Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) mulai menggelar sidang sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHPKada) pada akhir Januari 2021.
Hal itu menjadi pertaruhan bagi MK untuk tetap menjaga marwah peradilan sehingga suap terkait hasil putusan sengketa pilkada yang pernah menjerat Ketua MK Akil Mochtar pada 2013 lalu, tidak terulang.
Anggota Dewan Pembina Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menuturkan, MK secara kelembagaan sudah punya banyak pengalaman dalam berhadapan dengan kebocoran dalam penanganan perselisihan hasil pilkada.
Mulai dari yang sangat fatal yaitu tindakan koruptif ketua MK Akil Mochtar sampai pada kasus pencurian berkas oleh satpam dan pegawai MK yang berujung pemecatan mereka. Namun, Titi menekankan bahwa MK harus menunjukkan kemampuan untuk terus memulihkan dan memperbaiki diri sehingga bisa kembali merebut kepercayaan publik.
"Untuk itu, jatuh-bangunnya MK pada masa lalu mestinya membuat MK makin memperkuat sistem integritas internal yang bisa mencegah terjadinya kebocoran dan potensi praktik transaksional selama persidangan berlangsung," ujar Titi ketika dihubungi di Jakarta, Kamis (31/12).
Menurutnya, MK bisa memaksimalkanpenggunaan platform digital yang dimilikinya dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas selama persidangan.
Baca juga : Permintaan Mobil Dinas Pimpinan dan Dewas KPK Ditunda
Termasuk, imbuh Titi, siaran langsung persidangan yang bisa diakses secara luas oleh publik.
"Jadi ada pengawalan bersama," tuturnya.
Selain itu, Titi juga mendorong internal MK untuk memastikan skema pengawasan, baik yang dilakukan oleh inspektorat, maupun sistem kelembagaan. Dengan dua hal tersebut, Titi meyakini integritas hakim dan pegawai MK tetap terjaga dalam menangani perselisihan hasil pilkada yang berlangsung.
"Selama ini MK sudah menunjukkan kinerja yang baik, mestinya tidak dipertaruhkan reputasi yang sudah baik itu dengan adanya oknum yang berano coba-coba mendegradasi marwah MK," ucapnya.
Ia menilai sistem pengawasan internal yang sudah dibuat oleh MK sudah cukup baik, tetapi menurutnya hal yang diperlukan ialah sesama jajaran MK perlu saling mengingatkan, mengawasi, dan mencegah agar potensi kebocoran putusan tidak terjadi.
"Jadi pengawasan dan pencegahan bersama oleh jajaran MK untuk saling menegakkan komitmen integritas dalam bekerja," tuturnya.
Celah dalam RPH
Pembahasan rapat permusyawaratan hakim (RPH) disebut-sebut bisa menjadi celah terjadi kebocoran atas hasil putusan terlebih diketahui oleh para pihak berperkara. Titi menilai regulasi, mekansime bersidang dan RPH sudah cukup baik. MK sudah memperbaikinya. Hanya saja, menurutnya kontrol internal yang harus selalu dijaga agar tidak kendor dalam mencegah kebocoran putusan yang mungkin bisa muncul.
Selain itu, ia mengatakan pihak-pihak yang bersengketapun mestinya tidak menggoda MK untuk melanggar integritas apalagi sampai melakukan cara-cara melawan hukum demi mencapai tujuannya. Selama ini, imbuhnya, kebocoran terjadi karena melibatkan dua pihak, internal maupun eksternal MK.
"Makanya kesadaran semua pihak untuk menjaga martabat demokrasi dan kelembagaan MK sangat penting untuk kita kawal dan pastikan," tukas Titi. (OL-2)
MK buka suara terkait isu pemakzulan wakil presiden (wapres) Gibran Rakabuming Raka yang santer belakangan ini.
ANGGOTA Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amalia menilai program Sekolah Rakyat akan berbeda dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mewajibkan sekolah gratis.
KEWENANGAN pengelolaan energi dan sumber daya mineral termasuk pemberian izin tambang, yang kini berada di tangan pemerintah pusat digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
MK menolak lima gugatan yang diajukan sejumlah pemohon berkaitan dengan pengujian formil dan materiil UU TNI
MAHKAMAH Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan atas pengujian UU Kejaksaan terkait hak imunitas bagi jaksa.
DUA orang advokat, Syamsul Jahidin dan Ernawati menggugat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) ke Mahkamah Konstitusi (MK)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved