Lewat Uji Materi, MK Diharapkan Memulihkan Fitrah KPK

Cahya Mulyana
10/8/2020 16:25
Lewat Uji Materi, MK Diharapkan Memulihkan Fitrah KPK
Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif(ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

MANTAN Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menilai Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan sandaran terakhir dalam menjaga fitrah pemberantasan korupsi. Lewat uji formil dan materil revisi UU 19/2019 tentang KPK dapat mengembalikan kelembagaan, pegawai dan sistem independen penumpasan rasuah yang independen.

"Pejabat yang tidak mengikuti peraturan perundang-undangan itu melanggar dan harus kita melawan. Maka kita berharap kearifan, keindependenan, kepintaran dan keimanan hakim MK agar UU KPK itu betul-betul dikembalikan sebagaimana adanya," katanya saat menghadiri diskusi bertajuk Menelisik Pengesahan Revisi Undang-Undang KPK, Senin (10/8).

Menurut Direktur Eksekutif Kemitraan ini, UU KPK telah terbentuk lewat sejumlah proses dan tahapan yang melanggar ketentuan. Yang paling jelas adalah tidak dilibatkan atau dimintai aspirasi KPK saat pembahasan.

Padahal, kata dia, semua perundang-undangan membutuhkan masukan dari pihak yang akan menjalankannya. "KPK tidak mendapatkan draf, DIM, hingga surat resmi tentang pembahasan revisi UU KPK. Kami hanya mendengar ribut-ribut di media mengenai pernyataan DPR dan presiden yang menyatakan tidak akan melemahkan tapi memperkuat KPK," jelasnya.

Dia mengatakan, lembaga pemberantasan perampok uang rakyat mestinya memiliki independensi yang kuat mulai dari regulasi, sistem organisasi hingga pegawai. Padahal landasan yang diamanatkan dua hukum internasional itu sudah dirativifikasi Indonesia.

Sayangnya, kata Syarif, ketentuan itu tidak membuat pemerintah dan DPR mengurungkan upayanya dalam mengubah payung hukum KPK. Dengan begitu juga pemberantasan korupsi ke depan sangat memprihatinkan.

"Bagaimana sekarang penyadaapan ketika dewas tidak memberikan izin, lalu siapa yang mengawasinya kalau begitu. Ini sengaja disetting agar menghambat penangkapan aktor tertentu," ungkapnya.

Terkahir, Syarif menjelaskan perubahan akibat UU KPK menghentikan usaha pembangunan birokrasi yang akuntabel dan transparan. Ini menyangkut pembayaran gaji pegawai KPK yang semula melalui sistem single salary menjadi sistem penggajian ASN.

Lewat sistem yang selama ini diterapkan di ASN membuat pengawasan dari praktik korupsi sangat susah karena beberapa kali negara mengucurkan uang. Misalnya selain gaji, ASN mendapat tunjangan, uang operasional dan lain sebagainya.

Celah ini kerap digunakan oknum ASN untuk mendapatkan uang tambahan, kata dia, seperti membuat acara atau program yang tujuan utamanya mendapatkan pamrih. "Setelah itu peralihan ASN, pegawai KPK mengikuti gaji sesuai peraturan pemerintah yang baru. Padahal sejak dulu KPK mengupayakan penggajian menerapkan single salary sistem jadi gaji itu cuma satu kali saja supaya gampang dikontrol," pungkasnya. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya