Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
SEORANG presenter televisi membuat geger jagat maya. Musababnya, ia menentang arus. Saat jutaan rakyat Indonesia berdoa dan berdegup jantungnya demi mendukung timnas sepak bola Indonesia di Piala AFF, ia malah nyinyir. Padahal, ia warga negara Indonesia.
Ketika timnas lolos ke final setelah menang atas Singapura, sang presenter itu malah tak suka. Ia menyebut perayaan kemenangan itu lebay. Sudah seperti menang Piala Dunia. Padahal, baru menang semifinal, levelnya Asia Tenggara pula. Melawan sembilan pemain pula.
Ia terang-terangan berdoa semoga timnas kalah di final. Ia secara terbuka mendukung Singapura, Thailand, Malaysia, pokoknya selain Indonesia. Tanah Airnya sendiri. Sontak saja, pernyataan kontroversial di akun media sosialnya itu memantik reaksi keras.
Media-media daring beramai-ramai mengulas pernyataan 'aneh' itu. Presenter sepak bola Darius Sinathrya juga panjang lebar memberikan 'tamparan keras' kepadanya. Termasuk tamparan soal pernyataan sang presenter yang meminta agar sikapnya itu tidak dikait-kaitkan dengan nasionalisme karena sikap nyelenehnya itu tidak ada hubungannya dengan nasionalisme.
Saya tertarik mengulik pernyataan 'jangan kaitkan sepak bola dan nasionalisme'. Benarkah sepak bola tidak ada hubungannya sama sekali dengan nasionalisme? Saya menolaknya. Justru, menurut saya, sepak bola dan nasionalisme sudah seperti dua sisi mata uang. Keduanya selalu beriringan.
Setidaknya nasionalisme secara simbolis. Walaupun skalanya Asia Tenggara, bukan dunia, bagi sebagian besar orang Indonesia sepak bola sudah telanjur melekat dalam kehidupan. Bagi banyak orang di Republik ini, sepak bola telah menyatu dengan spirit keindonesiaan.
Jan Michael Kotowski, pengajar departemen ilmu politik di Universitas New Hampshire pernah menulis artikel bertajuk Reflection on Football, Nationalism, and National Identity. Di artikel itu ia mencatat ada tiga aspek keterkaitan sepak bola dan nasionalisme. Pertama, sepak bola sebagai ekspresi atau refleksi dari identitas nasional. Kedua, sebagai bagian dari praktik nasionalisme dan politik. Ketiga, sepak bola sebagai pembawa gagasan kebangsaan.
Kaitan antara sepak bola dan nasionalisme itu menemukan bentuknya paling jelas di Brasil. Di ‘Negeri Samba’ tersebut, sepak bola dan nasionalisme ada di titik paling ekstrem. Sepak bola telah menjadi identitas, praktik, sekaligus sebagai gagasan nasionalisme Brasil. Hal itu secara apik digambarkan mantan Presiden Dilma Rousseff.
Kata Rousseff, "Kami adalah Tanah Sepak Bola karena sejarah gemilang kami di lima kejuaraan dunia dan untuk semangat yang dipersembahkan setiap orang Brasil untuk tim mereka, untuk pahlawan mereka, dan untuk Selecao, tim nasional kami. Kecintaan rakyat kami terhadap sepak bola telah menjadi bagian dari identitas nasional kami. Bagi kami, sepak bola adalah perayaan kehidupan."
Memang, membandingkan sepak bola Brasil dengan Indonesia ibarat bumi dengan langit. Sangat jauh. Brasil merupakan negara tersukses dalam sejarah Piala Dunia dengan lima kali tampil sebagai juara. Adapun Indonesia, di level Piala AFF pun sejauh ini masih seperti mimpi tanpa ujung. Kecuali, malam nanti dan pada leg kedua 1 Januari 2022, timnas sukses menekuk Thailand.
Namun, fakta yang tidak bisa dibantah, walaupun timnas belum banyak memberikan kebanggaan kepada bangsa ini seperti Brasil, kecintaan masyarakat terhadap sepak bola Indonesia tidak pernah luntur. Tidak lekang bahkan ketika induk organisasi sepak bola kita, PSSI, karut-marut. Jutaan orang di negeri ini, dengan berbagai dinamika politik yang terjadi, tetap menganggap sepak bola ialah kita dan kita ialah sepak bola.
Kita akan melihatnya lagi malam nanti, juga malam Minggu pekan ini, saat timnas Indonesia berlaga di final Piala AFF melawan Thailand. Di 'piala dunia mini' itu kita akan menyaksikan lagi doa bergemuruh untuk Asnawi Mangkualam Bahar atau Evan Dimas dan kawan-kawan. Sejenak jalan raya lengang, lalu ramai oleh gemuruh kemenangan.
Setiap kemenangan timnas Indonesia, meminjam kalimat Dilma Rousseff, sudah menjadi perayaan kehidupan. Sepak bola membawa kita pada relaksasi kehidupan, bahkan suntikan energi, membawa semangat. Apalagi, dalam hampir dua tahun terakhir, kita seperti hidup dalam roller coaster, diombang-ambing covid-19. Semoga timnas menang agar kita lengkap merayakan kehidupan.
PAK Jokowi, sapaan populer Joko Widodo, tampaknya memang selalu akrab dengan 'agenda besar'.
SANG fajar belum juga merekah sepenuhnya ketika ratusan orang memadati pelataran salah satu toko ritel di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (14/7).
Bagi kita, kesepakatan itu juga bisa menjadi jembatan emas menuju kebangkitan ekonomi baru.
TUBUHNYA kecil, tapi berdiri gagah seperti panglima perang yang memimpin pasukan dari ujung perahu yang melaju kencang di atas sungai.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved