Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
'HANYA ada satu negara yang pantas menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan, dan perbuatan itu adalah perbuatanku'.
Itulah petikan pidato pembelaan proklamator kita, Bung Hatta, dalamIndonesia Vrij pada 22 Maret 1928 di mahkamah pengadilan di Den Haag, Belanda. Di pengadilan inilah diputuskan bahwa Kerajaan Belanda mengganti kata Hindia Belanda menjadi Indonesia.
Pesan penting dari pidato Wakil Presiden pertama Republik Indonesia itu menyiratkan satu hal, bahwa menjadi pemimpin itu tidak nyaman. Ia tidak saja butuh langkah konkret dan kerja nyata, tapi juga yang terpenting ialah pengorbanan.
Tidak ada pemimpin hebat yang lahir di zona nyaman. Tidak ada pencapaian hebat yang tumbuh dari zona nyaman. Bahkan, leiden is lijden, memimpin itu menderita. Begitu pepatah kuno Belanda yang dikutip Mohammad Roem dalam karangannya berjudul Haji Agus Salim, Memimpin Adalah Menderita (Prisma No 8, Agustus 1977).
Karangan itu mengisahkan keteladanan Agus Salim. Agus Salim dikenal sebagai salah satu tokoh perjuangan nasional. Ia diplomat ulung dan disegani, tetapi sangat sederhana dansangat terbatas dari sisi materi.
Jika dicermati, ungkapan tersebut sangat sarat makna. Memimpin itu, pada level mana pun, ialah amanah, bukan hadiah. Memimpin itu sacrificing, bukan demanding. Memimpin itu berkorban, bukan menuntut.
Para pemimpin tidak boleh lupa, tak ada kemajuan bangsa tanpa pengorbanan kepemimpinan. Tak ada kemajuan tanpa jangkar moral yang andal. Pilihan-pilihan kebijakan politik dan ekonomi harus dijejakkan pada kesanggupan para pemimpin mengorbankan kepentingan egosentrismenya demi memuliakan nilai-nilai moral kenegaraan, prinsip-prinsip yang penting bagi orang banyak. Jangkar moral akan mengalahkan pencitraan, populisme, seolah-seolah membela kepentingan rakyat, tapi mengorbankan rakyat yang lain.
Pada prinsip-prinsip itulah mestinya para pemimpin, termasuk para pemimpin di tingkat daerah, bersandar. Termasuk saat menghadapi berbagai tuntutan, desakan, keinginan sebagian kalangan untuk meninjau ulang konsensus nasional. Pemimpin sejati akan menimbang secara tenang dan saksama beragam muatan dalam tuntutan itu, alih-alih melempar langsung ke struktur di atasnya lagi.
Dalam kasus penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja di berbagai daerah, misalnya, ada sebagian pemimpin daerah yang mulai goyah 'iman kepemimpinannya' dari prinsip-prinsip besar 'memimpin ialah menderita'. Bukan cuma satu, melainkan ada setidaknya 5 gubernur, 2 ketua DPRD provinsi, dan 8 bupati/wali kota.
Dari mereka muncullah kalimat bernada 'insubordinat', meskipun mereka sejatinya ialah bagian dari penyelenggara negara yang berada dalam satu dirigen. Kalimat itu di antaranya, 'Saya sudah mendengarkan aspirasi. Memang, dirasakan pengesahannya terlalu cepat untuk sebuah undang-undang yang begitu kompleks dan begitu besar'.
Ada juga yang secara 'sopan' meminta Presiden Joko Widodo untuk tidak buru-buru menerapkan UU sapu jagat itu. Bahasanya kira-kira seperti ini: 'Mohon agar Bapak Presiden menunda penerapan UU Cipta Kerja hingga benar-benar tuntas disosialisasikan kepada publik'.
Malah, ada yang secara 'telak' menolak konsensus yang sudah dicapai itu melalui laman Facebook pribadi dengan menulis, 'Assalamualaikum, selamat sore, saya Gubernur Provinsi Kalimantan Barat dengan ini mohon kepada Presiden untuk secepatnya mengeluarkan perpu yang menyatakan mencabut omnibus law UU Cipta Kerja demi terhindarnya pertentangan di masyarakat dan tidak mustahil semakin meluas. Undang-undang yang baik harusnya sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat'.
Sang gubernur secara terang benderang telah berada dalam garis berseberangan tanpa menyisakan 'pertanyaan batin', bukankah saya ialah bagian dari pemerintahan? Apakah saya tidak terseret terlampau jauh ke arah populisme dan membangun citra di tengah permasalahan bangsa? Bukankah undang-undang ini merupakan jawaban atas keluhan kami soal sulitnya mendatangkan investasi dan sulitnya menyerap lapangan kerja?
Bukankah saya disumpah untuk tunduk pada undang-undang? Bukankah saya tidak berwenang menilai undang-undang? Bukankah dengan menyebut bahwa 'undang-undang yang baik dan benar ialah yang selaras dengan keadilan yang tumbuh di masyarakat', artinya saya sudah menilai sebuah instrumen yang tidak seharusnya saya nilai?
Jalan nyaman, enak, tenang, tidak dipusingkan tetek bengek yang mengganggu nyenyaknya tidur, jelas bukanlah jalan pemimpin. Ia juga bukan jalan 'perbuatan' sebagaimana pernah digaungkan Bung Hatta.
Sebelum larut dan terseret semakin jauh dalam badai populisme, wahai para pemimpin, segeralah bangun dan kembali ke kredo utama sebagai pemimpin, leiden is lijden, memimpin itu menderita. Kalau tidak sanggup, ya, jangan jadi pemimpin.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
PADA dasarnya manusia ialah makhluk yang tak pernah puas. Ketidakpuasan disebabkan memiliki ambisi yang sering kali melampaui akal sehat sebagai manusia.
PEMBICARAAN seputar syarat calon presiden (capres) bergelar sarjana terus bergulir liar.
Lee sempat cemas. Namun, ia tak mau larut dalam kegalauan.
SEKITAR enam bulan lalu, pada pengujung 2024, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatalkan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% untuk mayoritas barang dan jasa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved