Headline
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.
BADAN Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan bahwa tak ada kaitannya aksi radikal terorisme dengan agama apapun.
Hal itu diungkapkan Direktur Pencegahan BNPT Brigjen R. Ahmad Nurwakhid di acara Rakernas I Pengurus Besar Mathla'ul Anwar dengan tema Arah Baru Menata Umat Merekat Bangsa di Hotel LeSemar, Kota Serang, Banten.
Menururnya, Organisasi Masyarakat (ormas) keagamaan berada dalam garda terdepan dalam pencegahan penyebaran radikal terorisme.
Hal itu bisa dilakukan dengan memberikan vaksinanasi ideologi kepada umat. Caranya dengan menggaungkan nasionalisme dengan pendekatan agama.
"Yaitu ajaran agama yang baik dan benar, serta menjunjung tinggi toleransi, serta ideologi Pancasila," ujar Nurwakhid.
Pasalnya, lanjut Nurwakhid, ideologi terorisme sebagai gerakan politik kerap memanipulasi dan mendistorsi agama untuk mengganti ideologi negara dengan ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila sebagai konsensus nasional.
Baca juga: Wahid Foundation: Jernihkan Kekeliruan dalam Maknai Islamofobia
“Terorisme adalah gerakan politik kekuasaan dengan memanipulasi dan mempolitisasi agama yang bertujuan mengganti ideologi negara dengan ideologi transnasional," ucap Nurwakhid.
"Wataknya adalah intoleran terhadap perbedaan dan keberagaman, serta eksklusif terhadap perubahan,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, ia memberikan pemahaman terkait hubungan eksklusifisme, intoleransi, radikalisme dan aksi terorisme.
Menurutnya, sikap eksklusif dan intoleran adalah watak dasar dari radikalisme, yang menjiwai semua aksi terorisme dan semuanya diawali oleh paham takfiri.
“Jadi tidak ada kaitannya aksi radikal terorisme dengan agama apapun, karena bertentangan dengan ajaran semua agama," paparnya.
Nurwakhid mengungkapkan, bukti dari efektivitas peran ormas keagamaan dan tokoh agama dalam melakukan pencegahan atau kontra radikalisasi terutama di dunia maya terlihat dari data indeks potensi radikalisme tahun 2019 yang berada di angka 38 persen.
Begitu terjadi pandemi Covid-9 awal tahun 2020, dalam survei yang dillakukan BNPT bulan Oktober-November 2020, indeks potensi radikalisme itu turun dari 38 menjadi 12,2 persen.
“Artinya apa? Salah satu faktor penurunan diakibatkan masifnya tokoh agama dan tokoh masyarakat moderat yang selama ini tidak aktif berdakwah di media sosial, menjadi aktif ikut berdakwah di berbagai platform media sosial,” ungkapnya.
Dalam survei Setara Institute, lanjut Nurwakhid, selama ini konten keagamaan intoleran dan radikal di media sosial atau dunia maya berada di kisaran lebih dari 67%.
Tetapi sejak tahun lalu jumlah itu terus menurun setelah diimbangi konten keagamaan moderat yang dilakukan oleh para ulama, kiai, guru, dan anak muda yang selama ini tidak aktif di media sosial.
Ia melanjutkan, pentingnya peran ormas keagamaan juga dilandasi dengan bahayanya ideologi radikal terorisme sebagai gerakan politik, yang kerap memanipulasi agama untuk mengganti ideologi negara dengan ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila sebagai konsensus nasional.
Ia menegaskan bahwa tindakan, watak dan aksi terorisme yang terjadi selama ini tentunya sangat bertentangan dengan nilai agama dan nilai kearifan lokal bangsa yang sangat multikultural.
“Terorisme adalah gerakan politik kekuasaan dengan memanipulasi agama yang bertujuan mengganti ideologi negara dengan ideologi transnasional. Wataknya adalah intoleran terhadap perbedaan dan ekslusif terhadap perubahan,” tandasnya.
Terakhir, Nurwakhid mengingatkan untuk terus meningkatkan upaya dan kewaspadaannya.
Karena meskipun kelompok seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Islamiyah (JI) dan Jamaah Ansyorut Daulah (JAD) sudah dibubarkan dan menunjukkan tren penurunan pasca ditetapkannya Undang-Undang No.5 Tahun 2018. Namun, ideologinya masih tersisa dan mengintai siapapun yang lengah. (Ykb/OL-09)
BNPT bersama FKPT Provinsi Bali menyelenggarakan Lomba Gelar Budaya bertajuk Suara Damai Nusantara (SUDARA) guna memperkuat ketahanan siswa-siswi tingkat SMP dan SMA/sederajat
INDONESIA mencatatkan nihil kasus serangan terorisme sejak tahun 2023 hingga saat ini, pertengahan tahun 2025. Hal itu disebut berkat peran dari berbagai pihak.
PAKAR terorisme Solahudin menyebut Indonesia saat ini berada di era terbaik dalam penanganan terorisme berkat strategi kolaboratif antara soft approach dan hard approach.
BNPT menyebut seorang perempuan yang sejatinya memiliki nilai keibuan, justru secara sengaja atau tidak sengaja menjadi aktor penting di dalam berbagai peristiwa atau aktivitas terorisme.
Pencegahan tidak hanya dilakukan dari sisi keamanan tapi juga harus bisa memanfaatkan teknologi IT
GURU Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Mirra Noor Milla menyatakan Indonesia berhasil menekan aksi terorisme dengan mencatatkan nol serangan dalam dua tahun terakhir.
Gubernur Khofifah dan BNPT RI berkomitmen tanamkan moderasi beragama sejak dini di sekolah untuk cegah radikalisme. Jatim perkuat sinergi pusat-daerah.
BADAN Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama Komisi XIII DPR RI terus memperkuat upaya pencegahan radikalisme dan terorisme.
EKS narapidana terorisme (napiter) Haris Amir Falah mengungkapkan desa sering menjadi sasaran utama kelompok radikal dalam merekrut anggota baru.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved