Headline

Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.

Fokus

Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.

Merdeka Belajar, Merdeka Ujian

Mahyudin Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma
11/9/2023 05:20
Merdeka Belajar, Merdeka Ujian
(Dok. Pribadi)

KAMPUS Merdeka, istilah yang kini tengah hangat diperbincangkan di kalangan mahasiswa Tanah Air. Konsep itu membawa harapan besar bagi generasi muda yang berjuang untuk mencari ilmu di perguruan tinggi, dengan harapan menjadi profesional ataupun akademisi yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan sambil membuka peluang kehidupan yang lebih layak dan baik.

Keunggulan utama alumni perguruan tinggi ialah kemampuannya melakukan riset, menganalisisnya, dan kemudian menuliskannya. Saya dapat pastikan, semua tahapan yang saya sebutkan tidak dapat dilakukan dengan baik jika mahasiswa kurang baca, apalagi tidak membaca sama sekali, dan kesempatan mahasiswa membaca buku ialah saat mereka menulis skripsi.

Jadi, dapat dibayangkan, jika kampus mengambil kebijakan mengikuti arahan Mas Menteri untuk memberikan pilihan kepada mahasiswa untuk tidak menulis skripsi, mutu sarjana seperti apa yang akan kita dapatkan kemudian? Bukankah sebaiknya kita fokus memperhatikan masalah yang lebih mendesak di dunia pendidikan dasar dan menengah ketimbang mengurus skripsi mahasiswa yang seharusnya sudah ditangani dengan baik oleh manajemen perguruan tinggi dan profesor?

 

UTS/UAS masih perlukah?

Tugas Mendikbud-Ristek ialah memastikan bahwa anak-anak Indonesia mendapatkan pendidikan berkualitas dan merata. Salah satu upaya yang dilakukan Mas Menteri pada awal masa jabatannya ialah menggantikan ujian nasional (UN) dengan asesmen nasional berbasis komputer (ANBK).

Kami sebagai warga sekolah berterima kasih kepada Mas Menteri atas keputusan itu. Pergantian itu telah membantu melepaskan beban psikologis anak-anak yang terlalu tertekan saat menghadapi UN. Langkah itu ialah langkah besar menuju perubahan positif dalam dunia pendidikan dasar dan menengah.

Namun, ada satu hal yang perlu Mas Menteri catat, yaitu masih ada ujian-ujian lain yang menghantui anak-anak kita dalam kehidupan belajar mereka, yakni ujian tengah semester (UTS) dan ujian akhir semester (UAS). Dua jenis ujian itu juga merupakan momok yang menakutkan bagi anak-anak di sekolah.

Kita perlu mengkritisi peran UTS dan UAS dalam sistem pendidikan kita. Apakah ujian-ujian itu benar-benar membantu dalam menilai kemampuan siswa atau hanya menjadi alat penilaian yang melelahkan pikiran dan batin siswa? Bukankah ujian-ujian itu bertolak belakang dengan konsep Sekolah Merdeka yang sedang digalakkan?

 

Portofolio

Menurut saya, daripada terlalu memusingkan soal keberadaan skripsi, sebaiknya Mas Mendikbud-Ristek memusatkan perhatian pada pendidikan dasar dan menengah yang masih belum merdeka dari berbagai ujian. Setelah terbebas dari UN—algojo yang 'menentukan' pintar-bodohnya siswa—mereka masih harus menghadapi ujian minimal dua kali dalam setahun. Belum lagi ujian-ujian harian dan sebagainya.

Kenapa menilai mereka dengan ujian? Padahal, banyak jenis penilaian yang tidak melanggar hak tumbuh kembang anak dengan baik dan benar, seperti portofolio, yang disesuaikan dengan tumbuh kembang anak.

Jika mengacu pada Marzano (1985), anak usia sekolah dasar harusnya lebih banyak pada pengembangan sikap dan keterampilan. Pengembangan dan penguatan aspek sikap dan keterampilan siswa sekolah dasar harus menjadi prioritas, ketimbang penguatan aspek kognisinya, hingga mereka menyelesaikan enam tahun sekolah dasar. Untuk siswa sekolah menengah pertama, aspek penguatannya masih pada aspek sikap dan keterampilan.

Pada level itu, aspek kognisi sudah mulai mendapatkan porsi lebih besar dan dikembangkan dengan memperkenalkan mereka dengan konsep-konsep sederhana ketimbang ketika mereka masih di sekolah dasar. Pada level ini, siswa didorong untuk mengeksplorasi dan mengembangkan minat dan bakat mereka.

Itu bagian dari upaya mendorong mereka menemukan jati diri, sesuai dengan usia pertumbuhan dan perkembangannya, yaitu usia 13-15 tahun. Pada level sekolah menengah atas, usia 16-17 tahun, porsi pengembangan afeksi, keterampilan dan kognisi mendapatkan porsi yang seimbang.

Pada level itu, siswa harus didorong untuk menghasilkan karya sebagai portofolio mereka. Konsep itu sebenarnya sudah tertera secara gamblang dalam kurikulum 13, tetapi sayang implementasinya masih terjebak pada penilaian sumatif-kuantitatif dalam bentuk ujian tengah dan akhir semester.

Paul Black dan Dylan Wiliam (1998)—dalam penelitian mereka berjudul Inside the Black Box: Raising Standards Through Classroom Assessment, yang diterbitkan di jurnal Phi Delta Kappan 80, No 2—menekankan pentingnya penilaian formatif, dengan penggunaan portofolio sebagai salah satu alat untuk memberikan umpan balik yang bermanfaat kepada siswa.

Menurut mereka, penggunaan portofolio dapat membantu siswa memahami tujuan pembelajaran, melibatkan siswa dalam proses pembelajaran aktif, mengembangkan refleksi diri tentang kemajuan belajar mereka, serta memungkinkan guru memberikan umpan balik yang lebih mendalam dan berfokus. Ada beberapa jenis portofolio yang dapat dikembangkan sekolah sebagai penilaian formatif, yaitu portofolio akademik, seni dan kreativitas, olahraga dan kesehatan, ekstrakurikuler, pekerjaan sambilan, prestasi dan penghargaan, kepemimpinan dan layanan masyarakat.

Sebenarnya banyak sekolah sudah menggunakan portofolio untuk siswa SMA, dan paling banyak adalah portofolio akademik, seni dan kreativitas, olahraga, serta ekstrakurikuler. Namun, portofolio belum dijadikan alat penilaian. Portofolio baru dijadikan koleksi untuk kepentingan mendaftar ke perguruan tinggi. Siswa masih tetap melakukan ujian tengah dan akhir semester. Portofolio hanya diperlakukan sebagai pelengkap.

Padahal, proses mendapatkan portofolio pasti didahului rasa ingin tahu dan keberbakatan, tertarik, kemudian bakat tersebut digali dan dikembangkan. Proses itu lebih mendalam ketimbang proses belajar dalam kelas dan ujian. Misalnya, untuk mendapatkan portofolio akademik, siswa harus melakukan penelitian, kemudian menuliskan laporannya dengan menyusun, menata dan menganalisis data, serta menuliskan temuannya.

Untuk mendapatkan portofolio seni dan kreativitas—misalnya— siswa harus melukis, membuat ilustrasi, atau karya visual lainnya, atau menulis antologi puisi, cerpen, atau esai kreatif. Untuk mendapatkan portofolio olahraga, mereka harus melalui latihan cukup serius agar sukses menorehkan rekam jejak sebagai peserta berprestasi dalam sebuah kompetisi.

Untuk menghasilkan karya tulis, karya seni, maupun portofolio olahraga bukan hal yang mudah yang hanya mengandalkan bakat, melainkan juga melalui proses membaca buku, penelitian dan bimbingan yang cukup panjang, serta latihan yang cukup melelahkan. Jadi, sekali lagi, ketimbang mengurus perlu tidaknya mahasiswa menulis skripsi, sebaiknya Mas Menteri mulai mempertimbangkan mengganti penilaian melalui UTS/UAS dengan portofolio. Wallahualam.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya