Headline
Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.
TIM Panel Sosial untuk Kebencanaan kembali melakukan Studi Sosial Covid-19. Fokus studi kali ini adalah mengevaluasi pelaksanaan PSBB dan dampaknya terhadap ketahanan masyarakat.
"Saya melakukan studi kualitatif bersama tim tentang perilaku orang di pasar. Jadi secara prinsip studi ini, kami ingin mengidentifikasi sikap dan perilaku masyarakat yang berkaitan dengan situasi pengetatan secara sosial," ujar peneliti dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) yang juga terlibat dalam Tim Panel Sosial untuk Kebencanaan Dr. Dicky Palupessy, dalam acara webinar yang diselenggarakan BNPB, Selasa (2/6).
Sejumlah ketidakpatuhan terhadap protokol kesehatan didapati dalam penelitian ini.
"Ketika turun ke pasar, kita melihat masih banyak pengunjung, pedagang, pembeli, tidak mematuhi protokol kesehatan. Ada yang memakai masker tapi tidak memakai dengan benar, tidak tertutup rapat, memakai di dagu, atau bahkan di dahi seolah-olah seperti memakai kacamata," jelas Dicky.
Selain itu, ditemukan juga spanduk yang cukup provokatif bertuliskan "kebutuhan tidak bisa dilock down" sebagai ajakan agar orang tetap melakukan kegiatan secara normal.
"Kemudian, kami mengamati adanya jam sibuk (peak hour) di mana di area dan jam tertentu banyak pengunjung secara bersamaan datang, mengakibatkan situasi sosial dan physical distancing tidak diterapkan," imbuhnya.
Tim peneliti juga menemukan fakta bahwa dengan berbagai macam alasan, banyak orang yang masih melakukan pembelian harian.
"Jadi setiap hari kembali ke pasar, setiap hari belanja meskipun sebenarnya ada pilihan orang bisa berbelanja untuk tiga hari sekali atau satu minggu sekali," jelas Dicky.
Oleh karena itu, tim peneliti menganalisis dan menginterpretasi mekanisme psikologis masyarakat tersebut. Pertama, kata Dicky, telah terjadi bias kenormalan (normalcy bias) di masyarakat
"Jadi orang punya pikiran dan keyakinan, yang tentu saja tidak akurat, bahwa situasi masih seperti kondisi sebelum ada covid-19. Situasi sekarang dianggap normal-normal saja karena merasa dirinya tidak kena atau orang-orang yang dia kenal tidak kena positif covid-19," jelasnya.
Kedua, terjadi juga bias optimisme. Menurut Dicky, ini merupakan keyakinan yang tidak akurat bahwa seseorang lebih mungkin mengalami peristiwa atau hasil yang positif dan lebih kecil mendapatkan hasil atau peristiwa negatif dibandingkan orang lain.
"Jadi optimisme yang berlebihan, misalnya berpikir saya tidak akan kena," katanya.
Ketiga adalah rendahnya sense of behavior control. Hal ini diperlihatkan ketika orang tidak melakukan tindakan protektif dan tidak menjalani protokol kesehatan.
Jadi adanya keyakinan bahwa kendali atas perilaku yang dikehendakinya itu sulit untuk didapatkan. Misalnya, saya pergi ke pasar dan sudah siapkan masker, handsanitizer, tapi kemudian merasa, 'ah sebetulnya nanti yang akan mengendalikan situasi bukan saya tapi orang-orang yang ada di pasar'. Itu yang kemudian akhirnya menurunkan motivasi untuk menjadi protektif," jelasnya.
Oleh karena itu, lanjut Dicky, tim peneliti menganggap bahwa hal di atas bisa dijadikan area intervensi dengan memanfaatkan satu bentuk komunikasi publik.
"Khususnya yang kita sebut sebagai komunikasi risiko dalam krisis dan kedaruratan," jelasnya.
Komunikasi risiko ini, katanya, harus berfokus pada informasi risiko. Istilah new normal, misalnya, harus lebih diperjelas agar mudah dipahami semua lapisan masyarakat.
"Ini kemudian perlu dipahamkan bukan kepada satu kelompok tetapi kepada seluruh kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang sosio-demografi beragam termasuk kelompok disabilitas dan rentan," ujarnya.
"Terakhir, supaya komunikasi publik itu efektif, terfokus, maka saya mengusulkan perlu dipikirkan adanya unit khusus ad hoc yang merumuskan/mengolah dan mengelola materi komunikasi risiko yang diotaki oleh panel saintis lintas disiplin," pungkas Dicky. (OL-4)
PASCAPANDEMI, penggunaan masker saat ini mungkin sudah tidak menjadi kewajiban. Namun demikian, penggunaan masker nyatanya menjadi salah satu benda penting untuk melindungi diri.
Pengurus IDI, Iqbal Mochtar menilai bahwa kekhawatiran masyarakat terhadap vaksin berbasis Messenger Ribonucleic Acid (mRNA) untuk covid-19 merupakan hal yang wajar.
Teknologi vaksin mRNA, yang pernah menyelamatkan dunia dari pandemi covid-19, kini menghadapi ancaman.
Menteri Kesahatan AS Robert F. Kennedy Jr. membuat gebrakan besar dengan mencabut kontrak dan membatalkan pendanaan proyek vaksin berbasis teknologi mRNA, termasuk untuk covid-19.
PEMERINTAH Amerika Serikat membekukan dana sebesar 500 juta dolar AS yang dialokasikan untuk proyek vaksin mRNA produksi produsen bioteknologi CureVac dan mitranya, Ginkgo Bioworks.
Stratus (XFG), varian COVID-19 baru yang kini dominan di Indonesia, masuk daftar VOM WHO. Simak 5 hal penting menurut Prof. Tjandra Yoga Aditama.
Presiden Joko Widodo mengaku bingung dengan banyaknya istilah dalam penangan covid-19, seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar hingga Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat.
Demi membantu UMKM untuk bangkit kembali, influencer Bernard Huang membuat gerakan yang diberi nama PSBB atau Peduli Sesama Bareng Bernard dii Kota Batam.
Kebijakan itu juga harus disertai penegakan hukum yang tidak tebang pilih, penindakan tegas kepada para penyebar hoaks, dan jaminan sosial bagi warga terdampak.
Dari jumlah tes tersebut, sebanyak 20.155 orang dites PCR hari ini untuk mendiagnosis kasus baru dengan hasil 6.934 positif dan 13.221 negatif.
Untuk menertibkan masyarakat, tidak cukup hanya dengan imbauan. Namun harus dibarengi juga dengan kebijakan yang tegas dalam membatasi kegiatan dan pergerakan masyarakat di lapangan.
Epidemiolog UI dr.Iwan Ariawan,MSPH, mengungkapkan, untuk menurunkan kasus Covid-19 di Indonesia, sebenarnya dibutuhkan PSBB seperti tahun 2020 lalu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved