Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Dasar Pembentukan Timsus HAM Kejagung Dipertanyakan

Tri Subarkah
01/1/2021 12:07
Dasar Pembentukan Timsus HAM Kejagung Dipertanyakan
Ilustrasi: Gedung Kejaksaan Agung(MI/M Irfan)

NIAT Kejaksaan Agung dalam menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan membentuk Tim Khusus Penuntasan Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, patut diapresiasi. Kendati demikian, peneliti Pusat Studi Hukum HAM Universitas Airlangga Herlambang P Wiratraman mempertanyakan dasar pembentukan timsus tersebut.

Menurut Herlambang, pembentukan struktur tertentu seperti timsus ataupun satuan gugus tugas harus berlandaskan fakta. Misalnya, Kejagung harus mampu menjelaskan kepada publik faktor apa saja yang menjadi hambatan sehingga kasus HAM berat tidak pernah selesai.

"Apakah faktor individu, sistem, perundang-undangan atau lebih mendasar dari itu semua, kultur dan struktur politik impunitas yang melekat dalam kelembagaan penegakan hukum," papar Herlambang kepada Media Indonesia, Jumat (1/1).

Apabila Kejagung tidak mampu memaparkan fakta-fakta yang menjadi dasar pembentukan timsus tersebut, Herlambang menyebut Korps Adhyaksa hanya melontarkan retorika politik penegak hukum semata. Hal ini, lanjutnya, justru akan menguatkan impunitas pada institusi itu sendiri.

Selain itu, ia juga menjelaskan niat baik yang dimiliki Kejagung tidak serta merta bisa menyembuhkan rasa ketidakadilan yang dirasakan masyarakat, terutama terhadap mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM berat. Bahkan seiring berjalannya waktu, niat-niat tersebut tidak bisa dipercaya kesungguhannya.

"Itu sebabnya niat tak ada gunanya sama sekali tanpa bukti nyata upaya pengungkapan kebenaran dan penyelesaian yang adil," ujar Herlambang.

Baca juga: Satgas HAM Berat Kejagung Diragukan

Oleh sebab itu, kinerja Timsus HAM di lapangan menjadi hal yang perlu ditekankan. Herlambang menyebut Kejagung perlu menjelaskan strategi apa yang menjadi pembeda antara kinerja Timsus HAM dengan apa yang telah diatur dalam Peraturan Jaksa Agung. Selain itu, Kejagung perlu memberikan penjelasaan ihwal target dan kerangka waktu kerja timsus tersebut.

Herlambang juga meminta Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin untuk menarik banding yang diajukan terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menyangkut pernyataannya soal perstiwa Semanggi I dan II. Sebab, banding tersebut justru bertolak belakang dan menunjukkan kemunduran dalam upaya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM itu sendiri.

"Bagaimana publik dan korban percaya, kalau Kejaksaan Agung sendiri ngotot untuk banding yang sebenarnya substansinya terkait dengan pernyataan tidak adanya pelanggaran HAM berat," tuturnya.

Sebelumnya pada Rabu (30/12), Burhanuddin resmi melantik 18 orang anggota Timsus HAM. Timsus tersebut diketuai oleh Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi. Sedangkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono didapuk menjadi Wakil Ketua Timsus HAM.

Nama lain yang mengisi struktur timsus tersebut antara lain Sekretaris Jampidsus Raja Nafrizal selaku Sekretaris Timsus HAM dan Direktur Pelanggaran HAM Berat pada Jampidsus Yuspar sebagai Koordinator Timsus HAM.

Menurut Burhanuddin, pembentukan Timsus HAM merupakan upaya konkret Kejaksaan guna percepatan penuntasan dugaan pelanggaran HAM berat. Hal tersebut sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo saat memberikan sambutan pada Rapat Kerja Kejaksaan RI dan peringatan Hari HAM Sedunia Tahun 2020.

Sembari berharap Timsus HAM mampu memberikan terobosan hukum sebagai solusi permasalahan yang ada, Burhanuddin juga meminta agar tim itu mengintensifkan komunikasi dengan Komnas HAM serta kementerian/lembaga terkait lainnya.

Terpisah, Ali Mukartono menjelaskan Timsus HAM akan menginventarisasi ulang masalah yang ada, sehingga 13 kasus dugaan pelanggaran HAM yang ditangani Kejagung jalan di tempat. Selain itu, pihaknya juga akan melihat probelmatika masing-masing kasus tersebut.

"Karakteristiknya masing-masing seperti apa, nanti kan model banyak yang diusulkan penyelesaiannya seperti apa. Kalau memang nggak bisa (melalui mekanisme pengadilan), ya nggak bisa dipaksakan," tukas Ali.(OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya