Selasa 11 Oktober 2022, 05:00 WIB

Suporter nan tak Kunjung Padam

Ade Alawi Dewan Redaksi Media Group | Editorial
Suporter nan tak Kunjung Padam

MI/Ebet
Ade Alawi Dewan Redaksi Media Group.

SEJUMLAH penonton (suporter) turun ke lapangan. Mereka bukan mau mengacaukan pertandingan, melainkan untuk ngibing atau menari Jaipong bersama-sama. Aksi ngibing dilakukan setelah tim kesayangan mereka mencetak gol ke gawang lawan. "Horeee....," penonton yang berada di pinggir lapangan sontak berhamburan ke lapangan.

Keriuhan aksi ngibing semakin menjadi ketika terjadi adu penalti. Saat tim kesayangan memenangi laga, hampir semua penonton, tua dan muda, bahkan anak-anak, turun ke lapangan. Panitia yang terdiri atas para akamsi alias ‘anak kampung sini’ sudah menyiapkan musik untuk mengiringi tarian Jaipong. Irama kendang yang menggoda membuat penonton bersukaria dan otomatis turun ke lapangan.

Itulah suasana pertandingan tarkam alias antarkampung yang saya tonton sejak saya kecil hingga remaja di kampung saya di Cikampek, Karawang, Jawa Barat.

Bila berbicara regulasi pertandingan ala PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) atau FIFA (Federasi Sepak Bola Internasional), aksi ngibing tersebut tentu diharamkan. Bahkan, panitia pelaksana yang membiarkan aksi itu bisa-bisa kena sanksi. Namun, itulah pertandingan sepak bola di kampung saya, yang berubah menjadi ajang kegembiraan kolektif warga. Menariknya, jika tim kesayangan kalah, mereka juga tidak marah, apalagi memukuli tim lawan yang telah mengempaskan tim tuan rumah.

Tarkam di kampung saya relatif terkendali berkat adanya ekosistem sepak bola yang terkelola dengan baik, seperti peran tokoh masyarakat/pemuda, aparat desa, aparat keamanan, wasit yang berintegritas, pemain yang sportif, dan suporter atau penonton yang menjaga pertandingan. Pendekatan hiburan dalam tarkam adalah salah satu sisi yang menjadi magnet pertandingan. Laga sepak bola tak sekadar adu lihai mengolah si kulit bundar, tapi juga sebagai ajang hiburan yang bisa mengohesikan masyarakat.

Tarkam selalu dirindukan masyarakat. Saking senangnya, masyarakat acapkali membahasnya dalam berbagai kesempatan, baik sebelum maupun setelah pertandingan. Mereka membahas kekuatan dan kelemahan tim kesayangan ataupun lawan di berbagai tempat, seperti di kedai/warung, pos kamling, hingga di rumah ibadah.

Penonton atau suporter adalah ujung tombak yang akan menggairahkan dunia sepak bola nasional. Seperti di kampung saya di atas, sepak bola berdampak pada daya tahan masyarakat. Energi anak muda di kampung tersalurkan menjadi suporter, bahkan pemain.

Tidak ada sepak bola bila tidak ada penonton atau suporter. Suporter adalah ‘api’ yang menyalakan dunia sepak bola nasional. Di Indonesia, meski bukan negara papan atas persepakbolaan, denyut kehidupan olahraga ini mampu menembus kampung-kampung di pedalaman.

Kekuatan suporter inilah yang menghidupkan liga-liga pertandingan sepak bola nasional, termasuk dunia bisnis di dalamnya. Kepala Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global Lembaga Penyelidikan Ekonomi & Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Mohamad Dian Revindo, mengatakan bergulirnya kembali kasta tertinggi kompetisi sepak bola Tanah Air itu berpotensi menciptakan nilai ekonomi yang besar jika dibandingkan dengan kompetisi sebelum pandemi.

"Bahkan bisa melebihi Rp2,7 triliun seperti sebelum masa pandemi," kata Dian dalam keterangan resmi, Kamis (4/8). Nilai ekonomi yang tinggi itu, lanjutnya, berkat antusiasme penonton dan fans yang tetap tinggi, juga mobilitas masyarakat yang berangsur normal sehingga dapat mendorong mereka datang ke stadion. Selain itu, kata dia, makin kuatnya bisnis hiburan TV dan saluran digital, serta pulihnya perekonomian nasional.

Kalau melihat fakta-fakta di atas, sangat miris dengan terjadinya tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang menewaskan 131 penonton. Petaka itu menunjukkan karut-marutnya manajemen persepakbolaan nasional. Mereka tidak mematuhi aturan yang digariskan oleh FIFA.

Para pemangku pertandingan dalam laga Arema FC-Persebaya tidak menghargai ribuan Aremania yang fanatik terhadap klub kesayangan mereka.

Rasa cinta Aremania dibalas dengan semprotan gas air mata. Sedihnya lagi, dari 131 penonton yang wafat, ada 33 anak.

Tragedi Kanjuruhan harus yang terakhir. Karena itu, musibah yang terjadi karena kebodohan pengeloaan di Stadion Kanjuruhan harus menjadi momentum bersih-bersih persepakbolaan nasional dan efek jera bagi para pelakunya yang bersalah.

Eksistensi suporter diakui dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Ada 7 ayat dalam Pasal 55 UU 11/2022 yang mengatur tentang suporter.

Pepatah mengatakan, keledai tak ingin jatuh ke lubang yang sama. Begitu pula PSSI, bukan? Tabik!

Baca Juga

MI/Ebet

Korupsi Kecil

👤Ahmad Punto Dewan Redaksi Media Group 🕔Kamis 30 Maret 2023, 05:00 WIB
MENTANG-MENTANG kecil minta dimaklumi. Karena ada pemakluman, yang kecil-kecil terus dilakukan, lama-lama menjadi...
MI/Ebet

Merayu Israel demi Palestina

👤Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group 🕔Rabu 29 Maret 2023, 05:00 WIB
PANDANGAN Wakil Presiden Ke-10 dan Ke-12 RI Jusuf Kalla soal perhelatan Piala Dunia U-20 sebenarnya menarik. Namun, boleh jadi sudah...
MI/Ebet

Amplop Merah di Rumah Ibadah

👤Ade Alawi Dewan Redaksi Media Group 🕔Selasa 28 Maret 2023, 05:00 WIB
DIIRINGI lantunan selawat menjelang salat Tarawih di sebuah masjid di Sumenep, Madura, beberapa orang membagikan amplop berisi uang Rp300...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

Berita Terkini

Selengkapnya

Top Tags

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya