Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Sistem Terbuka Lebih Realistis

Faustinus Nua
08/6/2020 05:50
Sistem Terbuka Lebih Realistis
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Saan Mustopa(MI/Bayu Anggoro)

FRAKSI-fraksi di DPR terbelah mengenai pembahasan revisi UU Pemilu untuk Pemilu 2024. PDIP dan Golkar ingin pemilu tertutup, sedangkan PKS, PKB, Partai Demokrat, dan NasDem menginginkan berjalan terbuka. Sementara itu, Gerindra menjadi satu-satunya fraksi yang belum menentukan sikap.

Sistem pemilu tertutup berarti masyarakat hanya memilih logo partai. Siapa saja yang akan masuk parlemen akan ditentukan oleh partai. Sementara itu, dalam sistem terbuka, masyarakat bebas memilih calon anggota DPR dari setiap partai di surat suara. Sistem pemilu terbuka terjadi di Pemilu 2014 dan 2019.

Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa, PDIP dan Golkar mengusulkan sistem proporsional tertutup untuk memperkuat posisi partai politik pada suatu daerah pemilihan (dapil). Sistem ini juga menjamin elite partai tidak kalah dalam pemilihan legislatif.

“Dengan sistem proporsional terbuka itu, banyak sekali elite partai ketika berhadapan dengan tokoh-tokoh yang ada di dapilnya itu, mereka kalah. Ini juga yang menjadi salah satu yang mendorong kembali ke sistem proporsional tertutup, juga ingin memperkuat posisi partai politik,” ungkap Saan saat diskusi virtual yang diselenggarakan Perludem, kemarin.

Saan mengungkapkan beberapa alasan Partai NasDem tetap ingin sistem proporsional terbuka. Pertama, Mahkamah Konstitusi lewat putusannya telah menghapus sistem proporsional tertutup pada 2009.

Sistem proporsional terbuka juga bisa menjaga hak eksklusif pemilih karena pemilih bisa mengetahui calon yang dipilihnya. “Hak untuk memilih anggota legislatif yang mereka pandang baik,” ujar dia.

Selain itu, sistem proporsional terbuka dianggap dapat menghindari potensi oligarki partai. Sosok yang terpilih murni pilihan masyarakat. Peneliti LIPI Mochammad Nurhasim mengatakan sistem proprosional tertutup yang dibahas dalam draf RUU Pemilu harus diatur secara terperinci.

Pasalnya, sistem yang mengatur perolehan suara bagi caleg dalam pemilu itu berpotensi menguntungkan para elite politik yang menguasai partai politik.

“Kalaupun nanti diubah menjadi tertutup, persyaratan untuk proses kandidasi politik itu dirincikan oleh penyelenggara atau dikecilkan di dalam undang-undang,” jelasnya.


Masih beragam

Sejauh ini, draf RUU Pemilu tengah dibahas Komisi II DPR RI. Banyak usulan beragam dari fraksi-fraksi di DPR, termasuk parliamentary treshold (PT).

Saan mengungkapkan dalam pembahasan draf RUU yang belum fi nal itu, ada fraksi yang mengusul PT untuk DPR RI 7% dan 5%. Ada pula yang mengusulkan PT DPRD provinsi 4% dan DPRD kabupaten/kota 3%.

Selain itu, ada juga fraksi yang mengusulkan agar ambang batas tersebut tetap 4%. Untuk itu, pembahas RUU Pemilu masih akan berlanjut dengan pernyataan sikap fraksi secara tertulis.

Dijelaskannya, Fraksi Nasdem dan Golkar mengusulkan PT untuk DPR RI berubah dari 4% menjadi 7%. PDIP mengusulkan PT untuk DPR RI menjadi 5%, DPR provisnsi 4%, dan kab/kota 3%. Sementara itu, PPP, PAN, dan PKS mengusulkan PT tetap 4%.

Sebaliknya, sekjen tujuh partai menentang usulan kenaikan parliamentary threshold dari Golkar dan NasDem menjadi 7%. Pernyataan sikap ini merupakan hasil diskusi virtual dari sekjen tujuh partai, yaitu Priyo Budi Santoso (Partai Berkarya), Afriansyah Ferry Noor (PBB), Gede Pasek Suardika (Hanura), Abdullah Mansuri (Partai Garuda), Ahmad Rofiq (Perindo), Raja Juli Antoni (PSI), dan Verry Surya Hendrawan (PKPI).

Sebaliknya, Perludem menilai kenaikan parliamentary threshold menjadi 7% tidak diperlukan. Hal itu dikhawatirkan banyak suara yang terbuang dan tak ada keselerasan antara dua pemilihan, yakni eksekutif dan legislatif. (P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik