Headline
Sebaiknya negara mengurus harga barang dulu.
SEBAGAI seorang putra Gorontalo yang pernah mengemban amanah memimpin Kabupaten Bone Bolango selama tiga periode, dan kini menjadi pengamat kebijakan, saya melihat Gorontalo sebagai cermin kecil dari tantangan besar yang dihadapi bangsa kita.
Di balik keindahan alamnya yang memukau dan semangat masyarakatnya yang tak kenal lelah, Gorontalo masih bergulat dengan dua "luka" kronis: kemiskinan dan kesenjangan. Ini bukan sekadar angka-angka statistik di atas kertas, melainkan realitas pahit yang menghambat potensi emas daerah dan meredupkan asa jutaan jiwa.
Visi Indonesia Emas 2045 adalah cita-cita luhur kita bersama: mewujudkan Indonesia yang berdaulat, maju, adil, dan sejahtera pada usia seabad kemerdekaan. Target ambisius untuk menurunkan tingkat kemiskinan hingga 0,5%-0,8% dan menekan Rasio Gini hingga 0,29-0,32 pada 2045 adalah panggilan bagi setiap daerah untuk berkontribusi.
Namun, realitas menunjukkan bahwa angka kemiskinan Gorontalo (13,24% pada Maret 2025) masih jauh di atas rata-rata nasional (8,47%). Kesenjangan ini menggarisbawahi bahwa tantangan di tingkat lokal seringkali lebih kompleks dan membutuhkan pendekatan yang disesuaikan, yang melampaui sekadar pertumbuhan ekonomi, namun juga menyentuh dimensi sosial dan budaya masyarakat kita.
Artikel ini adalah ajakan untuk merenung dan bertindak. Mari kita telaah lebih dalam akar masalah kemiskinan dan kesenjangan di Gorontalo, dan yang terpenting, mari kita diskusikan solusi konkret yang telah terbukti mampu membawa perubahan, termasuk dari pengalaman kami saat memimpin Bone Bolango. Ini adalah sumbangsih pemikiran dari daerah, untuk kemajuan Indonesia.
Data BPS menunjukkan tren penurunan kemiskinan di Gorontalo, namun lajunya belum cukup cepat untuk mengejar ketertinggalan dari rata-rata nasional. Disparitas antara perkotaan dan perdesaan menjadi sorotan utama: kemiskinan di perdesaan mencapai 20,80%, jauh melampaui perkotaan yang 4,68%. Ini menegaskan bahwa beban kemiskinan di Gorontalo sebagian besar ditanggung oleh saudara-saudara kita di desa, yang seringkali terbatas aksesnya terhadap sumber daya dan peluang ekonomi.
Kesenjangan ekonomi, yang diukur dengan Rasio Gini, juga masih menjadi perhatian. Pada Maret 2025, Rasio Gini Gorontalo adalah 0,392, sedikit di atas rata-rata nasional 0,381. Ini mengindikasikan bahwa distribusi pendapatan di Gorontalo masih belum merata, sebuah tantangan yang juga dihadapi banyak provinsi lain di Indonesia.
Akar masalah kemiskinan dan kesenjangan ini bersifat multidimensional, saling terkait, dan seringkali menjadi benang kusut yang sulit diurai: Ketimpangan Kepemilikan Sumber Daya: Banyak petani kita tidak memiliki lahan yang mereka garap, membatasi kendali mereka atas hasil panen dan pendapatan. Ini adalah masalah struktural yang menghambat produktivitas pertanian dan melanggengkan kemiskinan di sektor yang mendominasi ekonomi Gorontalo.
Kualitas Sumber Daya Manusia yang Rendah Indeks Akses Pendidikan Gorontalo termasuk tiga terendah di Indonesia, ditambah lagi dengan tingginya angka stunting yang memengaruhi perkembangan kognitif dan fisik anak-anak kita. Ini menciptakan siklus kerugian antar generasi, di mana anak-anak yang lahir dalam kemiskinan cenderung sulit keluar dari kondisi tersebut.
Keterbatasan Akses Modal dan Keuangan: Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat, masih kesulitan mengakses modal dan pelatihan yang memadai, terutama di daerah terpencil.
Kesenjangan Digital yang Persisten: Meskipun cakupan sinyal internet sudah meluas, "kesenjangan digital" masih ada. Ini melampaui ketersediaan infrastruktur, mencakup akses terhadap perangkat, rekening bank, keterampilan digital, dan kemampuan untuk menyaring informasi secara kritis. Akibatnya, banyak warga terpinggirkan dari peluang ekonomi dan layanan publik di era digital.
Ketergantungan pada Sektor Primer: Ekonomi Gorontalo masih sangat bergantung pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang berproduktivitas rendah. Ketiadaan akses terhadap teknologi modern dan pasar yang lebih luas menghambat diversifikasi ekonomi dan penciptaan lapangan kerja bernilai lebih tinggi.
Dampak dari kemiskinan dan kesenjangan ini sangat luas. Kualitas hidup masyarakat menurun, mobilitas sosial terhambat, dan potensi pembangunan jangka panjang provinsi kita menjadi terbatas. Jika tidak ditangani secara serius, kesenjangan ini akan terus menghambat kita untuk mencapai potensi penuh sebagai provinsi yang "tangguh, sejahtera, inklusif, dan berkelanjutan" dalam konteks Indonesia Emas 2045.
Mengatasi "dua luka" ini memerlukan pendekatan yang komprehensif, terintegrasi, dan kolaboratif. Saat saya mengemban amanah sebagai bupati Bone Bolango, kami berupaya keras melakukan berbagai terobosan dan inovasi yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kualitas hidup secara langsung. Pengalaman ini, saya yakini, dapat menjadi inspirasi bagi daerah lain di Indonesia.
Salah satu pendekatan kunci yang kami terapkan adalah kontrak kinerja penurunan kemiskinan dengan jajaran kepala desa. Inovasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap desa memiliki komitmen dan tanggung jawab yang jelas dalam upaya pengentasan kemiskinan. Dengan adanya kontrak ini, kepala desa didorong untuk menyusun program kerja yang terencana dan akuntabel di tingkat akar rumput, dengan evaluasi kinerja yang dilakukan secara berkala. Ini adalah upaya untuk menciptakan akuntabilitas dari bawah ke atas, memastikan bahwa dana desa benar-benar menyentuh sasaran dan membawa perubahan nyata.
Kami juga fokus pada perbaikan rumah warga melalui perluasan dan pengembangan program hunian pantas. Target kami adalah ribuan Rumah Tangga Miskin (RTM) mendapatkan sanitasi dan air minum yang layak, serta tempat tinggal yang lebih baik. Program ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan masyarakat miskin. Meskipun ada beberapa kendala lahan atau perencanaan di awal, upaya perbaikan rumah terus kami lakukan, termasuk melalui kolaborasi dengan TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) untuk merenovasi rumah tidak layak huni. Selain itu, program pemberian modal usaha digalakkan secara masif.
Salah satu inisiatif yang saya banggakan adalah peluncuran Kartu Janda Sejahtera (KJS) pada tahun 2018. Program ini dirancang khusus untuk membantu meningkatkan kesejahteraan janda, yang seringkali menjadi tulang punggung keluarga. Kami juga meningkatkan jumlah unit usaha masyarakat hingga 1700 unit, dengan bantuan berupa gerobak usaha dan rak buah yang diberikan kepada pelaku UMKM. Dampaknya, kami berharap dapat menopang ekonomi keluarga dan mendorong masyarakat, termasuk anak muda, milenial, dan ibu rumah tangga, untuk lebih ulet dalam berusaha dan mandiri secara ekonomi.
Terobosan lain yang patut dicatat adalah program pemberian dua ekor sapi kepada setiap kepala keluarga rumah tangga miskin. Program ini datang dengan syarat yang jelas: penerima harus keluar dari kategori miskin dalam dua tahun ke depan. Ini bukan sekadar bantuan, melainkan motivasi kuat bagi warga untuk mandiri dan tidak lagi bergantung pada bantuan. Program ini juga memperkuat posisi Bone Bolango sebagai daerah penghasil sapi. Sejak 2014 hingga 2018, total 13.350 ekor sapi telah didistribusikan melalui berbagai sumber dana, termasuk APBD dan Dana Desa, kepada warga kurang mampu, dengan harapan dapat meningkatkan perekonomian mereka.
Keberhasilan program-program ini menggarisbawahi pergeseran filosofi: dari bantuan langsung yang bersifat konsumtif menjadi penyediaan aset produktif dan pendorong kemandirian. Ini adalah upaya memberikan "kail, bukan ikan," sebuah prinsip yang relevan untuk seluruh Indonesia, yang menjanjikan jalur yang lebih berkelanjutan dan bermartabat untuk keluar dari kemiskinan.
Perjalanan menuju Gorontalo yang bebas dari kemiskinan dan kesenjangan memang panjang dan penuh tantangan. Namun, dengan komitmen yang berkelanjutan, solusi inovatif, dan kolaborasi yang tak tergoyahkan, kita pasti bisa mewujudkan potensi emas provinsi ini, dan pada gilirannya, berkontribusi pada Indonesia Emas 2045.
Beberapa rekomendasi kunci yang dapat kita teruskan dan perkuat, baik di Gorontalo maupun di tingkat nasional:
Reformasi Agraria dan Investasi Infrastruktur Perdesaan: Memastikan akses lahan yang adil bagi petani kecil dan membangun infrastruktur perdesaan yang memadai (irigasi, jalan, pasar) adalah fundamental untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan di desa. Ini adalah fondasi pemerataan ekonomi.
Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Kesehatan: Mengatasi indeks akses pendidikan yang rendah dan prevalensi stunting yang tinggi adalah investasi jangka panjang pada modal manusia kita. Ini membutuhkan reformasi kurikulum, peningkatan kualitas guru, dan program gizi terpadu yang berkelanjutan.
Pemberdayaan UMKM yang Komprehensif: Mempermudah akses modal, memberikan pelatihan manajerial, dan memperluas jangkauan program digital bagi UMKM akan meningkatkan daya saing dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja. UMKM adalah motor penggerak ekonomi kerakyatan.
Mengatasi Kesenjangan Digital secara Menyeluruh: Selain infrastruktur, kita harus fokus pada peningkatan literasi dan keterampilan digital bagi seluruh lapisan masyarakat, memastikan semua warga dapat memanfaatkan peluang di era digital.
Kolaborasi Multipihak sebagai Budaya: Pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil harus bekerja sama secara sinergis. Pengalaman kami di Bone Bolango menunjukkan bahwa kolaborasi adalah kunci keberhasilan, mencerminkan semangat "Gotong Royong" yang menjadi filosofi bangsa.
Gorontalo memiliki potensi yang sangat besar: kekayaan pertanian, lokasi maritim yang strategis, serta semangat gotong royong dan keuletan masyarakatnya. Mengatasi "dua luka" ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah daerah, melainkan komitmen kolektif yang mendalam, yang menggemakan filosofi nasional "Gotong Royong" dan "Bhinneka Tunggal Ika".
Semua kisah inspiratif dari Kota Gorontalo dengan "8 Program Unggulan", Gorontalo Utara dengan "Program 123" , dan tentu saja, terobosan yang kami lakukan di Bone Bolango, adalah bukti nyata bahwa kemajuan dapat dicapai. Semangat perjuangan para pahlawan kita, seperti Nani Wartabone , harus terus menjadi inspirasi bagi kita untuk tidak pernah menyerah dalam membangun bangsa.
Dengan komitmen berkelanjutan, solusi inovatif, dan kolaborasi yang tak tergoyahkan, Gorontalo dapat mewujudkan potensi emasnya. Ini adalah visi Gorontalo yang tidak hanya sejahtera secara ekonomi, tetapi juga tangguh secara sosial, berkembang secara inklusif, dan berkelanjutan secara lingkungan. Melalui upaya bersama, Gorontalo dapat menjadi mercusuar pembangunan yang adil dan berkelanjutan bagi bangsa, berkontribusi nyata pada terwujudnya Indonesia Emas 2045.
SEKTOR usaha ultramikro, mikro, kecil dan menengah (UMKM) membutuhkan ekosistem yang sehat agar bisa naik kelas dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Kenaikan angka kemiskinan di Ibu Kota Jakarta pada Maret 2025 dipicu oleh berbagai faktor, termasuk peningkatan garis kemiskinan dan ketidakstabilan harga kebutuhan pokok.
Kemiskinan di wilayahnya masih tinggi terutama kategori miskin ekstrem yang jumlahnya mencapai 44.462 kepala keluarga. Sementara jumlah warga miskin tercatat 35.818 kepala keluarga.
Koperasi merupakan institusi modern yang mampu menyejahterakan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan.
Presiden Prabowo Subianto memiliki tiga senjata untuk atasi kemiskinan dan mencapai visi Indonesia Emas.
Dalam rangka meningkatkan kompetensi para petani sawit, PT Riset Perkebunan Nusantara (PT RPN) menyelenggarakan pelatihan Teknis Budidaya Kelapa Sawit.
Masih ada sejumlah tantangan dalam menjalankan Koperasi Merah Putih.
Dalam situasi global tidak menentu, yang bisa dilakukan adalah mengembangkan diri sendiri sebagai pengusaha.
Investasi gizi sejak dini merupakan kunci untuk mewujudkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas di masa mendatang.
PT Perusahaan Gas Negara (PGN) terus menunjukkan komitmen dalam menyiapkan sumber daya manusia (SDM) unggul dari kalangan muda, khususnya mahasiswa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved