BADAN Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri berkoordinasi melakukan pendalaman terkait dugaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) mengirim dana umat ke kelompok terorisme. Hal itu dilakukan guna menentukan kontruksi hukum terhadap yayasan penggalang dana tersebut.
"Saat ini memang ACT belum masuk dalam Daftar Terduga Terorisme atau Organisasi Terorisme (DTTOT), sehingga membutuhkan pendalaman dan koordinasi dengan stakeholder terkait dalam menentukan konstruksi hukumnya," kata Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Ahmad Nurwakhid saat dikonfirmasi, Rabu (6/7).
Menurut dia, data yang disampaikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait dugaan ACT menggunakan dana umat untuk kepentingan pribadi dan aktivitas terlarang adalah data intelijen.
Baca juga: Kementerian Sosial Cabut Izin Pengumpulan Uang dan Barang ACT
Sehingga, kata dia, perlu kajian dan pendalaman lebih lanjut untuk memastikan keterkaitan dengan pendanaan terorisme.
Dia menyebut BNPT dan Densus 88 akan bekerja berlandaskan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme. Dia memastikan ACT akan ditindak Densus 88 apabila terbukti aktivitas aliran dana yang mencurigakan itu mengarah pada pendanaan terorisme.
"Jikalau tidak, dikoordinasikan aparat penegak hukum terkait tindak pidana lainnya," ungkap Nurwakhid.
Dia menuturkan ada lima indikator dalam konstruksi hukum untuk menentukan individu dan lembaga bisa dikenakan pasal tindak pidana terorisme. Yakni pelaku langsung, yang menyuruh melakukan, ikut serta melakukan, membantu untuk melakukan, dan mendanai.
Belajar dari kasus ACT, BNPT mengimbau seluruh masyarakat untuk menyalurkan donasi, infak, dan sedekah kepada lembaga resmi dan kredibel yang direkomendiasikan pemerintah.
Termasuk dalam penggalangan dana kemanusiaan untuk luar negeri, masyarakat diminta menyalurkan pada lembaga resmi atau melalui kementerian luar negeri agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan pendanaan terorisme.
Imbauan kehati-hatian juga disampaikan kepada perusahaan BUMN atau swasta. Setiap penyaluran dana Corporate social responsibility (CSR) diharapkan dapat berkoordinasi dan konsultasi terlebih dahulu dengan BNPT.
"Hal ini penting agar penyaluran dana untuk kepentingan kemanusiaan yang dilakukan individu ataupun lembaga tepat sasaran dan terhindar dari kategori ikut dalam mendanai tindak pidana terorisme," ujar jenderal polisi bintang satu itu.
ACT menjadi trending topik di media sosial Twitter. Ada 11,5 ribu cuitan terkait Aksi Cepat Tanggap. Salah satu akun mencuit terkait dugaan dana umat di ACT mengalir ke pelaku terorisme di Suriah.
"Ini salah satu bukti Aksi Cepat Tanggap mendukung separatis Syria. Tanggap terhadap isu2 agama untuk mencari donasi ke masyarakat lugu. ACT ini juga diendorse oleh artis2 papan atas. Mungkin artis2 itu juga dapat bagian. @PPATK mesti mengusut ini, jgn2 jg mendukung terorisme?!!," cuit @HusinShihab.
PPATK angkat suara terkait hal tersebut. PPATK mengaku telah mendalami aliran dana ACT. Diketahui, dana umat di yayasan tersebut mengalir ke dompet para petinggi ACT dan aktivitas terlarang, seperti terorisme.
"Transaksi mengindikasikan demikian (mengalir ke kelompok teroris), namun perlu pendalaman oleh penegak hukum terkait," kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana saat dikonfirmasi, Senin (4/7)
ACT mengakui pihaknya mengambil lebih dari 12,5% donasi sebagai dana operasional lembaga. Padahal, berdasarkan Fatwa MUI Nomor 8 Tahun 2011, amil zakat hanya boleh menerima 1/8 atau sekitar 12,5% dari hasil yang diterima.
Presiden ACT Ibnu Khajar memastikan pihaknya juga merujuk aturan syariat Islam itu untuk menggunakan uang donasi sebagai sumber pendanaan operasional. Namun, karena ACT bukan lembaga zakat, dana operasional yang diambil bisa mencapai 13,5% atau lebih.
"ACT bagaimana bisa mengambil 13,5%, sebagai amil zakat 12,5%. Kenapa lebih? (Karena) ACT bukan lembaga zakat," kata Ibnu dalam konferensi pers di kantor ACT, Jakarta Selatan, Senin (4/7). (OL-1)