Diskon Hukuman Gerus Citra Lembaga Peradilan

Cahya Mulyana
22/9/2020 04:00
Diskon Hukuman Gerus Citra Lembaga Peradilan
Diskon Masa Tahanan 2019-2020(KPK/Tim Riset MI-NRC)

PEMOTONGAN vonis penjara bagi koruptor oleh hakim Mahkamah Agung (MA) terus berlangsung. Sepanjang 2019-2020 terdapat 20 perkara rasuah yang mendapatkan diskon hukuman (lihat grafis).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyayangkan putusan-putusan hakim MA yang terus mengabulkan peninjauan kembali (PK) dan memberi diskon hukuman pencuri uang rakyat tersebut.

Melalui pelaksana tugas juru bicara KPK Ali Fikri, kemarin, lembaga antirasuah itu berharap obral pemotongan hukuman itu tidak berkepanjangan. Sebab, hal itu akan memberi kesan buruk bagi lembaga peradilan di mata masyarakat. Citra pemberantasan korupsi pun diyakini dapat hancur karena hal itu.

“Sebagai garda terdepan bagi para pencari keadilan, KPK memastikan fenomena ini juga akan memberikan imej buruk di hadapan masyarakat yang makin kritis terhadap putusan peradilan. Pada gilirannya tingkat kepercayaan publik atas lembaga peradilan pun kian tergerus,” ujarnya.

Terlebih, kata Ali, pengurangan hukuman menggerus efek jera yang diharapkan muncul dalam pemberantasan rasuah. Dampak lebih besar dari sikap MA ini ialah perkembangan pelaku korupsi di Indonesia akan semakin parah.

“Selain itu tentu dibutuhkan komitmen yang kuat jika kita semua ingin memberantas korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Dimulai dari pimpinan negara ini hingga penegak hukum harus memiliki visi yang sama utamanya dalam upaya pemberantasan korupsi,” tegasnya.

KPK mendorong MA segera mengimplementasikan Peraturan MA tentang Pedoman Pemidanaan pada Seluruh Tingkat Peradilan. “Itu yang juga termasuk pedoman mengikat bagi majelis hakim tingkat PK,” pungkasnya.

Efek jera

Dalam kaitan yang sama, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak MA agar tidak mengistimewakan peninjauan kembali (PK) atau kasasi terpidana maupun terdakwa korupsi. Bila hal itu terus dilakukan, efek jera yang diharapkan dari pemberantasan rasuah bakal sirna.

“ICW mendesak agar Ketua MA (Muhammad Syarifuddin) menaruh perhatian lebih terhadap perkara-perkara yang diputus lebih ringan pada tingkat PK. Sebab, ICW menilai kondisi ini semakin memperparah iklim pemberantasan korupsi di Indonesia,” tegas Peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada Media Indonesia, kemarin.

Menurut dia, harapan pemberantasan rasuah dapat menimbulkan efek jera sudah dapat dipastikan tidak akan pernah terealisasi jika vonis kepada para koruptor selalu rendah. Catatan ICW, sepanjang 2019 rata-rata vonis untuk terdakwa kasus korupsi hanya dua tahun tujuh bulan.

Saat ini, tak dapat dipungkiri bahwa sosok seperti mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar tidak lagi tampak di MA. “Maka dari itu, para koruptor memanfaatkan ketiadaan Artidjo itu sebagai salah satu peluang besar untuk dapat menerima berbagai pengurangan hukuman di MA,” pungkasnya.

Di lain pihak, MA menolak penilaian tidak pro terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi karena memberi diskon hukuman pelaku rasuah. MA mengaku hanya mengabulkan sedikit dari total permohonan PK serta seluruh putusan mendasarkan pada bukti kuat.

“MA sama sekali tidak mengistimewakan terpidana, khususnya terpidana korupsi. Oleh karena itu, MA perlu menanggapi agar masyarakat dapat memahami tugas dan fungsi MA dalam menangani perkara, begitu pula lembaga peradilan yang ada di bawahnya,” kata juru bicara MA Andi Samsan Nganro, kemarin. (X-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya