Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Pakar Digital Forensik: Virtual Polisi Bukan Alat Represi

Mediaindonesia.com
08/5/2021 23:51
Pakar Digital Forensik: Virtual Polisi Bukan Alat Represi
Ilustrasi(dok.mi)

PAKAR Hukum Pidana FHUI, Teuku Nasrullah menyatakan pelaksanaan Virtual Polisi sejatinya sudah baik. Namun, dengan catatan harus dijalankan dalam frame agar menghindari terganggunya kebebasan berekspresi dan mengemukan pendapat, kritik, dan koreksi di dunia maya.

Berkenaan dengan 100 hari Jenderal Listyo Sigit Prabowo memimpin Polri, menurut Nasrullah adanya virtual polce ini menarik karena selain pengungkapan narkoba, dan pembunuhan  pengungkapan kejahatan bisa melalui dunia digital.

Sebab dengan Virtual Polisi, kapolri telah membuat terobosan di bidang politik penegakan hukum yang persuasif.

Ketika ditanya terkait pernyataan Fatia Maulidiyanti selaku Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang mengatakan Virtual Polisi sebagai alat represi baru Polri di dunia digital, Nasrullah mengatakan bahwa pernyataan KontraS lebih bersifat peringatan dini kepada lembaga Polri agar mencegah dirinya terjebak pada langkah represif dalam penegakan hukum. Sehingga, hal ini bukan hanya sebuah kritik, melainkan juga upaya peringatan dini meskipun oleh sebagian orang terkesan sebagai sebuah opini dengan maksud penggiringan wacana.

“Masukan dan kritik itu wajar dan sangat penting tetapi kita semua jangan membangun opini yang terlalu gegabah atas program yang sedang ditempuh ini. Marilah kita berpikir positif dulu sambil menyimak dan mengkritisi perjalanannya sembari memberi masukan-masukan konstruktif untuk perbaikannya di sana-sini,” jelas Nasrullah dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Sabtu (8/5/2021).

“Perbuatan melanggar hukum itu yang dulu dapat terjadi dalam kehidupan keseharian, sekarang juga terjadi, tetapi ada di dunia digital. Inilah yang negara ini harus peduli dan berproses untuk mengatasi masalah, dalam upaya membangun ketertiban kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya.

Lebih lanjut Nasrullah, mengatakan, masyarakat tidak perlu merasa ketakutan dengan peringatan virtual polisi.

Pasalnya, dengan bergesernya Politik Hukum dibidang penegakan hukum yang semula langsung diproses, sekarang lebih kepada pendidikan dan pembelajaran kepada masyarakat dengan diingatkan jika ucapan, tulisan, dan tindakannya salah dan bersentuhan dengan hukum.

“Masyarakat, khususnya sebagian besar warganet sangat kesal dengan pelaku kejahatan berupa penistaan, penghasutan, ujaran kebencian sampai penyebaran berita bohong," ungkapnya.

"Setelah pelakunya diproses, mereka dilepaskan dengan cukup meminta maaf dengan materai 6.000. Sebagian menerimanya, namun bagaimana dengan korbannya. Benar kan?," ujar dosen Pidana Universitas Indonesia asal Aceh ini.

Dengan kondisi yang ada, Nasrullah berharap bahwa upaya Polri melalui Virtual Polisi dapat dikategorikan sebagai upaya membangun ketertiban.

“Mari kita jaga dan kawal bersama agar virtual polisi ini tidak didesign untuk mencari-cari kesalahan orang. Tetapi, mengingatkan masyarakat bahwa perilaku kita di dunia maya harus tertib, dengan cara: kita harus tertib sejak dalam pikiran, inilah tugasnya Virtual Polisi,” beber Nasrullah.

Sementara itu, ahli Digital Forensik Ruby Alamsyah mengungkapkan bahwa dirinya terus memantau efektivitas virtual polisi.

Berdasarkan data yang ia himpun dari Mabes Polri, diketahui data terakhir rekapan hasil pelaksanaan Virtual Polisi Dittipidsiber Bareskrim Polri telah mengajukan 419 konten yang berpotensi mengandung ujaran kebencian berdasarkan SARA yang berpotensi melanggar Pasal 28 ayat 2 UU ITE.

Dari jumlah itu, konten yang sudah berstatus PVP berjumlah 274 yang telah lolos verifikasi; 98 tidak lolos verifikasi; dan 47 dalam proses verifikasi.

Terkini, dari PVP yang telah lolos verifikasi tersebut, kondisi status peringatan terdiri dari 74 peringatan berstatus dalam proses; 68 peringatan dalam status peringatan pertama; 68 konten dalam status peringatan kedua; 27 peringatan berstatus tidak terkirim; dan 76 peringatan statusnya gagal terkirim.

“Data itu menunjukkan bahwa lebih banyak peringatan gagal terkirim. Artinya, pelaku ujaran kebencian itu ternyata akun anonim yang tidak bertanggung jawab. Setelah mereka posting ujaran tidak baik itu, mereka meninggalkan akunnya sehingga tidak bisa dihubungi oleh Virtual Polisi. Semoga situasi ini memberikan pemahaman, bahwa masih banyak orang tidak bertanggung jawab di dunia maya,” tutur Ruby.

Satu-satunya orang Indonesia sekaligus yang pertama menjadi anggota International High Technology Crime Investigation Association (HTCIA) ini menerangkan, virtual polisi memiliki SOP dalam memberikan peringatan. Dijelaskan, PVP hanya ditargetkan khusus pada konten-konten yang berisi ujaran kebencian berdasarkan SARA berpotensi melanggar pasal 28 ayat 2 UU ITE. Adapun mekanisme melaksanakan PVP yaitu sebagai berikut :
a. Polisi meminta pendapat ahli (menghindari subyektifitas)
b. Polisi memberikan pesan peringatan pertama
c. Polisi berikan pesan peringatan kedua
d. Polisi lakukan panggilan klarifikasi
e. Penindakan berdasarkan restorative justice

“Saya lihat secara teknis, virtual polisi ini tidak ada yang menyalahi dari aspek teknis digital, dan secara SOP itu clear. Terlihat dari proses verifikasi konten kepada para ahli,” tegasnya. (OL-13)

Baca Juga: Langgar UU ITE, Polisi Virtual Tegur 419 Akun Medsos



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi
Berita Lainnya