Headline
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
INI pertanyaan paling 'absurd' yang pernah saya terima. "Kenapa kamu tak nyalon presiden?" Saya tak langsung menjawab, ya karena 'absurd' itu.
"Saya?"
"Iya, kamu."
"Siapa yang mau milih?"
"Saya..." Serius jawabnya, seperti juga pertanyaannya.
Itulah tanya-jawab singkat saya dengan Wak Sudin, tokoh di kampung kami, baru-baru ini. Usia Wak Sudin di atas 95 tahun. Setiap pulang kampung saya menyempatkan bertemu dengannya. Selain silaturahim, ia kamus berjalan tentang peristiwa masa lalu. Ia bisa menjadi narasumber yang asyik untuk hal-hal yang nostalgik.
Ketika kami kanak-kanak, dulu, rumah Wak Sudin menjadi tempat salat tarawih setiap bulan Ramadan. Surau panggung di depan rumahnya, tempat kami mengaji, tak menampung jemaah. Rumah Wak Sudin, waktu itu, tak hanya paling bagus, tapi besar dan ruang depannya terbuka.
Kembali ke pertanyaan Wak Sudin, meski menurut orang yang ikut mendengar dialog singkat itu, bukan datang dari 'ruang hampa', tetapi buat saya tetap 'absud'. Saya tak hendak memperpanjang soal rasionalitas itu, saya hanya membayangkan dua hal berkaitan dengan pertanyaan Wak Sudin itu.
Pertama, saya justru berandai-andai. Seandainya dengan kehendak Tuhan saya sekarang calon presiden, saya membayangkan, pasti dalam sekejap saya akan di-bully habis-habisan. Keluarga dan masa silam saya akan ditelusuri dan diputarbalikkan.
Latar belakang saya yang hanya mengaji di surau kecil dan tidak di bawah pondok pesantren mentereng, bisa jadi akan dipersoalkan. Orangtua kami yang hanya pendiri organisasi Muhammadiyah kelas kecamatan, mungkin tak layak dijadikan sandaran keislamaan saya.
Kami yang sepenuhnya berasal dari darah orang kebanyakan, bukan darah biru, mungkin akan dicela leluhurnya tak keren. Terlebih jika ada calon lain yang berdarah biru, darah rakyat seperti kami akan disisihkan. Kesimpulannya, secara geneaologi saya tak pantas jadi calon orang nomor satu di Republik ini.
Para elite partai pendukung calon penantang akan melupakan bahwa esensi dari demokrasi dalam sebuah Republik ialah membaurnya rakyat dari segala lapisan untuk memuliakan negerinya. Mereka punya hak dan kewajiban yang sama. Mereka punya hak memilih dan dipilih.
Pergulatan para pemimpin, khusungnya Bung Karno dalam pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, membayangkan Indonesia merdeka kelak tidak memilih bentuk negara monarki. Kenapa? Karena kepala negaranya akan bersifat turun-temurun. Bukan dipilih secara bergantian oleh warganya. Itu tidak adil untuk Indonesia yang antipenjajahan dan feodalisme.
Kedua, menjadi presiden itu tugas yang sangat berat. Karena itu, Bung Karno pun tak berharap anak-anaknya, terutama Guntur Soekarno, kelak menjadi persiden. Ia menyampaikan unek-uneknya itu pada Cindy Adans dalam buku Sukarno, an Autobiography as Told Cindy Adams.
Soekarno merasa sangat bersyukur anak-anaknya tak 'berbakat' menjadi presiden. Mereka lebih 'berbakat' menggeluti kesenian (tentu waktu itu tak terlintas dalam bayangan Bung Karno, Megawati suatu saat menjadi presiden).
Kini imajinasi Bung Karno yang suatu saat seorang presiden dipilih, kini terlaksana. Namun, nafsu berkuasa yang menggebu-gebu, takut kalah yang menjadi hantu, kini pemilihan presiden jadi menakutkan. Karena etika kepantasan diabaikan dan komitmen kebersamaan ditanggalkan. Terlihat dan terasa, proses pemilihan presiden yang butuh kemuliaan dan keluhuran tabiat warga negara di posisi puncak, justru di titik nadir.
Saya menangkap pertanyaan Wak Sudin yang 'absurd' itu, justru karena ia merasakan betapa panas hawa pemilihan presiden yang hanya diikuti dua calon itu. Pertanyaan absurd kepada saya, sesungguhnya sebuah sindiran sosok sepuh yang gerah akan hawa politik yang menegangkan dan berpotensi membuat luka bangsa. Kaum cerdik cendekia mesti ikut terlibat menyelamatkannya.
"TUGAS utama kami adalah mewakili rakyat, jadi tak pantas rasanya jika kami diistimewakan atau mendapatkan banyak fasilitas atau gaji tinggi.''
BERAPA jumlah orang miskin di Indonesia? Jawabnya, bergantung kepada siapa pertanyaan itu ditujukan
PERJUANGAN mengusir penjajah lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri.
PRESIDEN Prabowo Subianto bertekad kuat, sangat kuat, untuk memberantas korupsi. Tekad itu tersurat tegas dalam pidato, tetapi tertatih-tatih merampas aset maling-maling uang rakyat.
ADA beberapa hal menarik dari peringatan Hari Raya Idul Adha, selain kebagian daging kurban tentunya.
PRESIDEN Prabowo Subianto kembali melontarkan ancaman, ultimatum, kepada para pembantunya, buat jajarannya, untuk tidak macam-macam
SAYA termasuk orang yang suka mendengar berita baik. Setiap datang good news di tengah belantara bad news, saya merasakannya seperti oase di tengah padang gersang.
NEGARA mana pun patut iri dengan Indonesia. Negaranya luas, penduduknya banyak, keragaman warganya luar biasa dari segi agama, keyakinan, budaya, adat istiadat, ras, dan bahasa.
APALAH arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Andai mawar disebut dengan nama lain, wanginya akan tetap harum.
MENGAPA pameran bursa kerja atau job fair di negeri ini selalu diserbu ribuan, bahkan belasan ribu, orang? Tidak membutuhkan kecerdasan unggul untuk menjawab pertanyaan itu.
"LIBUR telah tiba. Hore!" Pasti akan seperti itu reaksi orang, terutama anak sekolah, ketika mendengar kata libur. Yang muncul ialah rasa lega, sukacita, dan gembira.
SAYA lega membaca berita bahwa pemerintah tidak pernah dan tidak akan mempermasalahkan penyampaian opini publik dalam bentuk apa pun, termasuk kritik terhadap kebijakan.
HARAP-HARAP cemas masih dirasakan masyarakat saat melihat kondisi birokrasi pemerintahan di Indonesia, baik di pusat ataupun di daerah.
ADA benarnya pernyataan Sukarno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Namun, perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”
KOPERASI itu gerakan. Ibarat klub sepak bola, gerakan koperasi itu mirip klub Barcelona. Klub dari Catalan, Spanyol, itu dari rakyat dan milik rakyat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved