Headline

Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.

Fokus

Pasukan Putih menyasar pasien dengan ketergantungan berat

UU ITE Berantas Hoaks, Bukan Berangus Kebebasan Berpendapat

Cahya Mulyana
20/2/2021 14:35
UU ITE Berantas Hoaks, Bukan Berangus Kebebasan Berpendapat
Ilustrasi(Dok.MI)

UNDANG-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tidak membungkam kebebasan berpendapat khalayak. Penegakan hukum dari aturan tersebut hanya menyasar pembuat dan penyebar fitnah, hoaks dan adu domba masyarakat.

"Kalau UU ITE membungkam dan menakutkan, apakah benar lalu media sosial (Medsos) jadi hening dari kritik. UU ini dibuat saat era Presiden SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) untuk membuat medsos lebih produktif," ujar Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika Henri Subiakto pada diskusi bertajuk UU ITE Bukan Revisi Basa Basi, Sabtu (20/2).

Pada kesempatan itu hadir pula selaku narasumber Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Achmad Baidowi, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Imelda Sari, Chairman Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha dan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi Muhammad Isnur.

Baca juga: MK Tolak 10 Gugatan UU ITE, DPR: Punya Legitimasi Konstitusional

Menurut Henri, UU ITE kerap dikorbankan dan menjadi kambing hitam oleh pihak tertentu. Sementara kritik dan masukan yang dimuat oleh masyarakat di medsos tetap lestari dan terlindungi dengan baik.

Pembuat fitnah dan hoaks, kata dia, harus terus menjadi sasaran UU ini guna menjaga ketentraman di tengah masyarakat. Pasalnya medsos sangat mudah digunakan untuk memicu kegaduhan.

"Medsos bersifat boarderless, bisa diulang dan dapat berdampak lebih luas maka sanksinya terhadap penyebar fitnah dan hoaks lebih tinggi ketimbang di KUHP. Di luar negeri sudah terbukti dampak fitnah bisa menimbulkan gejolak sosial dan politik yang kuat," paparnya.

Ia mengatakan pemerintah tidak pernah membungkam kritik atau pendapat masyarakat dengan UU ITE. Berdasarkan data SAFEnet paling banyak pasal yang dituduhkan multitafsir itu digunakan dalam konflik antarmasyarakat.

"Peringkat kedua baru ketika ada konflik pemerintah dengan masyarakat tapi itu pun pemerintah daerah bukan dengan pusat," terangnya.

Hendri menjelaskan, pemerintah tidak keberatan dengan desakan revisi UU ITE. Sebab, perlu peraturan tambahan dalam regulasi ini terkait penanganan akun anonim yang sulit ditindak ketika menyebarkan fitnah atau hoaks.

"Saya menilai yang berhak menilai UU ITE itu MK yang berkali-kali memutuskan Pasal 27 ayat (3) tidak melanggar konstitusi. Begitu pula soal 28 ayat (2), Pasal 40 ayat 2B. Kalau MK menyatakan tidak ada masalah, maka untuk apa revisi," paparnya.

Ia mengatakan, UU ITE sudah mendapatkan sentuhan perbaikan di masa Presiden Jokowi dari sebelumnya. Semula, regulasi yang dibangun di era Presiden SBY itu mengatur lebih luas soal penghinaan.

"Dulu satu bab membahas itu. Tapi sekarang cuma satu pasal. Kemudian juga deliknya aduan," pungkasnya. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik