ANGGOTA Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Arief Budiman dan Evi Novida Ginting Manik mengajukan gugatan uji materi Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan itu didaftarkan ke paniteraan MK, Rabu (23/6) pukul 10.00 WIB.
Arief menjelaskan, pasal dimohonkan pengujiannya terkait sebagian frasa dan kata "putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bersifat final dan mengikat" dalam Pasal 14 huruf m, Pasal 17 huruf m, Pasal 20 huruf m, Pasal 38 ayat (4), Pasal 93 huruf g angka 1, Pasal 97 huruf e angka 1, Pasal 101 huruf e angka 1, Pasal 105 huruf e angka 1, Pasal 137 ayat (1), Pasal 159 ayat (3) huruf d, Pasal 458 ayat (5), ayat (10), ayat (11) & ayat (14), serta Pasal 459 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut Kuasa Hukum Fauzi Heri, para pemohon juga meminta Mahkamah Konstitusi untuk memberikan tafsir atas frasa “putusan” DKPP dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai sebagai sebuah keputusan.
"Akibat adanya norma dalam pasal-pasal yang menjadi Objek Permohonan, tidak saja merugikan hak konstitusional Para Pemohon tetapi juga telah merenggut hak asasi manusia Para Pemohon yang dilindungi oleh konstitusi. Sehingga, harkat dan martabat serta hak asasi para pemohon menjadi terciderai karena pelaksanaan pasal tersebut oleh DKPP," ujar Fauzi.
Ia menerangkan bahwa keberadaan pasal-pasal tersebut, menjadi dalil DKPP atau setidaknya oleh sejumlah anggota DKPP, untuk tidak mengakui Evi Novida Ginting sebagai anggota KPU yang sah meskipun telah ada Putusan PTUN Jakarta yang membatalkan Kepres tindak lanjut atas putusan DKPP. Terhadap putusan PTUN Jakarta atas perkara pemberhentian Evi, terang Fauzi, presiden Joko Widodo, tidak melakukan banding.
Ia lebih lanjut menjelaskan, kerugian konstitusional yang dialami oleh Arief Budiman. Arief diputuskan melanggar etika karena tindakannya mendampingi Evi Novida di PTUN Jakarta. Menurut Fauzi, yang dilakukan kliennya salah satu semangat kolektif kolegial mendapatkan hak atas pengadilan yang adil, sekaligus merupakan semacam kewajiban untuk memperdulikan sesama kolega atau anggota dari sebuah kelembagaan dari kewajiban seorang pimpinan.
Baca juga: Kepala BKN Ungkap Dokumen TWK Rahasia Ketetapan TNI dan BNPT
Pengujian atas norma putusan DKPP yang final dan mengikat sudah pernah dilakukan Uji Materiil sebelumnya sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 tertanggal 3 April 2014. Dalam putusan a quo, Fauzi menjelaskan, MK menyatakan bahwa sifat final dan mengikat atas putusan DKPP tidak sama dengan lembaga peradilan, tetapi harus dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu.
Selain perbedaan alasan konstitusional dan batu uji, terang dia, permohonan terdahulu adalah permohonan terhadap UU Nomor 15 Tahun 2011. Selain itu, Para Pemohon (Arief dan Evi) menyampaikan adanya norma hukum baru yaitu diundangkannya UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada 17 Oktober 2014.
Norma hukum baru itu, papar Fauzi, berupa adanya frasa “final dalam arti luas” atas keputusan Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 87 huruf d UU 30 Tahun 2014 yang diterjemahkan oleh Mahkamah Agung dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2016 yang mendefinisikan “final dalam arti luas” sebagai keputusan yang sudah menimbulkan akibat hukum meskipun masih memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain.
"Dikarenakan DKPP adalah organ tata usaha negara sebagaimana Putusan MKRI Nomor 115/PHPU.D-XII/2013, maka Para Pemohon memohonkan agar frasa "putusan" DKPP dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai sebagai sebuah "keputusan"," ucapnya.
Selain itu, dalam petitumnya, Para Pemohon juga meminta agar sifat final dan mengikat putusan DKPP dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Para Pemohon mengajukan batu uji Permohonan Pengujian Undang-Undang ini yaitu Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28D Ayat (3), Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28H Ayat (2), Pasal 28I Ayat (2), 28J Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Seperti yang telah diberitakan, DKPP menjatuhkan sanksi atas pelanggaran kode etik terhadap Arief Budiman dan Evi Novida Ginting. Melalui putusannya, DKPP memberhentikan Evi sebagai komisioner KPU RI. Evi kemudian diaktifkan kembali menjadi anggota KPU RI setelah memenangkan gugatan terhadap keputusan DKPP di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sementara itu, Arief Budiman dijatuhi sanksi etik oleh DKPP yakni pemberhentian dari jabatan Ketua KPU RI. Arief dianggap melanggar kode etik penyelenggara pemilu karena mengaktifkan kembali Evi Novida menjadi anggota KPU RI.
Dihubungi secara terpisah, Ketua DKPP Prof. Muhammad mengatakan judicial review atau uji materi adalah hak warga negara. "Judicial review adalah hak warga negara," ujar dia menanggapi gugatan yang diajukan ke MK tersebut.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa Penyelenggara Pemilu yakni KPU, Bawaslu dan DKPP adalah pelaksana UU sehingga DKPP menghormati kewenangan MK dan menyerahkan sepenuhnya kepada MK untuk menangani perkara.(OL-4)