KETUA Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyebut maraknya korupsi yang dilakukan kepala daerah berdampak langsung bagi publik. Masyarakat selalu menjadi korban dari kebijakan kepala daerah yang koruptif lantaran harus memenuhi imbal jasa donaturnya dalam pemilihan.
"Ini rahasia yang bukan rahasia lagi karena transaksinya di bawah meja. Pilkada selalu di bawah bayang-bayang cukong. Yang diijon posisi dan kebijakan publik," ucapnya dalam diskusi virtual Pilkada 2020: Wakil Rakyat atau Wakil Donatur?, di Jakarta, Sabtu (21/11).
Menurut Asfinawati, kebijakan publik kepala daerah yang terkait korupsi kerap nerugikan masyarakat. Ia mencontohkan kasus korupsi perizinan yang menjerat eks Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari. Data dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengungkap 136 izin perusahaan tidak dicabut meski terkait dengan kasus tersebut.
Kemudian, lanjut Asfinawati, kasus korupsi proyek PLTU Mulut Tambang Riau 1. Ia menyebut proyek tersebut tetap berjalan meski masyarakat menolaknya.
Baca Juga: Obral Korting Hukuman Koruptor
"Ada juga kasus korupsi PT Duta Palma Group terkait kasus pengajuan alih fungsi hutan di Riau. Pemberian izin ada kaitannya dengan kebakaran lahan. Izin kebun diberikan di daerah rawan terbakar," ucapnya.
Korupsi kepala daerah diyakini kuat erat kaitannya dengan pilkada. Mengutip data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Asfinawati mengatakan kasus kepala daerah tertangkap paling banyak di masa pilkada. Tertinggi yakni pada Pilkada 2018, tercatat 29 kepala daerah terjerat kasus rasuah.
"Kepala daerah yang korupsi mengambil suara masyarakat namun masyarakat sendiri tidak bisa menentukan kebijakan publiknya," ucapnya. (OL-13)
Baca Juga: Menkumham: Hukuman Mati bagi Koruptor masih Wacana