layanan pendidikan yang akan diperoleh dari masing-masing program studi.
“Pemisahan antara akreditasi perguruan tinggi dan program studi merupakan langkah strategis untuk menjaga relevansi dan objektivitas penilaian mutu pendidikan tinggi di Indonesia,” jelasnya.
Lebih lanjut, setiap program studi dinilai berdasarkan karakteristik dan kebutuhan khas masing-masing, sementara penilaian institusi perguruan tinggi difokuskan pada kapasitas dan efektivitas tata kelola secara menyeluruh.
“Meskipun dibedakan akreditasi Perguruan Tinggi dan program studi, hal demikian tetap saling terintegrasi,” tuks Brian.
Brian juga menekankan bahwa tata kelola Perguruan Tinggi yang baik akan berdampak pada tata kelola program studi yang baik pula. Begitupun akreditasi dengan status terbaik pada Perguruan Tinggi akan berkorelasi pula dengan capaian akreditasi program studi.
“Meskipun akreditasi program studi dan akreditasi perguruan tinggi berbeda, tidak berarti keduanya tidak berkaitan,” imbuhnya.
Di sisi lain, Brian memaparkan desain regulasi dalam UU Dikti mengatur integrasi dan keterkaitan kedua jenis akreditasi tersebut. Hal ini menunjukkan BAN-PT juga memiliki peranan penting dalam pembentukan kebijakan dan instrumen akreditasi baik pada perguruan tinggi dan juga program studi.
“Dalam hal ini pula, BAN-PT, berwenang melaksanakan akreditasi perguruan tinggi berdasarkan Pasal 55 ayat (4) UU Dikti, dan juga memiliki peran penting dalam akreditasi program studi,” jelasnya.
Lebih lanjut, Pasal 55 ayat (6) UU Dikti menegaskan peran dari BAN-PT untuk memberikan rekomendasi kepada menteri dalam pembentukan Lembaga Akreditasi Mandiri. Ketentuan ini tidak lain ditujukan untuk memastikan keselarasan dari akreditasi program studi dengan kebijakan akreditasi di tingkat nasional.
Sebelumnya, Badan Kerja Sama Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia (BKS Dekan FH-PTN Se-Indonesia) bersama delapan dosen dan tiga mahasiswa menggugat UU Sisdiknas dan UU Dikti.
Para Pemohon menyoal ketentuan akreditasi program dan satuan pendidikan oleh dua entitas yakni pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang. Dengan adanya dua lembaga yang memiliki tugas serupa namun berbeda dalam cakupan objeknya, dapat berisiko adanya perbedaan standar, metode, dan hasil penilaian yang dapat membingungkan perguruan tinggi dan program studi yang diakreditasi. (Dev/P-3)
Dalil dan bukti-bukti yang disodorkan tim hukum Sahrul Gunawan-Gungun Gunawan dinilai lemah dan tidak memenuhi unsur terhadap tiga materi gugatan yang diajukan.
Anggota KPURI Idham Holik menegur kuasa hukum yang ditunjuk oleh lembaga tersebut karena salah menulis salah satu kata pada bagian petitum
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak seluruh permohonan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan oleh kubu Ganjar Pranowo dan Mahfud MD.
HAKIM Konstitusi Saldi Isra menyampaikan dissenting opinion atau pendapat berbeda terkait putusan permohonan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)
Tiga hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pendapat berbeda terkait putusan permohonan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan oleh kubu Amin
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved