BELAKANGAN viral di media sosial video anak-anak menonton seseorang berceramah dengan kata-kata kasar. Begitu kasarnya pernyataannya sampai ada yang menyimpulkan sang penceramah memaki-maki, bukan berkhotbah. Pula, begitu kasarnya saya berat hati menuliskannya di sini. Toh, kebanyakan kita kiranya sudah menyaksikan video itu. Sebagian besar kita kiranya tahu apa kata-kata yang diucapkan sang penceramah.
Video itu paling tidak punya dua tujuan. Pertama, mengkritik si penceramah. Sang penceramah yang bercita-cita melakukan revolusi akhlak justru menghamburkan polusi akhlak. Alih-alih memperbaiki akhlak, si penceramah mengotori akhlak.
Kedua, video itu mengampanyekan perlindungan anak dari polusi akhlak. Di bagian akhir video itu tertulis ‘selamatkan anak dari polusi akhlak’. Banyak orangtua mengajak anak mereka menghadiri ceramah penuh makian dan kata-kata kasar itu. Teman saya mengatakan akan mengirim video itu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Merevolusi akhlak memang menjadi tujuan utama para nabi diutus ke muka bumi. Para ulama, pendeta, rabi, biku, dan pemuka agama sebagai ahli waris para nabi selayaknya melanjutkan misi nabi-nabi merevolusi atau mengubah akhlak umat.
Dalam tataran cita-cita, proyek revolusi akhlak yang dicanangkan sang pengkhotbah itu sudah betul. Celakanya, dalam tataran praktis, sang penceramah justru melontarkan kata-kata jauh, sangat jauh, untuk disebut berakhlak. Ini namanya beda cita-cita dengan kata-kata.
Padahal, lebih dari sekadar ahli waris nabi, sang penceramah mengklaim atau diklaim dirinya keturunan Nabi. Nabi, sebelum merevolusi akhlak umat, merevolusi akhlaknya sendiri supaya menjadi teladan bagi umatnya.
Sebagai ahli waris nabi, pemuka agama, apalagi yang mengaku keturunan Nabi, mesti menjadi teladan bagi umatnya. Untuk menjadi teladan, para pemuka agama mesti merevolusi akhlak mereka lebih dulu. Tanpa merevolusi akhlak mereka sendiri lebih dulu, alih-alih menjadi teladan, para pemuka agama justru menebar polusi akhlak, meracuni akhlak.
Karena para nabi telah merevolusi mereka sendiri dalam perkataan, mereka senantiasa berkata-kata santun. Nabi mengajarkan, jika tak bisa berkata santun, lebih baik diam.
Sang penceramah yang mengaku keturunan nabi itu kiranya alpa merevolusi akhlaknya sendiri lebih dulu. Itulah sebabnya ia mengeluarkan kata-kata kasar dalam ceramahnya. Alih-alih merevolusi akhlak, dia malah menebar polusi akhlak umat.
Bukan cuma dalam perkataan, sang penceramah juga tak bisa dijadikan teladan dalam perbuatan. Dia, misalnya, menciptakan sejumlah kerumunan yang terang benderang melanggar protokol kesehatan pencegahan penularan covid-19.
Dia menolak Satgas Penanganan Covid-19 yang akan melakukan tes swab terhadapnya. Dia memilih lembaga lain melakukan tes swab
terhadapnya. Namun, ketika Satgas Covid-19 hendak meminta informasi hasil tes, dia menolaknya dengan dalih kerahasiaan data pasien. Padahal, satgas memerlukan hasil swab test bukan untuk mengumbarnya ke publik, melainkan untuk keperluan pelacakan (tracing) jika hasilnya positif. Dia juga memaksa keluar dari rumah sakit, bila tak boleh dikatakan kabur dari rumah sakit.
Sang penceramah keturunan Nabi itu semestinya yang mengumumkan sendiri bila dia positif covid-19, serupa Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siradj yang mengumumkan dirinya terpapar covid-19. Kiai Said telah memberikan teladan. Orang mendoakan Kiai Said segera sembuh.
Para nabi juga sudah merevolusi akhlak mereka dalam perbuatan. Para nabi ialah kitab suci berjalan, kitab suci hidup (living holy book). Para nabi mempraktikkan kitab suci dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, perbuatan mereka menjadi teladan umat.
Sebaliknya, perbuatan yang mengaku keturunan nabi, serupa contoh sepak terjangnya dalam kasus covid19, tidak bisa menjadi teladan. Alih-alih memperlihatkan keteladanan akhlak, ia justru menciptakan polusi akhlak. Itu disebabkan dia belum selesai merevolusi perbuatannya.
Ada satu cerita seseorang yang akan melakukan revolusi. Ia awalnya ingin merevolusi dunia. Namun, ia tak sanggup melakukannya sehingga dia menurunkan targetnya menjadi ingin merevolusi negaranya. Merevolusi negara pun tak sanggup ia lakukan hingga ia menurunkan cita-citanya menjadi merevolusi organisasinya. Boro-boro merevolusi organisasinya, mengubah keluarganya pun ternyata dia tak mampu. Dia akhirnya memutuskan merevolusi diri sendiri.
Hanya ada satu kata buat dia yang bernafsu merevolusi akhlak: revolusi akhlakmu dulu!