Headline

Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.

Fokus

Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.

Jembatan Komunikasi yang Dipertanyakan

Indriyani Astuti
14/9/2020 04:51
Jembatan Komunikasi yang Dipertanyakan
Media sosial Sekretariat Kabinet menyajikan informasi terkait dengan kebijakan dan program pemerintah.(ICW, LPSE, LPNK)

KEBERADAAN influencer atau pemengaruh belakangan kian marak seiring munculnya media sosial, seperti Youtube, Instagram, dan Twitter. Meski dinilai mampu memberikan pengaruh terhadap opini publik, muncul kekhawatiran akan keakuratan dan informasi yang disampaikan.

Keterlibatan influencer dalam menyosialisasikan kebijakan pemerintah pun lazim dilakukan. Berdasarkan tulisan akademisi dari Universitas Bournemouth Elvira Bolat di kanal The Conversation menyebutkan pemerintah Inggris bekerja sama dengan influencer mencoba menghentikan penyebaran virus korona di masyarakat. Mereka membayar infl uencer dan bintang televisi untuk mempromosikan layanan tes dan pencarian kasus yang dilakukan National Health System (NHS), program kesehatan milik pemerintah Inggris.

Jasa influencer pun digunakan pemerintah Indonesia. Menurut Juru Bicara Istana Fadjroel Rachman, tidak ada yang salah dengan keberadaan infl uencer dalam membantu komunikasi publik pemerintah. Namun, kebijakan pemerintah itu mendapat respons beragam. Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah menilai influencer banyak yang tidak memahami kebijakan sehingga dikhawatirkan justru menimbulkan mispersepsi atau kesalahan masyarakat memahami informasi yang disampaikan.

“Ini pemborosan anggaran,” ujar Trubus di Jakarta, pekan lalu. Ia menekankan pemerintah harus transparan dan terbuka siapa saja influencer yang dilibatkan dalam menyosialisasikan program dan kebijakan. Itu karena anggaran yang digunakan berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan ada penggunaan anggaran yang relatif besar yang marak sejak 2017. ICW menemukan 40 paket pengadaan dengan dua kata kunci yakni, influencer dan key opinion leader.

Dugaan itu, menurut ICW, diperkuat munculnya beberapa sosok terkenal, seperti musikus Ardhito Pramono and pesohor Gofar Hilman yang mendukung omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja melalui tagar #IndonesiaButuhKerja. Keduanya akhirnya meminta maaf lantaran telah mempromosikan RUU yang dianggap kontroversial tersebut.

Sebelumnya, dalam cicitannya di akun Twitter @pergijauh dengan 656 ribu pengikut, Gofar memberikan klarifikasi. Ia mengaku tidak tahu
pembuatan konten yang diminta padanya turut mendukung omnibus law dan tidak melakukan riset ketika menerima pekerjaan.

“Siang semuanya, di sini gue akan menjelaskan soal pekerjaan yang sempat gue ambil dan sekarang jadi perbincangan. Awalnya, gue dapat tawaran untuk bikin video soal kreativitas di rumah dan gimana cara kreatif bertahan di masa PSBB,” cicit Gofar, dikutip Kamis (13/8).

“Dari deck presentasi dan brief yang gue dapat, tidak ada disebutkan mengenai RUU apa pun. Dan apa yang gue sampaikan melalui video dan tulisan, tidak ada pernyataan bahwa gue mendukung ataupun mengecilkan salah satu pihak tertentu,” imbuh Gofar.

Percaya diri

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menilai penggunaan media massa, baik cetak, elektronik, maupun daring dirasa sudah cukup sebagai sarana pemerintah menyampaikan informasi. Namun, bukan berarti DPR melarang pemerintah menggunakan influencer. Influencer memang bisa menjadi jembatan bagi pemerintah menyampaikan program dan kebijakan, tapi bukanlah menjadi hal yang utama.

“Kalau memang kurang itu bukan yang menjadi pokok influencer-influencer ini adalah jembatan yang menjadi pokok untuk menjembatani antara pemerintah dan masyarakat,” katanya.

Menurut Sufmi, penerapan influencer untuk menjembatani kebijakan komunikasi pemerintah ke masyarakat memiliki beberapa kelemahan. Belum semua masyarakat bisa menerima informasi dari influencer yang menjadikan media sosial sebagai sarana utamanya

Sementara itu, anggota Komisi IX DPR Netty Prasetiya beranggapan pemerintah sebaiknya tidak perlu memanfaatkan influencer jika percaya diri dengan program kerja dan kebijakan yang dibuat untuk masyarakat. (Uta/P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya