Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Residivisme Dokter Aborsi ilegal Laik Dihukum Mati

Muhamad Fauzi
18/8/2020 18:15
Residivisme Dokter Aborsi ilegal Laik Dihukum Mati
Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel(Istimewa)

HARI ini Polda Metro Jaya merilis kasus klinik aborsi ilegal dengan salah satu tersangka bernama Dr. Sarsanto W.S, Sp. OG. Nama yang sama ternyata juga pernah tersangkut kasus serupa pada tahun 2000 silam.

Lantas, bagaimana hukum menyikapi residivisme praktik aborsi ilegal ini? Bagi Reza Indragiri Amrie, psikolog yang juga aktif di Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) pelaku layak dihukum mati.

Mantan dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) yang saat ini kerap mengajar di Kemkumham membandingkan dengan UU 17/2016. Dimana predator seksual yang korbannya lebih dari satu, mengacu UU tersebut, bisa dikenai ancaman hukuman mati.

"Tapi (oknum) dokter jagal dengan korban ratusan bahkan mungkin ribuan janin (manusia), ancaman pidananya hanya sepuluh tahun. Tanpa pemberatan," sesalnya dalam pesan whattsapp kepada mediaindonesia.com, Selasa (18/8).

Baca Juga: Setahun Lebih Beroperasi, Klinik di Jakpus Aborsi 2.638 Pasien

Dia juga membandingkan proses berpikir dalam kasus pembunuhan berencana terhadap anak yang sudah dilahirkan niscaya sama dengan proses berpikir pelaku aborsi. "Bedanya, yang satu bisa dijatuhi hukuman mati, sedangkan yang kedua maksimal sepuluh tahun. Bagaimana bisa berbeda," ungkap Reza

Sebagaimana diketahui, UU Kesehatan membolehkan aborsi karena alasan kesehatan. Pada pasal 15 ayat (1) dinyatakan bahwa dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi). Namun, itu tadi, hingga kini masih beragam pendapat soal istilah teknis tersebut. Sebab, aktivis perempuan menilai tindakan medis tertentu itu, hanya akan mencabik-cabik keutuhan diri perempuan sebagai manusia.

Sebenarnya, aborsi hanya boleh dilakukan apabila memang ada kelainan-kelainan janin yang akhirnya mengancam nyawa si ibu. Kondisi tersebut hanya dapat diketahui oleh dokter. Singkat kata, kegiatan aborsi dalam dunia kedokteran harus melalui berbagai pertimbangan medis dan etika.

Baca Juga: Kasus Pembunuhan WN Taiwan Membongkar Praktik Aborsi Ilegal

"Seharusnya hukuman residivesme pelaku aborsi ilegal itu setarakan dengan sanksi bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak dan sanksi bagi pelaku pembunuhan berencana. Maksimal, hukuman mati," tegasnya.

Sebab, jelas dia, UU Perlindungan Anak sendiri menetapkan azas non-diskriminasi terhadap anak. Artinya, anak yang sudah dilahirkan dan anak yang belum dilahirkan adalah sama nilainya. Pembunuhan terhadap anak yang sudah dilahirkan pun demikisn seharusnya dengs pembunuhan terhadap anak yang belum dilahirkan. (OL-13)

Baca Juga: Kemenkes Cermati Pasal Aborsi

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik