Headline
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
MEDIA INDONESIA (25/10) memberitakan penangkapan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, yaitu Erintuan Damanik (ED), Mangapul (M), dan Heru Hanindyo (HH) karena kasus korupsi dan gratifikasi. Ketiganya adalah majelis hakim yang telah memvonis bebas terdakwa Gregorius Ronald Tannur dari segala dakwaan, dalam kasus penganiayaan yang berakibat kekasihnya bernama Dini Sera Afrianti meninggal dunia.
Penangkapan ketiga hakim tersebut, kembali membuka borok para penjaga hukum dan keadilan. Sepertinya, nyaris tak ada lembaga tinggi negara yang luput dari jeratan korupsi. Berbagai bencana dan krisis belakangan ini seakan-akan tidak menumbuhkan sedikit pun sikap empati kemanusiaan. Apa yang seharusnya haram dan tabu dilakukan, malah dianggap sebagai sesuatu yang ‘wajar’ dan biasa-biasa saja.
Pada 1808 Johann Wolfgang von Goethe menulis sajak demikian: aus dieser erde quilen meine Freuden/und diese Sonne scheinet meinen Leiden (dari bumi ini bangkit segenap rinduku/dan mentari ini menyinari seluruh deritaku). Hari-hari ini kita dituntut kembali menyimak korpus rindu kita sebagai bangsa, dalam kerinduan para pendiri bangsa.
Ben Anderson bersaksi perihal kerinduannya kepada para pendiri bangsa kita: Mereka saling berselisih, namun mereka tetap merasa sebagai bagian dari satu arus emansipatoris. Mungkin itulah sebabnya maka pada zaman itu menghasilkan rangkaian pemimpin dengan kualitas dan kuantitas yang tak pernah kita lagi saksikan: sang pemula Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, Semaoen, Soewardi Soerjaningrat, Soetomo, Soekarno, Tan Malaka, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Sutan Sjahrir, Mohamad Roem, Djuanda Kartawidjaja dan banyak lagi. Apakah masih ada sosok-sosok seperti mereka di hari-hari ini?
Dalam konteks terkini, kontras tajam terjadi antara kualitas pra-kemerdekan dan post-kemerdekaan. Jika pada pra-kemerdekaan merekah solidaritas-emansipatoris, maka era post-kemerdekaan merebak wabah korupsi dan laku khianat. Ranah politik, sosial, ekonomi, pendidikan dan tidak terkecuali dalam agama-agama, semakin kumuh dengan maraknya penyelewengan, intrik, dan kebohongan.
Dugaan komersialisasi gelar Doktor Bahlil, misalnya, membuat dunia akademik tercoreng. Pun penggunaan kop surat Kementerian Desa oleh Menteri Yandri bukan sekadar hal sepele, bukan sekadar persoalan tertib administrasi, melainkan sebuah simbolisme kekuasaan yang disalahgunakan.
Secara vulgar dan tanpa malu, digenderangkan manuver politik yang sangat tidak kondusif untuk kelangengan demokrasi dan marwah negara hukum, kredibilitas dan legitimasi pemegang kekuasaan. Tulisan Denny Indrayana Duitokrasi Membunuh Demokrasi (Media Indonesia, 5/1/2023) barangkali benar. Salah satu tesis penting Denny, wajah perpolitikan Indonesia bisa dikatakan dikuasai satu kata, bukan demokrasi, melainkan duitokrasi.
Demokrasi ialah saat kedaulatan ada di tangan rakyat dan negara hukum dijunjung tinggi. Duitokrasi ialah antitesisnya, saat kedaulatan dibajak kekuatan duit, dan negara hukum direndahkan. Korupsi dan penyalahgunaan jabatan publik merefleksikan keburukan bukan hanya pelaku-pelaku secara individual, melainkan juga kelompok atau organisasi, entah itu privat entah publik. Justru, yang terakhir inilah yang paling berbahaya karena melibatkan banyak orang, dari berbagai level dan berkaitan dengan sistem organisasi.
Fenomena yang dipentaskan ini, mengingatkan saya akan pidato kebudayaan monumental dari jurnalis dan budayawan legendaris Indonesia, Mochtar Lubis, di Taman Ismail Marzuki Jakarta, tahun 1977, dua tahun setelah ia dibebaskan dari tahanan rezim Orde Baru.
Dalam narasi kebudayaan, Mochtar Lubis memaparkan enam karakter manusia Indonesia dengan munafik atau hipokrit pada urutan pertama. Hipokrit atau kemunafikan, artinya berwajah ganda, lain di bibir, lain di hati, lain lagi dalam tindakan. Munafik atau hipokrit termasuk tabiat yang wajib diwaspadai, demikian pesan eksplisit dalam Al-Quran dan Bibel. Kemunafikan membiangi krisis kredibilitas dan krisis keteladanan, serta krisis kenegarawanan.
Korupsi dan penyalahgunaan jabatan publik ialah kejahatan individual dan sekaligus sosial. Ia menghancurkan jiwa manusia dan melumpuhkan kemampuan manusia untuk bertindak etis. Ia menghancurkan manusia dan juga institusi-institusi sosial. Kofi Annan, mantan Sekjen PBB, dalam acara promulgasi Konvensi PBB Antikorupsi (2004) mengungkapkan, "Korupsi dan penyalahgunaan jabatan publik ialah sebuah wabah dengan spektrum dampak sangat luas, yang menghancurkan tatanan sosial. Secara etis, korupsi memiliki daya destruktif yang sangat masif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi mesti menjadi keprihatinan semua elemen bangsa Indonesia, termasuk agama-agama.
Kita patut berbangga, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki enam agama resmi yang secara umum sanggup hidup berdampingan secara damai dan harmonis. Itu berarti kita memiliki enam instansi moral atau etika. Klaim bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa religius memiliki konsekuensi logis, yaitu tuntutan dan keharusan untuk menerjemahkan nilai-nilai religius di dalam kehidupan sehari-hari.
Jika wajah politik dan kepemimpinan tidak mencerminkan nilai-nilai humanis dan etis sebagaimana diajarkan setiap agama, maka ini juga jadi salah satu pratanda belum berhasilnya edukasi agama di bidang pembentukan watak manusia dan bangsa Indonesia. Fakta ini bukannya hendak membuat kita pesimistis, tapi hendaknya jadi pemacu, motivasi setiap agama untuk lebih konsekuen, efektif dan efisien dalam memajukan edukasi nurani dan etika atau moral di tengah pelbagai krisis.
Masih ada sejumlah tantangan dalam menjalankan Koperasi Merah Putih.
WAKIL Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej buka suara soal kritikan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang disebut melemahkan KPK
Penelusuran tersebut dilakukan dengan menggali informasi melalui keluarga Topan Obaja Putra Ginting.
Kejagung resmi menyelidiki dugaan pengoplosan dan penyimpangan harga jual beras yang dinilai mengarah pada tindak pidana korupsi
Akibat perbuatan DG terdapat potensi kerugian negara mencapai Rp8,4 miliar.
Dana pencairan kredit untuk Sritex, yang seharusnya digunakan untuk modal kerja justru dipakai untuk membayar utang perusahaan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved