Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
EDUCATION is not just for earning a living; it is also for living a life (William EB Du Bois).
Sepuluh tahun masa kepemimpinan Jokowi ditandai dengan rusaknya sendi-sendi pendidikan Indonesia. Tiga pilar penting pendidikan, yaitu guru, orangtua, dan pemerintah, yang seharusnya menyatu dalam memperbaiki tata kelola pendidikan dibiarkan berjalan sendiri-sendiri, bahkan bertumbuk dan bertindih atas nama ego sektoral masing-masing.
Guru merasa benar sendiri di hadapan para siswanya, orangtua merasa telah memberikan kepercayaan penuh atas pendidikan anak-anak mereka kepada sekolah, serta pemerintah yang abai dalam membenahi struktur anggaran pendidikan yang lebih adil dan bermartabat untuk seluruh pemangku kepentingan pendidikan. Nampaknya, kita membutuhkan strategi untuk membaca dan memahami teks dan konteks pendidikan untuk ketiga pilar moral pendidikan.
Pedagogi fluida
Ada banyak kajian dan riset tentang rendahnya kualitas guru Indonesia. Mereka rerata terperangkap pada gaya belajar dan mengajar yang kaku dan rigid berdasarkan buku teks yang dipilih. Meskipun kurikulum diubah puluhan kali, pola mengajar guru tetap mengandalkan buku teks yang sangat tekstual tanpa ada usaha untuk melihat konteks bahan ajar, kondisi siswa, serta kebutuhan pengembangan kapasitas siswa berdasarkan tantangan dan dinamika perubahan gaya hidup yang serbainstan, serta sangat dipengaruhi teknologi serbadigital.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi metode pengajaran dan pembelajaran saat ini dalam pendidikan ialah bagaimana mengenali, di satu sisi, sifat holistis dan hidup dari topik-topik dengan berbagai lembaga yang terlibat dalam ruang belajar dan, di sisi lain, membuatnya relevan dengan tantangan kompleks yang dihadapi dunia.
Dengan munculnya mesin ekonomi baru sejak awal abad ke-21 seperti Tiongkok, Turki, dan India, dan dalam menghadapi tantangan global seperti pandemi covid-19, geopolitik internasional, pendidikan mengalami transformasi besar: menjauh dari sistem yang didominasi Anglo-Amerika yang berpusat tunggal menuju struktur yang tumpang tindih yang berpusat pada banyak pihak (Amah: 2019; Eriksen2019).
Kesadaran dan pengakuan terhadap berbagai budaya dan sistem semakin berdampak penting pada pemahaman kita tentang pengajaran dan pembelajaran. Pendekatan tradisional terhadap pendidikan yang didasarkan pada filsafat analitik dan dicirikan formalisme, asumsi peran yang tetap, dan disposisi kaku terhadap guru, peserta didik, dan pengetahuan, tidak lagi memadai untuk menghadapi meningkatnya kompleksitas yang dihadapi pendidikan, sebagai akibat dari keterhubungan global, dan permintaan akan perspektif baru terhadap pendidikan di dunia kontemporer.
Kuang-Hsu Chiang dan Asko Karjalainen melakukan kajian menarik dalam Fluid Education—a New Pedagogical Possibility (Scandinavian Journal of Educational ResearchVolume 66, 2022). Pemikiran pedagogis Chiang dan Karjalainen itu mendasari diri pada filsafat analitis yang memercayai bahwa pendekatan kependidikan harus cair (<i>fluid<p>).
Dialektika cair bukan hanya sebuah tawaran dan teori baru yang mengacu pada dialektika Hegel dan dilengkapi dengan Taoisme, tetapi juga mengakui nonlinearitas dan pertentangan yang biasanya dimiliki realitas pendidikan. Kerangka pendidikan cair menekankan pada gerakan dialektika di antara berbagai antinomi disajikan agar seorang terbebas dari waktu, ruang, dan posisi yang tetap dibahas karena realitas pendidikan ialah ruang yang kompleks dan kontradiktif untuk berbagai macam interaksi pedagogis.
Berbeda dengan pedagogi tradisional yang hanya mencari konfirmasi, kesepakatan, atau konsistensi, fluiditas pedagogis yang muncul dari pemikiran pedagogi dialektis menyoroti pentingnya dan kepositifan antinomi. Pendekatan dialektis terhadap pendidikan sebagian besar dikembangkan dalam tradisi pedagogi hermeneutik Jerman (Geisteswissenschaftliche Paedagogik) pada awal abad ke-19 oleh penulis seperti Dilthey (1968), Nohl (1949), Litt (1927), dan Spranger (1969).
Fluiditas atau keluwesan pendekatan pedagogis jenis itu perlu dilatihkan secara terbuka dan terus-menerus karena guru selama ini memahami pendidikan sebagai ruang yang terbatas pada teks tanpa konteks, pada ruang kelas tanpa melihat struktur sosial, serta keterbatasan waktu dalam belajar hanya ketika terjadi interaksi secara langsung dengan siswa di sekolah. Keterbatasan pemahaman guru tentang hubungan antara ucapan dan pemahaman menyebabkan proses pembelajaran menjadi kurang mendalam. Salah satu instrumen penting yang harus diubah ialah buku teks sekolah kita yang kurang mendalam melihat realitas konsep, teori, dan makna esensialnya bagi kehidupan.
Deep order thinking skill (DOTS) perlu diskemakan secara cerdas dalam buku teks sekolah, dengan pendekatan dialektika atau fluiditas pedagogis sebagaimana dijelaskan Chiang dan Karjalainen. Buku teks harus memastikan terjadinya dialektika yang mendalam sebagaimana ditulis Lao Tzu dalam Tao Te Ching bahwa 'Ketika orang melihat beberapa hal sebagai indah, hal-hal lain menjadi jelek. Ketika orang melihat beberapa hal sebagai baik, hal-hal lain menjadi buruk. Ada dan tidak ada saling menciptakan. Sulit dan mudah saling mendukung. Yang panjang dan yang pendek saling menentukan. Yang tinggi dan yang rendah saling bergantung. Sebelum dan sesudah saling mengikuti' (Mitchell, 1988).
Psikososial masyarakat
Teori belajar John Dewey menunjukkan seluruh situasi pembelajaran tumbuh dan berkembang dari lingkungan psikososial masyarakat karena pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman orang per orang. Itulah mengapa proses pendidikan selalu memiliki dua sisi, yaitu mental dan sosial. “School cannot solve society’s problems. In fact, school could affect much more rapid reforms if society changed first. If society really stopped being racist, it would insist (and enforce the expectation) that all its institutions, including school, do likewise” (Geneva Gay, 2000).
Jika pendidikan diartikan secara sederhana dalam bentuk kelembagaan, sekolah ialah penjelasannya. Karena itu, sekolah menjadi tempat bergantung setiap anggota masyarakat untuk mempersiapkan masa depan anak-anak mereka. Dengan sekolah yang memperoleh dukungan dari masyarakat yang berkehendak untuk berubah, sesungguhnya pendidikan telah bergerak ke arah yang benar.
Masalahnya ialah bagaimana dengan sikap mental masyarakat kita yang saat ini sangat permissive dari segi budaya dan mudah mengambil kesimpulan karena masyarakat kita belum terbiasa dengan perbedaan pendapat. Kedua jenis mentalitas masyarakat ini perlu dibangun ulang melalui serangkaian socio-therapy yang merupakan tugas utama dari moral pendidikan. Sekolah dengan struktur manajemen yang sehat dan dukungan masyarakat yang kuat merupakan kata kunci yang tepat untuk mengatasi masalah maraknya perilaku menyimpang siswa di sekitar kita.
Apa pun jenis sekolah dan jenjangnya, orangtua merupakan faktor dominan yang menjadi penentu sukses-tidaknya dan baik-buruknya anak-anak di sekolah dan sesudahnya. Negara punya peran kuat untuk menarik kesertaan masyarakat dalam proses pendidikan secara aktif. Namun, secara teks tugas masyarakat di dalam undang-undang sistem pendidikan kita belum memadai dan belum dihargai secara maksimal.
Tak ada penyertaan secara konkret masyarakat ke dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Sekolah dan negara perlu lebih aktif menggali potensi dukungan dari masyarakat sekitar sekolah. Dalam konteks penanaman moral dan budi pekerti, membuat ikatan emosional siswa-sekolah-orangtua sebenarnya berongkos sangat murah. Lakukan saja praktik memberikan informasi tentang aktivitas sekolah anak-anak mereka dengan mengirim weekly folder ke orangtua, atau buatlah skema homework is family work dalam seluruh buku teks siswa. Karena itu, kebijakan ulang penulisan dan reviu buku teks yang secara sengaja memuat desain keterlibatan orangtua dalam pengajaran dan pembelajaran ialah imperatif.
Posisi negara
Dalam Journal of Education Finance, Walter W McMahon (2006) menyebutkan hampir semua negara demokratis yang maju dan terkemuka menyumbang sebanyak 92,1% pembiayaan pendidikan dasar dan menengah. Hal itu terlihat dari intensnya pajak untuk kebutuhan pendidikan disosialisasikan kepada dunia industri. Sebaliknya di beberapa negara berkembang yang berpaham demokratis, perkembangannya sedikit lebih lamban, yaitu sekitar 78%. Di manakah posisi Indonesia? Krisis global yang semakin nyata saat ini akan membawa dampak serius pada kemampuan dan daya beli masyarakat terhadap jasa dan layanan pendidikan.
“As is the state, so is the school (sebagaimana negara, seperti itulah sekolah)” atau “What you want in the state, you must put into the school<(apa yang Anda inginkan dalam negara, harus Anda masukkan ke sekolah)” ialah ungkapan para penggagas korelasi antara demokratisasi dan situasi pendidikan suatu negara. Karena itu, peran negara bisa sangat amat kuat terhadap arah dan visi pendidikan suatu negara sehingga implikasi praktisnya akan menjadikan semua bangunan kebutuhan pembelajarannya menjadi sangat formal. Padahal, totalitas pendidikan harus meliputi semua jenis dan pendekatan pengajaran, baik formal, informal, maupun nonformal.
Secara teks peran negara di bidang pendidikan memang penting, terutama dalam mengatur tata kelola anggaran pendidikan dengan lebih efektif. Tidak seperti sekarang, pendidikan menjadi terpotong-potong ke dalam empat kementerian (dikdasmen, dikti dan saintek, kebudayaan, dan agama) yang distribusi anggarannya sangat tidak efektif dan efisien.
Efektivitas kebijakan pendidikan selama ini berlangsung tanpa evaluasi dan monitoring yang memadai. Sulitnya mengontrol perilaku birokrasi pengelola kebijakan pendidikan ialah hanya salah satu bukti yang menunjukkan reformasi birokrasi yang kita inginkan tak pernah berjalan. Penyebabnya antara lain ketiadaan unsur keterlibatan masyarakat ketika sebuah kebijakan hendak diakuisisi ke dalam bentuk program. Padahal, sejatinya, kesempatan masyarakat untuk terlibat dan memberikan masukan terhadap suatu kebijakan haruslah dibuka peluangnya.
Mengubah kesadaran teks yang sangat formal di tingkat guru, masyarakat, dan pemerintah menjadi lebih kontekstual ialah kerja budaya dan politik yang harus berlandaskan pada keikhlasan karena di dalam keikhlasan itu sendiri masih banyak residu keserakahan yang tersumbat karena kepentingan pribadi dan kelompok. Semoga pada 2025 nanti akan ada banyak kemenangan bagi keikhlasan dan kekalahan bagi keculasan. Amin.
SEKTOR kesehatan sangat berperan besar berkontribusi sebagai salah satu masalah yang harus diselesaikan bangsa ini.
PADA Maret lalu, PGRI menggelar kongres XXXIII di Jakarta, dengan salah satu agendanya ialah pemilihan ketua umum.
Partai Nasdem Karawang mencatat pencapaian luar biasa dalam kontestasi politik tahun ini
Jumlah kursi di DPR RI dari 5 menjadi 8, sedangkan di DPRD provinsi naik dari 4 menjadi 8 kursi.
Penyanyi asal Kanada, Shawn Mendes, 25, merefleksikan diri setelah melewati tahun yang berat pada 2023. Setahun terakhir yang mengalami kecemasan hingga ketakutan.
BEKERJA dan mendidik sebagai guru hampir selalu beriring dengan kepercayaan bahwa masa depan kehidupan berada di tangan generasi yang lebih muda; para murid dan pembelajar
Ada beberapa alasan yang mungkin menjelaskan mengapa banyak guru merasa pembelajaran mendalam sulit diterapkan.
BULAN Ramadan bukan sekadar bulan ibadah, tetapi juga momentum refleksi untuk meningkatkan kualitas diri.
PADA 1900, Raja Italia Vittorio Emanuele III dalam pidatonya menyoroti abad ke-20 sebagai 'abad anak'. S
Kehadirannya memicu perdebatan: apakah AI solusi bagi berbagai tantangan manusia atau justru ancaman bagi eksistensi manusia itu sendiri?
Filosofi pendidikan Indonesia, yang berakar dari ajaran Ki Hadjar Dewantara dengan semangat Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved