Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

RUU Permusikan tidak Relevan

Rizky Noor Alam
17/2/2019 08:10
RUU Permusikan tidak Relevan
MI/ADAM DWI(MI/ADAM DWI)

DI ANTARA banyak orang yang mengkritik RUU Permusikan, salah satunya ialah Prof Tjut Nyak Deviana Daudsjah.

Di sisi lain, pendiri Institut Musik Daya yang sudah melahirkan banyak penyanyi dan musikus papan atas Tanah Air ini, juga memberi banyak masukan dan pertimbangan krusial bagi idealnya peraturan yang lebih diperlukan industri musik di Tanah Air.

Tidak mengherankan, Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan yang didukung sekitar 260 musikus pun mengundangnya sebagai pakar dalam pembahasan mengenai pasal-pasal dalam RUU itu. Lalu, rekomendasi apa saja yang dibuatnya dan bagaimana pandangannya akan posisi musik di Indonesia, berikut penuturan perempuan yang menempuh pendidikan musik di Jerman dan Swiss itu kepada Media Indonesia, di Jakarta, Kamis (14/2).
     
Bagaimana hasil pembahasan yang Anda lakukan bersama Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan dan rekomendasi apa yang diberikan untuk RUU itu?
Sebenarnya saya diundang untuk diminta pendapat, tapi rupanya setelah dibedah di depan mereka pasal demi pasal bahwa ini tidak baik dan tidak perlu. Ibaratnya kalau tesis di ujian sidang, itu bab 1 saja sudah tidak lulus.

Kalau mau bicara core sebenarnya bisa saya sampaikan bahwa yang menulis naskah itu bukan orang yang tahu tentang musik, maksud saya musik secara umum. Setelah dilihat itu pun penulisnya tidak ada satu pun pakar musik, dengan sendirinya RUU Permusikan itu dirancang dengan sama sekali tidak matang karena mereka tidak memahami situasi di lapangan.

Saya sampaikan juga ke mereka sebaiknya dilibatkan musisi dari Sabang sampai Merauke jadi bukan musisi saja, melainkan juga agensi, pokoknya semua praktisi musik, industri musik, dan juga pendidikan. Kalau sudah bicara industri musik pasti di dalamnya ialah praktisi dan juga pendidikan, itu hasilnya kalau diskusi dengan KNTL RUU Permusikan.

Selain itu, setelah (RUU Permusikan) viral saya dihubungi Badan Keahlian DPR untuk datang sebagai pembicara guna membahas RUU ini. Setelah saya paparkan di depan Badan Keahlian DPR, mereka pun menyatakan naskah akademik ini ditulis ulang, jadi bukan direvisi. Berarti RUU mundur dahulu karena harus berubah total. Mereka juga minta bahwa saya menjadi salah satu tim penyusun.
     
Salah satu pasal yang dipermasalahkan ialah soal kompetensi. Sejauh mana urgensi kompetensi? Selain itu, bukankah kita sudah punya lembaga sertifikasi kompetensi yang Anda juga pernah menjabat ketua?
Pada 2007, di Konsorsium Musik yang mana saya diangkat ke dalamnya oleh Kementerian Pendidikan, itu sudah diminta pihak Dirjen Kursus dan Pelatihan untuk merancang Standarisasi Kompetensi Kerja Nasional Musik, dan sudah kami buatkan. Kemudian, pada 2009 disahkan Kementerian Pendidikan dan ditetapkan Kementerian Ketenagakerjaan. Artinya, profesi musik sudah diakui karena sudah ada standarnya serta sudah ada kodenya, yaitu MSK di Kementerian Ketenagakerjaan.

Kemudian, kami mendirikan Asosiasi Praktisi dan Pendidik Seni Pertunjukan Indonesia (Prasasti). Mengapa kami dirikan itu? karena setelah ada Standard Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), kami diminta untuk mendirikan Lembaga Sertifikasi Kompetensi Musik (LSK Musik). Jadi, asosiasi Prasasti yang ketuanya Ully Sigar Rusadi dan Pusat Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Pemusik Republik Indonesia (Papri), waktu itu gabung dan turut mendirikan LSK Musik. Jadi, intinya sudah ada secara pengakuan dari negara.

Oleh sebab itu, saya heran mengapa tiba-tiba di 2017 didirikan Lembaga Sertifikasi Profesi Musik (LSPM), yang mendirikan kalau tidak salah PAPRI dan difasilitasi Bekras di bawah Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Jadinya kan tumpang-tindih. LSK Musik ini kurang sosialisasi, seharusnya semua musikus di Indonesia yang memerlukan sertifikasi sudah tahu.

Dalam soal sertifikasi pula, orang yang diberi kewenangan menandatangani sertifikasi profesi seharusnya seseorang yang mempunyai latar belakang pendidikan formal musik, bukan hanya punya pengalaman. Sertifikasi itu hubungannya dengan pendidikan.

Selain itu, sertifikasi hanya diperlukan apabila musikus itu ingin mengajar di lembaga musik atau jika ingin tampil di luar negeri sebab ada beberapa klub yang menanyakan sertifikasi.

Selain itu, musik itu terdiri atas berbagai genre. Ada yang meminta ijazah, contohnya pemain orkestra itu minimal lulusan S-2 dan kalau tidak ada ijazah, tidak akan diterima bermain. Kalau penyanyi juga tergantung genre. Kalau penyanyi dangdut tidak perlu sertifikasi, tapi kalau menjadi penyanyi di opera, sudah pasti harus punya ijazah bukan sertifikat.
     
Ada kabar jika RUU Permusikan ini terkait atau mengakomodasi dari 12 poin hasil Konferensi Musik di Ambon tahun lalu. Poin-poin itu rekomendasi untuk perbaikan permusikan dan industri musik yang kemudian disampaikan ke Presiden.
Di Ambon itu 12 poin juga saya yang bantu menyampaikan, itu sama sekali tidak ada pembicaraan mengenai wacana RUU. Itu sebabnya mengapa Glenn Fredly (Ketua Komite Konfrensi Musik Indonesia) kecewa kenapa dibawa ke situ.

Soal 12 poin itu sebenarnya aspirasi dari praktisi dan pendidik musik agar lebih jauh diperhatikan dari pihak Pemerintah. Jadi, intinya semua suka musik, tapi musisi masih dianggap remeh orang-orang yang tidak mengetahui sedemikian banyaknya profesi musik.

Kalau untuk membuat RUU, bisa sekitar 3 tahun penelitiannya, itu pun tergantung pakar-pakarnya. Sekarang bisa dipersingkat karena sekarang sudah ada internet jadi bisa video conference, tidak perlu bolak-balik karena butuh biaya yang besar. Kalau bicara musik bukan hanya di Jakarta atau di Bali, melainkan juga Sabang-Merauke karena negara ini besar sekali, belum lagi jumlah musisinya ada berapa, belum lagi yang tradisional. Jadi, naskah akademiknya itu harus disusun ulang. RUU ini sudah tidak perlu dibahas karena tidak relevan.
     
Jadi kalau begitu RUU Permusikan ini urgensinya bagaimana?
Sama sekali tidak ada urgen. Mungkin urgensi dari pihak yang ingin menggolkan. Kalau benar-benar dilihat di lapangan, itu tidak ada sama sekali urgensinya. Kalau mau bicara urgensi, saya malah mengusulkan mengapa tidak dibentuk Dewan Musik saja, itu lebih cocok daripada memaksakan RUU Permusikan yang sebenarnya tidak relevan dengan keadaan yang sebenarnya di Indonesia.
     
Tahun lalu, Amerika Serikat baru mengeluarkan Modernization Music Act yang mengatur permusikan di era digital. Apakah menurut Anda hal yang seperti itu juga lebih krusial di kita?
Indonesia justru lebih urgen seperti itu. Zaman sekarang, orang-orang sudah tidak lagi menggunakan CD melainkan download mp3 dan itu bisa ribuan lagu. Memang UU seharusnya yang dipertegas ialah pembajakan. Itu yang harus diberantas, bukan aktivitas musikus dibatasi, apalagi kreativitas seperti orang mau menyampaikan aspirasi melalui musik dilarang.
 
Bagaimana agar musik dan industrinya di Indonesia bisa menjadi PDB yang besar, layaknya Korea dengan K-pop-nya?
Ini masalahnya kompleks sekali di Indonesia. K-pop is K-pop dan yang seperti diketahui K-pop itu didasari budaya Amerika, budaya Koreanya cuma bahasanya. Dilihat dari sosiologinya, Korea jauh lebih maju, jadi balik lagi ke pendidikan. Potensi kita justru berada di musik tradisionalnya. Misalnya, di luar negeri, orang bayar untuk menonton tarian Bali, tetapi di Bali tarian itu untuk welcoming tourist masuk lobi hotel. Jadi, pandangannya sudah berbeda.

Kalau mereka mau mengembangkan tarian tradisional itu harusnya digabungkan dengan yang internasional. Misal, tari Piring digabungkan dengan Balet, entah bagaimana seperti yang sudah dilakukan dunia internasional. Budaya kita apa-apa meniru dari luar, coba digali budaya sendiri. Indonesia sedemikian beragamnya punya etnik, seharusnya kita memikirkan, bagaimana bisa memodernisasi hal ini, bukannya meniru-niru lagi. Lebih baik buat hal baru yang inovatif berdasarkan budaya kita sendiri.
     
Di tengah iklim pemilu sekarang ini, dengan isu-isu SARA yang makin panas, menurut Anda apakah musik punya peran dalam menyatukan bangsa dan meningkatkan lagi toleransi? Caranya bagaimana?
Setiap pemilihan yang dipanggil ialah musisi untuk menggalang massa. Saya tahu cara meredamnya dengan musik karena musik itu macam-macam digunakan, bisa untuk penyembuhan, buat marah, karena masuknya langsung ke hati dan pikiran. Justru saya melihat ini momentum yang baik bagi para musikus Indonesia untuk bersatu dan tidak saling menghujat.
     
Sejauh mana, menurut Anda, pentingnya peran pendidikan musik bagi bangsa ini? Apa pula pentingnya atau manfaatnya menjadi pribadi yang kenal musik?
Musik itu sangat bermanfaat. Contoh pendidikan usia dini di TK, kalau itu dimasukkan belajar instrumen musik atau bermain bersama di grup band, bukan masalah terampil memainkan alatnya, tapi kerja samanya dulu dibentuk.

Di Amerika, Eropa, itu dari SD, musik itu ialah hal yang sehari-hari di sekolah karena mereka sudah menyadari secara psikologis usia dini kalau diajarkan musik itu menjadi lebih pintar karena otak kanan dan otak kiri berjalan.

Ilmu pengetahuan musik akan sangat membantu karena secara fakta meningkatkan inteligensia, meningkatkan jiwa sosial, budi pekerti, hal itu diperlukan untuk hidup bersosialisasi masyarakat. Saya malah menganjurkan bahwa mempelajari instrumen musik itu diwajibkan diseluruh sekolah dasar SMP-SMA supaya tidak ada tawuran, main musik ramai-ramai. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya