Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Kriminalisasi Dominasi Pelanggaran Kebebasan Sipil

Rifaldi Putra Irianto
11/2/2020 09:10
Kriminalisasi Dominasi Pelanggaran Kebebasan Sipil
Ketua YLBHI Asfinawati (tengah) bersama Dosen IPB Hariadi Kartodihardjo dan Direktur LBH Pers Ade Wahyudin (kanan).(MI/BARY FATAHILAH)

YAYASAN Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengungkapkan pelanggar­an kebebasan hak sipil di Indonesia pada 2019 masih tinggi. Sebanyak 51% dari seluruh data pelanggaran dilakukan dengan modus kriminalisasi, mulai penangkapan sewenang-wenang, pemeriksaan, hingga menjadikan tersangka atau terdakwa.

Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan tingkat pelanggaran yang tinggi itu cukup mengagetkan. “Bahkan, kami ketika datanya belum selesai hingga datanya selesai, tidak menyangka data mengenai pelanggaran hak sipil begitu banyak,” kata Asfinawati dalam diskusi publik Kebebasan Sipil di Era Infrastruktur dan Investasi, Jakarta, kemarin.

Data itu berdasarkan lima indikator, yakni kemerdekaan berekspresi, berserikat dan berkumpul; kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum; kemerdekaan beragama atau berkeyakinan; kriminalisasi termasuk kriminalisasi pembela hak asasi manusia; dan peradilan yang adil (fair trial).

Asfinawati memaparkan berdasarkan data YLBHI di 16 provinsi di Indonesia, korban dari pelanggaran kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum mencapai 6.128 orang. Sebanyak 324 di antaranya masih di bawah umur dan 51 korban meninggal.

Modus pelanggaran yang umum dilakukan di antara­nya kriminalisasi, penolakan atau pembatalan izin kegiatan, pelarangan kegiatan, intimidasi, penghalangan kegiatan, razia, dan pembubar­an paksa kegiatan.

Kemudian, pelanggaran hak kemerdekaan beragama atau berkeyakinan berdasarkan data YLBHI terdapat 15 kasus sepanjang 2019. YLBHI juga mencatat terdapat 169 kasus pelanggaran hak atas peradilan yang adil.

“Pelaku pelanggaran hak atas fair trial 58% merupakan polisi, sedangkan perusahaan atau swasta atau ormas 11% dan 10% merupakan pemerintah,” ungkap Asfinawati.

Akademisi Institut Pertanian Bogor, Hariadi Kartodihardjo, berharap pemerintah dapat membuka ruang baru untuk berekspresi dalam kebebasan hak sipil dan membuka sumbatan-sumbatan.

“Sumbatan yang ada seperti Undang-Undang ITE (Infromasi dan Transaksi Elektronik), pelemahan KPK, black list, dan lainnya,” ujar Hariadi. (Rif/P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya