Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
SEJUMLAH akademisi dan aktivis masyarakat sipil berencana menggugat hasil revisi UU Mahkamah Konstitusi yang belum lama ini disahkan. Selain pembahasannya dilakukan secara tertutup, tergesa-gesa, dan tak melibatkan publik, revisi UU dinilai sebagai barter politik antar elite di DPR dan MK.
“Proses pembentukan dan materi muatan yang tercantum dalam revisi UU MK semakin melegitimasi kebobrokan pembentukan legislasi yang tidak sesuai UUD 1945,” kata Peneliti Kode Inisiatif Violla Reininda dalam diskusi daring, Senin.
Ia menjelaskan, tujuan pembatalan revisi UU MK ini untuk melepaskan MK dari pusaran konflik kepentingan politik. Selain itu, tambah Violla, untuk menjaga independensi hakim dalam memutus perkara.
“Jika tidak terselesaikan akan berdampak ke kewenangan MK di kemudian hari. Padahal tujuan MK dibentuk yaitu untuk mengimbangi dan mengoreksi kebijakan legislasi yang sudah dihasilkan kekuasaan eksekutif dan legislatif,” paparnya.
Baca juga: Komjak Sebut Ada Mafia Hukum dalam Perkara Joko Tjandra
Ketika kekuasaan MK sudah dipegang oleh legislatif dan eksekutif, pihaknya khawatir pembatasan kekuasaan dalam bernegara. “Padahal warga negara mempunyai hak konstitusional untuk menggugat kebijakan yang ditetapkan oleh pembuat UU,” ujarnya.
Barter Politik
Sementara itu, mantan Hakim MK, Maruarar Siahaan, menduga sejumlah poin yang ada dalam revisi UU MK merupakan barter politik bagi hakim MK yang kini menjabat. Terutama, ungkap Maruarar, perpanjangan masa jabatan hakim MK menjadi maksimal usia 70 tahun atau 15 tahun kerja sejak pertama kali diangkat.
"Ada suatu yang bukan tuduhan lagi. Jabatan 15 tahun dikasih ke generasi (hakim MK) yang sekarang maka itu adalah suatu barter politik. Seharusnya itu untuk generasi mendatang, bukan sekarang," jelasnya.
Menurutnya, perpanjangan masa jabatan tersebut berpotensi mengganggu independensi hakim MK dalam memutus gugatan terhadap suatu UU yang dibuat DPR dan pemerintah. Ia mengakui, dirinya tentu senang dengan perpanjangan masa jabatan tersebut apabila masih menjadi hakim MK. Karena itu, dirinya mensinyalir perubahan masa jabatan merupakan hadiah bagi hakim yang kini menjabat.
“Tentu dalam keadaan COVID-19 sekarang tidak ada pendapatan, entah bagaimana menutupi dapur, di sana (MK) terjamin 15 tahun dengan gaji tinggi, harus senang, alhamdulillah,” paparnya.
Menurut Maruarar, seharusnya apabila masa jabatan hakim MK diperpanjang, seharusnya penegakan kode etik juga diperkuat. Sehingga jika hakim MK terbukti melanggar kode etik, maka harus diberhentikan. Sayangnya, poin tersebut tersebut tak termuat dalam revisi UU MK. (OL-4)
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir membeberkan proses RUU MK tak bisa dilanjutkan karena waktu Masa Sidang DPR RI yang akan berakhir.
RUU tentang Perubahan Keempat UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang sebelumnya dibahas diam-diam kini belum jelas kapan akan dibawa ke paripurna.
BENDAHARA Umum (Bendum) Partai Nasdem Ahmad Sahroni menegaskan bahwa sebaiknya pembahasan revisi undang-undang (RUU) yang tengah di DPR untuk segera dibahas.
DPR belum akan memprioritaskan pembahasan revisi UU MK
Keempat revisi UU yang diusulkan Baleg itu sudah disepakati menjadi usul inisiatif DPR.
ANGGOTA Komisi III DPR RI dari Fraksi NasDem Taufik Basari mengatakan pihaknya menerima revisi Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi (MK) dengan catatan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved