Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Mendesain Sistem Pemilu di Indonesia

Ridho Al-Hamdi Wakil Dekan Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah
04/1/2023 05:00
Mendesain Sistem Pemilu di Indonesia
(Dok. Pribadi)

INDONESIA pasca-1998 mengalami pasang pusut demokrasi. Meskipun perkembangan positif telah dilalui, masalah masih banyak dijumpai. Sejumlah perkembangan positif, di antaranya, munculnya beragam partai politik, pelaksanaan pemilu yang bebas dan adil (lima kali sejak 1999-2019), terjadinya amendemen UUD 1945, mendorong peran perempuan di ranah publik, penghapusan perwakilan TNI-Polri di parlemen, mengurangi peran kontrol negara terhadap organisasi sosial, kebebasan berpendapat berserikat dan media massa, dan adanya pembagian kekuasaan ke dalam trias politika (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).

Sementara itu, sejumlah masalah masih saja ada, seperti dijumpainya kekurangan kebutuhan dasar manusia di sejumlah daerah dan merajalelanya korupsi di institusi parlemen, kepolisian, kejaksaan, ataupun lembaga pemerintah seperti kementerian dan kepala daerah. Selain itu, hubungan patrimonial dan nepotisme masih menggejala di lembaga-lembaga demokrasi, terutama mereka yang berurusan dengan rekrutmen ASN. Toleransi terhadap sesama juga lemah, sering kali terjadi saling klaim bahwa kelompoknya paling pancasilais dan lainnya tidak, begitu juga sebaliknya. Perang narasi kebenaran merajalela di dunia maya.

Dalam hal ekonomi pun mengalami stagnasi. Harga-harga bahan dasar, seperti BBM dan bahan pokok makanan, juga meningkat akibat resesi ekonomi. Hukum pun praktiknya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, tajam ke oposisi dan tumpul ke penguasa, tajam ke orang miskin dan sering kali tumpul ke pemilik modal atau konglomerat. Bahkan, sering kali lembaga independen negara malah dijadikan pemerintah sebagai alat memperkuat kekuasaan. Masih aktifnya kelompok radikal mengatasnamakan Islam, gerakan separatis di sejumlah daerah, dan gerakan terorisme yang menakut-nakuti dunia seolah Islam ialah agama yang berbahaya.

Di sinilah Freedom House masih memosisikan Indonesia sebagai negara semidemokratis dengan kelemahan pada peminggiran terhadap kebebasan sipil. Kasus pembunuhan terhadap aktivis FPI di KM 50, pembubaran Hizbut Tahrir, penggebukan kelompok oposisi dan gerakan kritis kepada rezim, juga para ulama serta sikap ugal-ugalan dalam pengesahan RUU omnibus law dan RUU KUHP merupakan sederet bukti pengebirian rezim terhadap kebebasan sipil di republik ini.

Sementara itu, The Economist Intelligence Unit (EIU) mengategorikan demokrasi Indonesia sebagai ‘flawed democracy’ (demokrasi cacat) yang menunjukkan fakta, demokrasi secara prosedural memang berhasil menyelenggarakan pemilu, tetapi lemah dalam hal tata kelola, memiliki budaya politik yang terbelakang, partisipasi politik yang lemah, dan pemasungan terhadap kebebasan media.

Sejumlah ahli Indonesia memberikan julukan terhadap pemerintahan Indonesia saat ini. Jokowi yang disebut oleh Ben Bland (2020) sebagai Man of the People kini tidak sedikit dari pendukungnya yang kecewa. Jokowi berubah menjadi presiden yang terpencil dan jauh dari rakyatnya, terkepung dan tersandera oleh kelompok bangsawan, baik kalangan elite bisnis maupun elite politik. Bland menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi merupakan rezim yang penuh dengan kontradiksi dan berlawanan dengan wajah Indonesia yang modern.

Greg Fealy (2020) menggambarkan bahwa rezim pemerintahan Jokowi pada periode yang kedua menunjukkan kekacauan dengan sejumlah bukti seperti peminggiran hak-hak sipil dan politik karena hanya fokus mengurusi pandemi, memberi ruang terlalu luas terhadap militer untuk mengatur urusan publik, mendiskriminasi kelompok Islam dan memberi stempel mereka sebagai intoleran (repressive pluralism), serta menciptakan dinasti politik dengan mengizinkan anak dan mantu bertarung pada Pilkada 2020 (family dynasty).

Berdasarkan ulasan di atas, artikel ini memberikan label Demokrasi Poco-Poco pada demokrasi Indonesia, yaitu demokrasi maju mundur seperti gerakan lagu Poco-Poco asal Maluku. Demokrasi model ini tidak mengarah pada kemajuan yang positif, tetapi juga tidak kembali secara total pada situasi otoriter. Dalam konteks teori Merkel & Croissant (2004), Demokrasi Poco-Poco Indonesia ini berada pada skenario stabilitas (stability scenario).

Situasi demikian membutuhkan energi superbesar (double energy): satu energi untuk menjaga agar tidak mundur ke belakang dan satu energi sisanya untuk bergerak melaju ke depan meski harus tergopoh-gopoh. Salah satu pintu menuju konsolidasi demokrasi tersebut ialah suksesnya penyelenggaraan pemilu. Lalu bagaimana mendesain pemilu yang relevan untuk Indonesia?

MI/Seno

 

Keserentakan pemilu nasional dan lokal

Untuk memulai pembahasan desain sistem pemilu, tulisan ini mengawali dengan model keserentakan pemilu, diikuti oleh sistem pemilu dan ambang batas. Tulisan ini merupakan bagian dari hasil riset yang telah dilakukan penulis dan tim. Hasil riset tersebut mengusulkan pemisahan model pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal. Model tawaran ini juga telah menjadi rekomendasi para peneliti LIPI/BRIN dengan sedikit perbedaan.

Pembagian dua pemilu itu bisa dipisah dengan jarak 2,5 tahun. Pemilu serentak nasional bertujuan memilih DPR RI, DPD RI, dan presiden-wakil presiden. Sementara itu, pemilu serentak lokal bertujuan memilih DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, gubernur, dan wali kota/bupati. Tujuan desain ini ialah untuk menghidupkan dinamika politik nasional dan lokal. Karena itu, tidak terjadi penumpukan pemilu yang sering kali mengakibatkan pemilu lokal tertutup dengan isu pemilu nasional. Model desain Pemilu 2019 dan 2024 pada kenyataannya hanyalah panggung untuk pilpres. Sementara itu, pemilu untuk legislatif dan DPD tidak dirasakan masyarakat, padahal ini penting karena kita memilih wakil rakyat yang menentukan regulasi dan anggaran.

Model pemisahan pemilu ini dapat membantu pemilih mengevaluasi kinerja partai nasional dengan pemilu lokal pada 2,5 tahun berikutnya. Kerja-kerja politik kepartaian pun terus dihidupkan untuk mempersiapkan 2,5 tahun berikutnya. Begitu juga dengan penyelenggara pemilu yang bisa terus bekerja secara berkesinambungan dari waktu ke waktu.

Sebaliknya, jika pemilu diserentakkan total seperti 2019 dan 2024, penyelenggara pemilu bisa kehilangan momentum untuk bekerja. Bahkan, berpotensi menjadi badan ad hoc, terutama di tingkat provinsi ke bawah. Jika alasan keserentakan seperti pada 2024, terjadi apa yang disebut dengan ‘overdosis demokrasi’. Ini artinya jika kemampuan Indonesia sebenarnya hanya tiga jenis pemilu, saat dipaksakan untuk menyelenggarakan dengan lima jenis pemilu, bahkan pada tahun yang sama ditambah dengan dua jenis pilkada, yang mengalami overdosis atau mabuk pemilu bukan hanya penyelenggara pemilu, melainkan juga partai politik dan pemilih.

Partai kewalahan dalam mempersiapkan para caleg dan cakada terbaik mereka. Pemilih pun merasa kebingungan karena banyaknya calon yang harus mereka pilih. Sementara itu, penyelenggara pemilu membutuhkan energi yang luar biasa. Jika badan ad hoc di level kecamatan ke bawah tidak disiapkan perangkatnya dengan baik, potensi kematian para penyelenggara pemilu, seperti yang terjadi pada 2019, akan terulang lagi pada pemilu-pemilu berikutnya.

Memang, dampak dari keserentakan pemilu model 2019 dan 2024 ialah penghematan anggaran negara. Meski secara anggaran lebih hemat, ongkos terbesar justru terjadi kegagalan pada psikososial masyarakat, yaitu pembengkakan konflik horizontal dan polarisasi masyarakat yang terus-menerus tiada henti. Efek Pilpres 2019, pada kenyataannya masih terasa hingga detik ini, bahkan polarisasi tersebut masih tetap hidup hingga 2024 dengan pola yang sedikit berbeda. Substansi ongkos psikososialnya sangat tinggi. Hemat secara anggaran, tapi defisit psikososial. Jika ditimbang-timbang, justru lebih mahal ongkos psikososial karena yang dirugikan ialah rakyat. Ini yang perlu dipertimbangkan kembali oleh para pemangku kebijakan untuk tidak lagi mengulangi model keserentakan Pemilu 2019 maupun 2024.

 

Modifikasi sistem

Sejak pertama Indonesia menyelenggarakan pemilu pada 1955, sistem pemilu yang digunakan ialah closed list proportional representation (CLPR) atau dikenal juga dengan sebutan sistem proporsional tertutup. Sistem ini berlaku juga selama era Orde Baru dan berakhir digunakan pada Pemilu 1999. Pada Pemilu 2004, sistem yang digunakan memang masih CLPR, tetapi mengalami modifikasi sehingga ada unsur sistem open list proportional representation (OLPR) atau dikenal dengan sebutan sistem proporsional terbuka. Barulah sejak Pemilu 2009-2024, sistem pemilu di Indonesia menggunakan sistem OLPR murni.

Munculnya penerapan sistem OLPR sejak 2009 sebenarnya berangkat dari kelemahan sistem CLPR yang dianggap seperti memilih kucing dalam karung. Artinya, pemilih tidak bisa memengaruhi keterpilihan caleg secara langsung karena pemilih hanya diizinkan memilih partai saja sehingga di bawah sistem CLPR, hanya caleg yang berada di nomor urut terkecil saja yang mempunyai peluang besar untuk masuk ke parlemen.

Sementara itu, jika caleg yang disukai pemilih berada pada nomor urut besar, sulit peluang untuk terpilih. Di sinilah yang menjadi titik kritis keinginan sejumlah pihak, terutama pegiat LSM kepemiluan pada saat itu. Selain persoalan lemahnya CLPR pada aspek ketidakmampuan pemilih dalam mengintervensi keterpilihan caleg, CLPR juga tidak bisa melibatkan caleg nonpartai untuk terpilih sehingga hanya caleg yang dekat ke elite partai saja yang memiliki peluang besar mendapatkan nomor urut terkecil.

Namun, OLPR tidak sepi dari kritik juga. Sistem OLPR dianggap seperti pertarungan pasar bebas antarkandidat yang kuat saja. Siapa yang punya modal banyak, mereka menang. Mereka yang terpilih sering kali bukan karena kualitas, tetapi karena isi tas. Fragmentasi tidak hanya terjadi pada caleg antarpartai, tetapi juga caleg sesama internal partai. Bahkan, fragmentasi yang terakhir ini jauh lebih keras ketimbang antarpartai. Selain itu, partai tidak lagi memiliki peran kuat untuk menentukan kemenangan kandidat karena kemenangan seseorang 100% lebih diintervensi oleh suara terbanyak.

Dampaknya, politik uang dan sejumlah pelanggaran pemilu lainnya kerap dilakukan para caleg yang bekerja sama dengan brokers jualan suara. Sistem OLPR juga cenderung memberikan peluang ke para konglomerat dan pemilik modal memberikan bantuan keuangan kepada para kandidat. Karena itu, kandidat yang terpilih tidak murni atas perjuangan sendiri, tetapi meninggalkan utang balas budi yang harus mereka bayar setelah terpilih. Inilah titik rawan yang dapat mengakibatkan terjadi korupsi, suap, dan sejenisnya.

Saat ini, sejumlah pihak menginginkan untuk kembali lagi ke sistem CLPR yang dianggap lebih mendorong penguatan kelembagaan partai. Namun, tak sedikit juga yang tetap mempertahankan sistem OLPR karena dianggap melibatkan pemilih menjadi penentu kemenangan caleg. Lalu, mana yang terbaik dan relevan?

Dalam konteks pemilu di Indonesia, perdebatan dua kubu antara OLPR dan CLPR memang tidak akan pernah selesai. Semua pihak memiliki alasan masing-masing. Partai politik mempunyai kepentingannya sendiri jika memberikan usulan sistem mana yang terbaik. Karena itu, perlu titik tengah untuk memodifikasi sistem list proportional representation (LPR) agar tidak terjebak pada titik ekstrem antara tertutup dan terbuka.

Tulisan ini mengusulkan desain baru model sistem pemilu yang relevan untuk Indonesia, yaitu modified LPR (MLPR). Tawaran model ini tetap merujuk pada konsep dasar sistem OLPR dengan penjelasan berikut ini. Pertama, pemilih diberikan hak untuk tetap bisa mencoblos caleg secara langsung atau diizinkan juga mencoblos lambang partai. Pemilih hanya diberikan hak untuk mencoblos satu caleg saja, tidak bisa lebih. Kedua, jika perolehan suara caleg melebihi suara partai, caleg tersebut berhak mendapatkan kursi secara otomatis dengan catatan partai berhasil meraih ambang batas parlemen.

Ketiga, jika partai ditetapkan mendapatkan kursi, sedangkan perolehan suara caleg lebih sedikit dari suara partai, partai berhak menentukan kursi untuk caleg yang mana sesuai kebijakan internal partai. Keempat, jika partai mendapatkan dua jatah kursi di dapil tertentu, sedangkan ada satu caleg yang perolehan suaranya melebihi suara partai, kursi tersebut otomatis menjadi miliknya. Sementara itu, jika suara caleg lainnya tidak ada yang melebihi suara partai, kursi itu ditentukan partai.

Sistem MLPR ini mengisyaratkan bahwa pemilih dan partai sama-sama memiliki pengaruh untuk mengintervensi keterpilihan caleg. Dari sini juga dapat diketahui sejauh mana partai mampu mengintervensi basis pemilih serta mana partai ideologis dan bukan.

 

Ambang batas dan revisi UU Partai Politik

Selain desain keserentakan pemilu dan modifikasi sistem pemilu, hal yang juga perlu direkayasa ialah ambang batas, baik untuk parlemen (parliamentary threshold) maupun presiden (presidential threshold). Tulisan ini mengusulkan angka maksimal 3% untuk ambang batas parlemen. Prosentase ini setidaknya sejajar dengan 17 kursi di DPR RI yang dapat dibagi habis ke semua alat kelengkapan dewan. Ambang batas parlemen ini hanya berlaku di tingkat nasional, tidak di lokal (provinsi dan kabupaten/kota).

Sementara itu, presidential threshold harus merupakan hasil pemilu legislatif pada tahun yang sama, bukan hasil pemilu sebelumnya. Besaran presidential threshold dihapus dan diganti dengan aturan bahwa setiap partai politik yang lolos ambang batas parlemen, partai tersebut berhak menominasikan capres sendiri. Desain ini juga merupakan penghargaan yang diberikan sistem pemilu terhadap partai yang telah bekerja keras dan lolos ke parlemen. Dengan demikian, dinamika politik nasional akan hidup dan tidak membatasi jumlah capres. Pembatasan hanya dua capres harus dihindari agar demokrasi tetap dinamis.

Selain itu, UU Partai Politik harus segera direvisi agar mengikuti dinamika pemilu yang sesuai dengan zamannya. Sejumlah agenda reformasi partai politik bisa dituangkan di revisi UU tersebut, seperti perlunya pembatasan jabatan ketua umum, keharusan transparansi keluar masuk keuangan partai, perlunya kewajiban anggaran negara terhadap keuangan partai, perlunya pengaturan model koalisasi partai (batas maksimal jumlah koalisi agar tidak terjadi koalisi gemuk), dan sejumlah isu lain yang perlu diatur.

Ada pihak yang mengatakan bahwa sebaik apa pun sistem pemilunya, jika para aktor politik dikuasai orang-orang yang tidak memiliki hati nurani, tetap saja rusak. Di satu sisi, ungkapan ini ada benarnya. Di sisi lain, penulis masih meyakini sistem dapat memengaruhi pola perilaku aktor. Temuan disertasi Doktor Ahmad Norma Permata (2008) menyatakan dengan regulasi pemilu yang liberal saat ini, ternyata PKS sebagai partai Islam pun dapat menyesuaikan diri dengan aturan yang ada sehingga politikus PKS menjadi aktor rasional dan tidak lagi mengampanyekan syariat Islam.

Di luar tiga hal yang perlu didesain tersebut, mendidik generasi muda untuk mempersiapkan menjadi pejuang demokrasi ialah agenda yang tak kalah penting juga. Penulis teringat dengan kisah Ali bin Abi Thalib yang pernah ditanya umatnya: “Wahai Ali, mengapa di era Anda terjadi kekacauan (situasi Perang Karbala), sedangkan hal ini tidak terjadi pada era Abu Bakar maupun Umar?” Ali menjawab: “Di era mereka, umatnya ialah saya. Sedangkan di era saya, umatnya ialah Anda.”

Ini artinya siapa pun pemimpinnya, kita perlu mendidik generasi berikutnya untuk bisa menentukan nasib mereka sendiri. Di sinilah pentingnya peran pendidikan politik untuk para pemilih muda agar mereka memiliki persepsi yang utuh tentang demokrasi, pemilu, dan partai politik.

Ridho Al-Hamdi



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya