Headline

Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.

Fokus

Terdapat sejumlah faktor sosiologis yang mendasari aksi tawur.  

Audit Kerugian Negara Jadi Kendala Penahanan RJ Lino

Tri Subarkah
26/3/2021 18:16
Audit Kerugian Negara Jadi Kendala Penahanan RJ Lino
Manrtan Direktur Utama Pelindo I RJ Lino(Antara/Hafidz Mubarak A)

WAKIL Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menjelaskan lambatnya penahanan yang dilakukan terhadap mantan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, Richard Joost Lino. Padahal, lembaga antirasuah itu telah menersangkakan RJ Lino sejak Desember 2015.

Menurut Alex, kendala penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) pada 2010 itu disebabkan karena Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) meminta dokumen pembanding. Ini diperlukan BPK untuk menghitung kerugian keuangan negara.

"Itu sudah kami upayakan baik melalui Kedutaan Tiongkok, jadi kita waktu itu ada inspektorat dari Tiongkok ke KPK," ujar Alex di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/3).

Hal itu, lanjut Alex, diperlukan karena pihaknya membutuhkan harga asli QCC yang dijual oleh Wuxi HuaDong Heavy Machinery (HDHM) ke Pelindo II. Bahkan, Alex menyebut pada 2018, Laode Muhammad Syarif dan Agus Rahardjo yang saat itu menjabat komisioner KPK bertolak langsung ke Tiongkok.

"Dan dijanjikan bisa bertemu Menteri atau Jaksa Agung, tapi pada saat terakhir ketika mau bertemu, dibatalkan," ungkapnya.

Baca juga : KPK Tahan Eks Dirut Pelindo II RJ Lino

Diakui Alex, KPK sulit mendapatkan harga atau setidaknya harga pembanding QCC. Sementara BPK membutuhkan dokumen tersebut dalam perhitungan kerugian keuangan negara. 

Kendati demikian, KPK tetap mendorong BPK untuk melakukan penghitungan kerugian negara. Hasilnya, BPK hanya mampu menemukan kerugian berdasarkan dokumen pemeliharaan QCC. Sementara pembelian tiga unit QCC itu sendiri tidak bisa dilakukan.

Untuk mengakalinya, KPK menggandeng ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk menghitung harga produksi QCC tersebut. Alex menyebut ini adalah metode untuk menghitung replacement cost.

"Kira-kira berapa biaya yang dikeluarkan kalau alat itu diproduksi sendiri. Kami menggunakan metode itu dengan meminta bantuan dari ahli ITB untuk merekonstruksi alat QCC itu seandainya dibuat, harga pokoknya berapa," papar Alex.

Perhitungan ahli ITB meyakinkan penyidik KPK ihwal perbandingan harga yang signifikan dari harga pembelian yang dilakukan Pelindo II ke HDHM. Dari hasil hitungan ahli ITB, Alex menyebut ditemukan selisih US$5 juta.

"Harga yang dibeli dari Pelindo ke HDHM sebesar US$15 juta, kontraknya segitu. Sementara ahli dari ITB, mungkin termasuk ongkos angkut ke sini secara total US$10 juta," tandas Alex. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ghani Nurcahyadi
Berita Lainnya