Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Refleksi Awal KTT G-20 di Bali

Radityo Dharmaputra Pengamat kawasan Eropa Timur dan dosen Hubungan Internasional di Universitas Airlangga, fellow di Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI)
17/11/2022 05:00
Refleksi Awal KTT G-20 di Bali
Ilustrasi MI(MI/Seno)

GELARAN KTT G-20 di Bali telah berakhir. Deklarasi para pemimpin G-20, yang dikhawatirkan tidak bisa disepakati, ternyata tercapai dan menghasilkan beberapa catatan penting. Selain itu, ada beberapa momen yang menjadikan KTT G-20 Bali layak ditelaah lebih lanjut.

 

Dampak Perang Rusia di Ukraina

Ketidakhadiran Presiden Rusia Vladimir Putin menjadi salah satu isu utama. Absennya Putin, sebenarnya sudah diperkirakan sejak awal. Di satu sisi, perang yang dilancarkan Rusia ke Ukraina ternyata tidak berjalan mulus. Dipukul mundurnya pasukan Rusia dari Kharkiv dan Kherson membuat tekanan domestik pada Putin meningkat, terutama dari kelompok ultranasionalis. Terlebih lagi, mobilisasi parsial yang dilakukan Putin mendorong banyak penolakan dari masyarakat Rusia. Posisi politik Putin menjadi lebih terancam jika dibandingkan dengan beberapa waktu lalu.

Di sisi lain, Putin tidak ingin mengulangi kondisi di tahun 2014, ketika aneksasi Rusia atas wilayah Ukraina (Krimea) direspons oleh para pemimpin dunia di KTT G-20 Australia dengan mengisolasi Putin. Apalagi, pada pertemuan Menlu G-20 pada Juli 2022, Menlu Sergey Lavrov juga merasa dipermalukan dan akhirnya meninggalkan pertemuan lebih cepat.

Namun, ketidakhadiran Putin dan kepulangan lebih cepat dari Lavrov ternyata tidak membuat Deklarasi Pemimpin G-20 menjadi lebih tegas. Deklarasi hanya menegaskan kembali posisi setiap negara, seperti dalam Resolusi Majelis Umum PBB ES-11/1 tanggal 2 Maret 2022, ketika negara seperti Tiongkok, India, dan Afrika Selatan memilih abstain dalam mengutuk invasi Rusia. Bahasa yang akhirnya disepakati hanyalah ‘era saat ini bukan era perang’ mengulangi pernyataan PM India Narendra Modi di KTT SCO bulan September lalu.

Selain itu, ketidakhadiran Putin tanpa alasan yang jelas, bahkan secara virtual, sebetulnya bisa dianggap sebagai penghinaan terhadap tuan rumah dan Presiden Joko Widodo, yang sudah bersusah payah mengunjungi Moskow untuk mengundang Putin secara langsung. Bahkan, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky saja, di tengah gempuran rudal dari Rusia, masih memberikan pidatonya secara virtual.

 

Pertemuan Joe Biden dan Xi Jinping

Absennya Putin, membuat pertemuan antara Presiden AS Joe Biden dan Presiden Tiongkok Xi Jinping menjadi lebih disorot. Pertemuan langsung untuk pertama kalinya antara kedua pemimpin ini, diharapkan bisa memberikan angin segar bagi penurunan tensi, dan perbaikan hubungan dari AS dan Tiongkok, dua negara yang dianggap sebagai kekuatan utama dunia saat ini. Apalagi, Presiden Biden sempat mengatakan bahwa AS tidak ingin ada Perang Dingin jilid dua dengan Tiongkok, dan kedua negara memiliki banyak kepentingan yang sama.

Permasalahannya, pernyataan Biden harus dipahami sebagai manuver diplomatis, dan kita perlu melihat bahwa hubungan AS-Tiongkok tidak hanya ditentukan oleh Biden maupun Xi. Misalnya, di dalam negeri AS, sudah ada desakan dari Partai Republik (yang diproyeksikan akan menguasai House of Representatives) agar Biden mempertegas posisinya terkait Tiongkok.

Sementara itu, Xi bisa jadi juga akan bertindak lebih asertif, terutama dalam konteks Taiwan. Oleh karena itu, walaupun pertemuan Biden dan Xi tetap harus diapresiasi, negara-negara seperti Indonesia yang berpotensi terdampak kompetisi AS-Tiongkok tidak boleh naif dan harus tetap waspada.

 

Apa yang dicapai KTT G-20? 

Dalam konteks target awal Indonesia, yang menginginkan adanya upaya pemulihan pascapandemi, diluncurkannya Pandemic Fund menunjukkan ada hasil yang cukup signifikan. Begitu pula, dengan adanya kesepakatan-kesepakatan bilateral, termasuk janji bantuan dari negara-negara G-7 bagi pembangunan infrastruktur berkelanjutan di negara-negara berkembang.

Selain itu, pertemuan-pertemuan seperti Religious 20 dan Urban 20, yang melibatkan aktor nonnegara, juga berhasil terselenggara. Klaim-klaim soal peningkatan turisme di Bali juga bermunculan walaupun di saat yang sama juga muncul banyak kritik mengenai peminggiran peran masyarakat lokal.

Sayangnya, pemulihan ekonomi global, penanganan krisis pangan, dan penyelesaian krisis energi, tidak bisa dilakukan tanpa membicarakan dan menyelesaikan persoalan invasi Rusia ke Ukraina. G-20, yang memang bukan forum keamanan, tidak memiliki mekanisme untuk memediasi pihak-pihak yang berkonflik. Keberadaan Rusia di dalam keanggotaan G-20 membuat semua diskusi mengenai perang tidak menemukan titik temu.

Mustahil menemukan jalan keluar dari perang sebelum Rusia menghentikan serangannya, serta kembali ke wilayahnya sendiri. Negosiasi damai, juga baru bisa berjalan dengan persetujuan Ukraina sebagai korban, bukan atas kesepakatan negara-negara lain. Oleh karena itu, KTT G-20 memang tidak didesain untuk menyelesaikan persoalan keamanan, apalagi perang.

 

Makna KTT G-20 bagi RI?

Indonesia, sebagai tuan rumah, bisa dianggap berhasil menunjukkan kemampuannya menyelenggarakan pertemuan tingkat tinggi dari para pemimpin dunia. Bahkan, di luar ekspektasi banyak analis, Indonesia berhasil mendorong disepakatinya Deklarasi Pemimpin G-20. Hal ini bisa dianggap sebagai keberhasilan diplomasi Indonesia, apalagi di tengah tensi politik yang sangat tinggi, terutama sesudah serangan ratusan misil Rusia ke Ukraina di hari pertama KTT. Indonesia dianggap sudah layak masuk dalam lingkaran ‘pemimpin dunia’. Permasalahannya, apakah Indonesia menginginkan posisi tersebut? Ataukah Indonesia, di bawah Presiden Jokowi, hanya menginginkan peningkatan investasi dari luar negeri sesudah G-20?

Indonesia akan menjadi ketua ASEAN tahun 2023 di level kawasan. Di saat yang sama, Indonesia juga menjadi ketua MIKTA, sebuah organisasi negara kekuatan menengah yang berisikan Meksiko, Korea Selatan, Turki, dan Australia. Tantangan Indonesia ke depan ialah memilih antara fokus pada kepemimpinannya di kawasan Asia Tenggara atau melanjutkan ‘kepemimpinan globalnya’ di MIKTA maupun di PBB.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya