Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Mempertegas Otonomi Guru di Pilkada 2020

Eri Fauzi Rahman Pegiat Literasi Jabar/Pendiri Rumah Baca Masyarakat Cissel
30/11/2020 01:10
Mempertegas Otonomi Guru di Pilkada 2020
(Dok. Pribadi)

GURU memiliki hak otonom untuk mengembangkan profesionalitas dirinya sebagai pendidik, sekaligus abdi negara. Otonomi ini sangat diperlukan karena profesi guru sangat penting dan strategis dalam membentuk peradaban bangsa. Dalam Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Pada Pasal 7 ayat (1) dijelaskan, bahwa guru memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalannya. Antara lain, pertama, merencanakan, melaksanakan, menilai, dan mengevaluasi proses pembelajaran yang bermutu. Kedua, meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

Berdasarkan undang-undang tersebut, otonomi guru dimaknai sebagai kemandirian guru dalam melakukan banyak hal, yang terkait dengan profesinya sebagai guru. Ia dituntut mandiri, untuk sungguh-sungguh dalam meningkatkan kompetensi dirinya, baik kompetensi pedagogis, kepribadian, profesional, maupun sosial.

Kompetensi pedagogis ialah kemampuan yang harus dimiliki guru berkenaan dengan karakteristik siswa dilihat dari berbagai aspek seperti moral, emosional, dan intelektual. Kompetensi kepribadian ialah kompetensi yang berkaitan dengan tingkah laku pribadi guru itu sendiri, yang kelak harus memiliki nilai-nilai luhur sehingga tecermin dalam perilaku sehari-hari.

Kompetensi profesional ialah kemampuan yang harus dimiliki guru dalam perencanaan dan pelaksanaan proses pembelajaran. Yang dimaksud dengan kompetensi sosial di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pada Pasal 28, ayat 3, ialah kemampuan pendidik, sebagai bagian dari masyarakat, untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidik an, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

Pada bagian kompetensi sosial ini, keterlibatan guru di masyarakat menjadi poin penting. Guru dengan peran dan tanggung jawab sosialnya pasti bersinggungan dengan permasalahan yang terjadi di masyarakat (problem sosial). Hal itu menjadikan guru tidak dapat menghindar dari relasi dan interaksi dengan aneka kelompok kepentingan (interest group) masyarakat.

Menurut Almond, kelompok kepentingan di masyarakat ini, ada yang politis (political interest groups), dan nonpolitis (non-political interest groups). Kelompok kepentingan politis memiliki orientasi meraih jabatan politik dalam pemerintahan. Sebaliknya, kelompok kepentingan nonpolitis tidak memiliki orentasi meraih jabatan politik dalam pemerintahan.

Relasi guru dengan kelompok kepentingan ini (penguasa) tidak bisa dihindarkan. Apple menegaskan bahwa guru dan pendidikan memiliki relasi esensial dengan kekuasaan. Penguasa memiliki kepentingan terhadap guru. Sebaliknya, guru juga menaruh harapan besar atas perhatian penguasa.

Relasi antara guru dan penguasa secara normal dapat berlangsung secara fungsionalsimbiotis. Artinya, keduanya memiliki relasi saling menguntungkan. Namun, pada banyak kasus tidak selamanya bisa berlangsung positif, tetapi negatif dengan pola relasi eksploitatif dan dominatif. Pola relasi negatif tersebut hanya menguntungkan satu pihak, yaitu penguasa. Sebaliknya, guru kurang diuntungkan, bahkan ditindas hanya untuk melayani kepentingan kekuasaan. Inilah apa yang disebut dengan ‘politisasi guru’.

Politisasi guru bisa lebih tampak pada penyelenggaraan pemilu (pilkada). Arif Rohman dkk dalam jurnalnya tentang dinamika relasi politik antara otonomi guru dan dominasi kekuasaan menyimpulkan bahwa ‘politisasi guru’ dirancang sedemikian rupa oleh pe nguasa daerah dalam bentuk ‘praktik terselubung’, dengan tujuan untuk ‘meraih dukungan’ dari masyarakat luas melalui guru.

Atas jerih payah guru tersebut, penguasa daerah memberikan ‘imbalan jasa politik’ dalam bentuk ‘jabatan politik’. Menurutnya, ada dua bentuk ‘politisasi guru’ oleh penguasa daerah, yaitu melalui politik kooptasi atas organisasi federasi guru, dan melalui politik ‘pengambilan hati’ guru.

Fakta inilah sebagai bukti relasi antara guru dan penguasa terjalin erat. Selama fungsionalsimbiotis, dan berada dalam batas kenormalan, itu bisa berimplikasi positif. Namun, ‘politisasi guru’ oleh penguasa ber upa politik eksploitatif dan dominatif ini akan berimplikasi negatif, yaitu akan melemahnya sikap kritis mayoritas guru terhadap ragam dan arah kebijakan pendidikan.

Pada Pilkada 2020 ini, relasi guru dengan penguasa sejatinya mengedepankan relasi fungsional-simbiotis, keduanya memiliki relasi saling menguntungkan. Hal itu lebih bermartabat ketimbang terlibat kontestasi politik praktis transaksional.

Guru dengan kompetensi sosial yang dimilikinya bisa memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, atau aktif memberi masukkan kepada penguasa, dalam mewujudkan visi pembangunan daerah. Dengan mempertegas otonomi dan kemandirian guru pada pilkada Desember 2020 nanti, diharapkan akan tercipta penyelenggaraan pilkada yang berkualitas.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya