Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Anang Hermansyah Tanggapi Kritik RUU Permusikan

Micom
02/2/2019 08:20
Anang Hermansyah Tanggapi Kritik RUU Permusikan
Anang Hermansyah(MI/Susanto)

INISIATOR sekaligus anggota DPR RI Anang Hermansyah menyambut positif kritik publik soal substansi materi RUU Permusikan. Menurut dia, kritik itu menandakan kepedulian dari stakeholder atas keberadaan RUU.

Rancangan Undang-Undang Permusikan saat ini masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019. Menurut Anang, kronologi RUU Permusikan bermula dari Kaukus Parlemen Anti Pembajakan yang ia inisiasi bersama politisi lintas fraksi pada Maret 2015. "Saat itu kita keliling ke berbagai pihak. Mulai Presiden, Kapolri, Jaksa Agung termasuk on the spot ke Glodok terkait dengan pemberantasan pembajakan di ranah musik," ungkap Anang dalam rilisnya, Jumat (1/2)

Efektivitas patroli pemberantasan bajakan oleh aparat kepolisian ternyata tidak efektif di lapangan. Kondisi tersebut, Anang menyebutkan, memunculkan ide urgensi regulasi terkait dengan eksistensi musik di Indonesia. "Berawal dari masukan dan diskusi dengan melibatkan banyak pihak memunculkan ide dibutuhkan regulasi berupa RUU Tata Kelola Musik. Namun pada akhirnya nomenklatur yang dipilih adalah RUU Permusikan," tambah Anang.  

Pada pertengahan Juni 2017, Anang menyebut komunitas musisi dan stakeholder yang tergabung dalam Konferensi Musik Indonesia (KAMI) datang ke Badan Legislasi DPR RI dan mengusulkan keberadaan regulasi di bidang musik. "Saat itu, 10 fraksi di DPR bulat mendukung keberadaan RUU Permusikan. Tidak hanya mendukung, DPR berkomitmen sebagai pihak yang menginisiasi RUU Permusikan. Momentum itu membuktikan, musik menyatukan sekat-sekat perbedaan politik," urai Anang.  

Anang menuturkan, RUU Permusikan tertanggal 15 Agustus 2018 yang saat ini beredar di publik merupakan usulan inisiatif DPR yang berasal dari BKD DPR RI dan diusulkan secara resmi oleh Baleg DPR RI sebagai inisiatif DPR dalam sidang paripurna DPR pada 2 Oktober 2018. "Nah, pada sidang paripurna DPR pada 31 Oktober 2018, RUU Permusikan resmi masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2019," terang Anang.  

Terkait dengan materi RUU Permusikan yang menimbulkan respons dari publik, Anang menyambutnya dengan positif. "Saya senang saat ini semua pihak berkomentar atas materi RUU," kata Anang.

Sejumlah materi yang dikritisi di antaranya di Pasal 5 RUU Permusikan yang dinilai akan mengekang kreativitas musisi dan dinilai sebagai pasal karet. "Saya bisa memahami kegelisahan teman-teman terkait pasal 5 RUU Permusikan, itu bisa didiskusikan dengan kepala dingin," cetus Anang.  

Hanya saja, kata Anang, pembuatan sebuah UU yang baik harus berlandaskan pada landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Isu kebebasan berekspresi yang disandingkan dengan norma di Pasal 5, kata Anang, harus dikembalikan pada ketentuan tentang HAM sebagaimana diatur dalam UUD 1945.  

"Isu kebebasan berekspresi dan berpendapat pada akhirnya dihadapkan padal Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 bahwa kebebasan itu dibatasi dengan UU yang mempertimbangkan nilai moral, agama, keamanan dan ketertiban umum dalam bingkai negara demokrasi," urai Anang.  

Kendati demikian, Anang juga memiliki catatan terkait Pasal 5 RUU Permusikan, khususnya di huruf f yang isinya "membawa pengaruh negatif budaya asing". Dalam penilaian Anang, ketentuan ini yang justru berpotensi menjadi pasal karet karena tidak jelas ukuran yang dimaksud.

Terkait uji kompetensi dan sertifikasi, Anang menyebut isu tersebut semata-mata untuk menjadikan profesi ini mendapat penghargaan dan perlindungan oleh negara. "Belum lagi syarat sertifikasi yang harus dimiliki jika musisi hendak tampil di pentas internasional. Tapi apa pun masukan dari stakeholder sangat berarti dalam proses pembahasan RUU ini," tandas Anang.

Ia menuturkan persoalan sertifikasi telah menjadi kebutuhan merujuk keberadaan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang merupakan hasil ratifikasi dari Regional Model Competency Standard (RMCS) dari Organisasi Buruh Internasional di bawah PBB.

"Memang tampak absurd mengukur karya seniman dan musisi melalui uji kompetensi dan sertifikasi. Namun globalisasi dan perdagangan bebas menuntut situasi seperti ini. Tapi semua harus kita diskusikan lebih detail kembali," ungkap Anang. (RO/X-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Anwar Surachman
Berita Lainnya