Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
JAGAT dunia maya belum lama ini dihebohkan dengan kasus perseteruan antara pelanggan atau konsumen dengan produsen. Berawal dari cuitan akun pribadi warganet di twitter yang menyebutkan ada produk minuman terlalu manis dan seperti diberikan gula sebanyak tiga kilogram. Cuitan itu sempat ditanggapi pihak produsen dengan melayangkan somasi kepada pelanggan tersebut, meskipun akhirnya berujung damai.
Dari kejadian tersebut terlihat betapa pentingnya keterbukaan informasi antara produsen dan konsumen. Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsumen adalah pemakai barang hasil produksi (bahan pakaian, makanan, dan sebagainya). Apa yang dimaksud dengan konsumen juga bisa berarti sebagai pemakai jasa. Sedangkan produsen menurut KBBI merupakan penghasil barang, dalam pengertian lain produsen adalah orang yang memproduksi barang dan jasa.
Salah satu hak dasar konsumen adalah hak atas informasi. Konsumen berhak mengetahui hal-hal tentang barang atau jasa sebelum memutuskan untuk menggunakannya terutama sekali karena konsumen harus menyediakan dana yang untuk transaksi. Suatu informasi dikatakan informatif apabila informasi tersebut mampu menyediakan informasi yang berguna bagi konsumen. Sebagai contoh pemberian label informasi terkait produk seperti kandungan bahan yang ada di dalam produk tersebut.
Hak sebagai konsumen diatur dalam UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia yang berlandaskan pada Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33. Secara spesifik hak konsumen atas informasi diatur dalam pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
Hak dan kewajiban
Hak konsumen atas informasi ini, selain dijamin dalam UU Perlindungan Konsumen, juga semakin diperkuat dengan kehadiran UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Jika UU KIP menempatkan kewajiban pada badan publik, UU Perlindungan Konsumen menempatkan kewajiban pada perusahaan atau badan usaha yang memproduksi barang/jasa bagi publik di negeri ini.
Meskipun begitu, pelaku usaha dan badan publik adalah dua jenis lembaga yang saling terkait, seperti dalam kasus penjualan minuman berpemanis dalam kemasan tersebut. Misalnya selaku badan publik yakni Kementerian Kesehatan/Dinas Kesehatan bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dapat melakukan uji kandungan pada produk terkait dan harus mempublikasikannya sebagai badan publik yang diwajibkan oleh UU KIP. Sementara pihak perusahaan juga wajib menyampaikan informasi produknya karena amanat UU Perlindungan Konsumen. Dengan dua UU ini, seharusnya posisi konsumen lebih kuat, dalam mendapatkan hak atas informasi.
Berbagai aneka minuman berpemanis dalam kemasan memang tengah digandrungi masyarakat saat ini dan tengah menjadi tren untuk kegiatan bersosialisasi atau istilah umumnya ‘nongkrong bareng’. Namun tahukah selain disukai karena rasa manisnya, asupan gula juga harus dikontrol agar tidak berlebihan. Untuk itulah pentingnya informasi seperti berapa gram kandungan gula dalam setiap produk minuman berpemanis sangat penting. Pasalnya konsumsi gula berlebih maka manisnya gula bisa berubah menjadi pahit, karena berpotensi mendatangkan penyakit serius seperti obesitas, diabetes dan penyakit jantung.
Tak hanya minuman berpemanis kemasan, hendaknya seluruh produk terutama terkait makanan dan minuman sudah selayaknya memberikan label kandungan bahan apa saja yang ada di dalam produk tersebut. Dengan telah terpenuhinya hak atas informasi produk, maka konsumen selanjutnya memiliki hak dalam memilih barang. Konsumen memiliki hak penuh dalam memilih barang yang nantinya akan digunakan atau dikonsumsi. Tidak ada yang berhak mengatur sekalipun produsen yang bersangkutan. Begitu juga hak dalam meneliti kualitas barang yang hendak dibeli atau dikonsumsi pada nantinya.
Perlindungan konsumen dibutuhkan untuk menciptakan rasa aman bagi para konsumen dalam melengkapi kebutuhan hidup. Kebutuhan perlindungan konsumen juga harus bersifat tidak berat sebelah dan harus adil. Sebagai landasan penetapan hukum, asas perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 2 UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Dijelaskan bahwa sebuah jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengganggu keselamatan jiwa dan harta bendanya.
Etika berkomunikasi
Meskipun UU Nomor 8 Tahun 1999 ditujukan untuk perlindungan konsumen, namun disebutkan konsumen maupun pelaku usaha atau produsen berhak memperoleh manfaat yang diberikan. Tidak boleh bersifat salah satu dari kedua belah pihak, sehingga tidak ada salah satu pihak yang merasakan manfaat ataupun kerugian. Untuk itulah pentingnya etika berkomunikasi di media sosial, khususnya dalam menyampaikan kritik atau saran dalam hal ini terkait suatu produk barang atau jasa.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dari 2019-2021 menyebutkan bahwa bahwa pengguna internet yang dinilai dari segi usia didominasi oleh usia remaja; umur 20-24 tahun dan diikuti oleh pengguna berusia 25 tahun ke atas. Para remaja ini hendaknya harus mendapatkan edukasi bagaimana beretika dalam melakukan aktivitas di dunia maya khususnya media sosial.
Teknologi Internet ibarat dua mata pedang yang berbeda, di satu sisi dapat memberikan manfaat yang positif namun di satu sisi lain dapat pula memberikan pengaruh yang negatif manakala kita tidak dapat menggunakannya dengan baik.
Ketika era digital tiba, semua menjadi lebih mudah, murah, dan cepat. Media sosial telah mengubah cara orang berkomunikasi dan berinteraksi. Sebab seperti dikatakan oleh Marshall McLuhan salah seorang ahli komunikasi Kanada sebagaimana dikutip oleh Jakob Oetama, media adalah the extension of men, kepanjangan tangan manusia, dan lewat itulah manusia bisa berkomunikasi.
Keunggulan utama medsos dibandingkan dengan teknologi lainnya adalah hiperaktualitas dan interaktivitas. Teknologi informasi menjadi semakin terjangkau sehingga hampir semua orang memilikinya. Dunia digital membuat semua media bisa disampaikan baik berupa suara, tulisan, simbol, tulisan, hingga video bisa diunggah untuk dibagikan kepada orang lain.
Masyarakat atau yang lebih dikenal dengan sebutan warganet bebas menyampaikan semua pendapatnya di media sosial. Namun perlu diingat bahwa kebebasan tersebut tidaklah mutlak karena ada etika dalam berkomunikasi. Terlebih dengan adanya UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Sudah cukup banyak warganet yang terjerat UU ITE ini karena dianggap menyebarkan berita palsu/hoaks, dan ujaran kebencian yang mencemarkan nama baik dikategorikan termasuk cybercrime. Kebijakan ini sebetulnya ibarat buah simalakama, di satu sisi baik untuk dijadikan rambu-rambu dalam berinteraksi sosial di dunia maya, namun di sisi lain juga betabrakan dengan asas kebebasan berekspresi, berbicara, dan berpendapat.
Untuk itu sebagai konsumen, sekiranya dalam menyampaikan kritik atau saran harus dapat bersifat objektif dengan menyertai bukti-bukti dan menyampaikannya dengan santun tanpa berpotensi mencemarkan nama baik produsen. Berbagai cara yang santun salah satunya dapat disampaikan melalui sarana inbox atau direct message yang tidak menampilkan komentar di muka umum.
Pemblokiran sementara terhadap archive.org dilakukan sebagai bentuk penegakan hukum atas temuan konten yang melanggar UU ITE.
Saksi menyerahkan 16 barang bukti dalam pemeriksaan untuk memperkuat laporan penghasutan dugaan Ijazah palsu Jokowi
Mahasiswi ITB dijerat dengan Pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena membuat meme Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi
WAKIL Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
MENTERI Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengatakan pemerintah menghormati hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan UU ITE
Penegasan yang dilakukan MK terkait penghinaan dalam UU ITE berdampak pada kebutuhan untuk meninjau ulang aturan penghinaan terhadap presiden
Konsumen merasa tertipu, karena harga awal yang ditampilkan berbeda dengan total yang harus dibayar. Ini tentu menimbulkan ketidakpercayaan dan membuat loyalitas konsumen menurun.
Langkah ini dilakukan untuk memperkuat perlindungan hak-hak konsumen yang notabene adalah seluruh rakyat Indonesia melalui pendekatan yang lebih terpusat.
KETUA Kelompok Fraksi Partai NasDem di Komisi VI DPR RI, Rachmat Gobel, mengingatkan ada tiga hal yang harus masuk ke dalam UU Perlindungan Konsumen.
Dari brand yang tumbuh, mayoritas yakni 89% mendapatkan pertumbuhannya melalui peningkatan penetrasi atau bertambahnya jumlah rumah tangga yang membeli.
UNTUK pertama kalinya, ajang kopi terbesar di dunia, World of Coffee akan diselenggarakan di Indonesia. World of Coffee Jakarta 2025
Pentingnya negara hadir sejak awal dalam menjamin keamanan seluruh produk makanan, minuman, kosmetik serta barang-barang lain yang beredar dan dikonsumsi langsung oleh masyarakat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved