Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

ICW Kecam MA Kurangi Hukuman Mantan Bupati Kepulauan Talaud

Basuki Eka Purnama
31/8/2020 08:30
ICW Kecam MA Kurangi Hukuman Mantan Bupati Kepulauan Talaud
Mantan Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip (tengah)(ANTARA/Aprillio Akbar)

INDONESIA Corruption Watch (ICW) mengecam putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung yang mengurangi hukuman mantan Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip.

"Sejak awal, yang bersangkutan telah dijatuhi hukuman selama 4 tahun 6 bulan penjara, tetapi karena putusan PK tersebut malah dikurangi menjadi hanya 2 tahun penjara," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan resmi, Senin (31/8).

Selain itu, lanjut dia, ICW menilai putusan PK itu terasa aneh sebab hukuman perantara suap dalam perkara itu yakni Benhur Lalenoh lebih tinggi dibanding dengan hukuman penyelenggara negara yang menjadi dalang dari tindak pidana korupsi.

Baca juga: Dugaan Korupsi Wabup OKU, 17 Orang Diperiksa KPK

"Sebagaimana diketahui, Benhur yang merupakan perantara suap Bupati Kepulauan Talaud dijatuhi pidana selama 4 tahun penjara," kata Kurnia.

Menurut dia, vonis PK tersebut jauh lebih rendah dibanding hukuman terhadap Abdul Latif yang merupakan Kepala Desa di Kabupaten Cirebon yang dihukum selama 4 tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi dana desa sebesar Rp354 juta.

"Namun, ICW tidak lagi kaget sebab sejak awal memang MA tidak menunjukkan keberpihakannya pada sektor pemberantasan korupsi. Tren vonis pada 2019 membuktikan hal tersebut. Rata-rata hukuman untuk pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara. Tentu ini semakin menjauhkan efek jera bagi pelaku korupsi," tuturnya.

Ia menuturkan dalam konteks itu, Ketua MA mesti selektif memilih majelis yang akan menyidangkan perkara pada tingkat PK.

"Semestinya, hakim-hakim yang kerap menjatuhkan vonis ringan terhadap pelaku korupsi tidak lagi dilibatkan. Tidak hanya itu, klasifikasi korupsi sebagai extraordinary crime seharusnya dapat dipahami dalam seluruh benak Hakim Agung, ini penting agar di masa yang akan datang putusan-putusan ringan tidak lagi dijatuhkan," ujar Kurnia.

ICW juga meminta tren mengurangi hukuman di tingkat PK tersebut mesti menjadi perhatian khusus Ketua MA. Berdasarkan data ICW, sejak Maret 2019 sampai dengan saat ini, setidaknya MA telah mengurangi hukuman sebanyak 11 terpidana kasus korupsi di tingkat PK.

"Jika ini terus menerus berlanjut, publik tidak lagi percaya terhadap komitmen MA untuk memberantas korupsi," kata dia.

ICW juga meminta MA agar menolak 20 permohonan PK yang sedang diajukan para terpidana kasus korupsi.

"Sebab, bukan tidak mungkin PK ini hanya akal-akalan sekaligus jalan pintas agar pelaku korupsi itu bisa terbebas dari jerat hukum," pungkasnya. (Ant/OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya