Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
AKHIRNYA Kapolri Listyo Sigit Wibowo memastikan pelaku pembunuhan Brigadir Yosua di kediaman Irjen Pol Ferdy Sambo (sudah ditetapkan sebagai tersangka), yang tak lain ternyata ialah sang tuan rumah sendiri, dengan melibatkan sejumlah aparat bawahan. Sebelumnya, banyak pihak yang ragu dengan kecurigaan akan adanya upaya melindungi aparat pelakunya.
Semua itu akibat dari rekayasa pihak Ferdy Sambo dengan narasi yang dikembangkan di publik yang seolah-olah telah terjadi peristiwa tembak-menembak yang mengakibatkan kematian Brigadir Yosua. Apalagi Ferdy Sambo dianggap sebagai perwira tinggi polisi dengan karier cemerlang yang dicapainya di usia relatif muda (Akpol 1994) dan merupakan salah satu bawahan yang memiliki kedekatan emosional dengan Kapolri.
Namun, kini keraguan atau kecurigaan itu sirna. Kini sangat terasakan bahwa drama ‘kejahatan luar biasa’ (extra ordinary crime) yang dilakukan pejabat/aparat penegak hukum itu sedang dibongkar tuntas dan dijelaskan secara terang benderang.
Tepatnya pihak kepolisian menunjukkan sikap profesionalnya dalam menegakkan kebenaran dan keadilan atas kejahatan kemanusian yang dilakukan unsur pimpinan kepolisian (baca: oknum) terhadap aparat bawahan. Tidak mudah memang membongkar kejahatan bawahan dan teman sendiri karena diperlukan tingkat keberanian dan ketegasan yang dilandasi nilai-nilai kejujuran, integritas, dan rasa kemanusiaan sejati.
Penegasan dari Presiden Jokowi agar Kapolri bertindak tegas dan profesional terhadap peristiwa di kediamanan Ferdy Sambo itu memang menjadikan tim yang ditugaskan untuk mengusutnya lebih bersemangat dan berani. Kapolri sendiri tentu merasa menjadikan kasus besar tersebut sebagai bagian dari taruhan jabatan sekaligus citra dirinya. Jika tidak, dia akan dianggap sebagai ‘pelindung kejahatan aparatnya’. Apalagi hingga saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap pengusutan, penegakkan kebenaran, dan keadilan terhadap peristiwa penembakan (pembunuhan) sejumlah pengawal Habib Rizieq (laskar FPI) di Km 50 Tol Cikampek (Jawa Barat) pada awal Desember 2022.
Selain itu, ada beberapa faktor lain yang menjadikan kasus kematian Brigadir Yosua bisa keluar dari drama terskenario oleh Ferdy Sambo. Pertama, adanya tekanan pihak keluarga yang memperoleh dukungan publik secara luas. Sulit didiamkan karena memperoleh atensi publik yang luas sehingga Presiden Jokowi pun harus memberi instruksi khusus kepada Kapolri. Kedua, adanya saksi dari dalam (witness from within) atau bertindak sebagai whistle blower, terutama Bharada Richard Eliezer yang semula sempat difigurkan sebagai penembak Brigadir Yosua. Ketiga, adanya tim bentuk Kapolri yang bekerja secara independen dan profesional dalam mengungkap kejadian yang sesungguhnya.
Peristiwa matinya Brigadir Yosua jelas merupakan wujud dari pembunuhan tanpa proses hukum (extrajudicial killing) dengan derajat keironisan dan ketidakberadaban yang sangat tinggi. Mengapa? Tidak lain karena pelakunya merupakan jenderal polisi berbintang dua yang menjabat sebagai Kadiv Propam Mabes Polri (jabatan yang tugas pokoknya ialah antara lain terkait dengan penegakan etika dan norma kepolisian) di kediamannya dengan terlebih dahulu membuat skenario atau sudah merencanakannya. Selain itu, mengajak sejumlah aparat bawahannya untuk terlibat di dalamnya, termasuk memanipulasi untuk mengaburkan jejak dan kebenaran peristiwa pembunuhan. Kini, Ferdy Sambo dan sejumlah oknum yang terjebak dalam skenarionya tentu saja sudah akan dijerat sanksi hukum seperti pasal-pasal KUHP yang juga diungkap pihak Kapolri.
Mendalami dan menemukan motif
Pertanyaannya, mengapa seorang jendral polisi sekelas Ferdy Sambo melakukan perbuatan yang sangat keji itu? Sebagian kalangan sudah menduga kalau itu terkait ‘sakit hati’ atau cemburu akibat ‘asmara dari cinta yang terbagi’ dalam rumah tangga atau juga dugaan selingkuh. Entahlah. Tentu kita berharap tim penyidik harus mendalami dan menemukan motifnya untuk bukan saja dijadikan dasar untuk menjatuhnya sanksi, melainkan sebagai bagian introspeksi sekaligus pelajaran bagi jajaran (pimpinan) kepolisian terkait penempatan posisi jabatan dan kenaikan jenjang ke pangkatan agar seminimal mungkin dihindari munculnya Ferdy Sambo-Ferdy Sambo lainnya.
Apa yang mau dikatakan di sini bahwa penempatan pejabat dan atau jenjang kepangkatan di jajaran kepolisian (dan niscaya publik berharap untuk semua penegak hukum dan jajaran pejabat publik lainnya) tidak hanya berdasarkan prestasi di permukaan--apalagi jika hanya berdasarkan ‘perkoncoan’ saja. Akan tetapi, harus berdasarkan pertimbangan integritas yang lebih-lebih luas. Misalnya, perlu deteksi atau clearance harmoni tidaknya urusan keluarga inti nuclear family (terutama suami istri) dan kematangan emosional (emotional maturity), deteksi wajar tidaknya harta yang dimiliki.
Singkatnya, untuk para warga Bhayangkara, harusnya kembali pada rujukan integritas dan moralitas seperti yang dipraktikkan mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso--yang award-nya baru belum lama ini (1 Juli 2022) dipersembahkan kepada sejumlah aparat kepolisian.
Penerapan kriteria integritas yang diperluas di jajaran kepolisian atau aparat bersenjata, penegak hukum, dan pejabat publik lainnya terasakan sangat penting. Itu karena, belajar dari kasus Ferdy Sambo, telah menimbulkan korban beruntun. Pertama, citra instansi menjadi sangat rusak di mata publik. Apalagi jika masih ada kasus-kasus lain yang tidak secara jujur dan sungguh-sungguh diungkap hanya karena untuk melindungi kepentingan atasannya.
Kedua, yang menjadi korban atau dikorbankan ialah bawahan. Dalam kasus kali ini ialah Brigadir Yosua yang sudah pasti kehilangan nyawanya, keluarganya berduka tanpa akhir. Juga para bawahan yang saat ini sedang jadi target penyelidikan dan penyidikan yang mana sebagian sudah kehilangan posisi.
Ketiga, jelas keluarga pejabat pelaku atau pembuat skenario dari cederanya jiwa anak-anak hingga pada barisan keluarga besarnya. Keempat, disadari ataupun tidak, jika nilai-nilai integritas yang lebih diperluas itu tidak diterapkan, niscaya terbangun kultur saling melindungi di antara sesama aparat yang pada akhirnya yang terjadi dan diwariskan ialah bad governance practices.
Polri menyatakan bahwa Bharada Richard Eliezer menjalani sanksi demosi selama satu tahun sejak ia mendapatkan putusan sidang etik pada Rabu (22/2) kemarin.
Terdakwa Ferdy Sambo menyuruh saksi Richard Eliezer untuk mengambil senjata korban Nofriansyah Yosua Hutabarat dan senjata api HS tersebut diserahkan kepada terdakwa.
Romo Magnis Suseno akan dihadirkan sebagai saksi ahli dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (26/12)
Sebanyak 30 jaksa akan bergabung dalam tim penuntut umum dalam perkara pembunuhan Brigadir Nopriansyah Yoshua Hutabarat.
Kompol Baiquni Wibowo (BW) menjabat Kasubbagriksq Baggak Etika Rowabprof Divisi Propam Polri. Saat ini, dengan dugaan kode etik, BW dipindahkan ke Yanma Polri.
Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian mengatakan saat ini Putri, istri Kadiv Propam Polri nonaktif Irjen Ferdy Sambo, belum dapat dimintai keterangan.
Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Veronica Tan meyakini langkah Polri dalam menangani laporan kekerasan akan lebih cepat, tepat dan berpihak kepada korban.
POLRES Metro Jakarta Pusat melalui Tim Patroli Perintis Presisi Sat Samapta menangkap tiga pemuda yang kedapatan membawa sajam.
PASANGAN berinisial Y dan AP menjadi korban penipuan oleh dua pria yang mengaku anggota Polri atau polisi gadungan. Keduanya ditipu setelah menjual motor mereka di Facebook
Dua senjata itu ditemukan penyidik saat menggeledah rumah salah satu tersangka dalam kasus ini. Koordinasi dengan polisi penting untuk memastikan legalitas senjata tersebut.
MUSISI dan penyiar Gusti Irwan Wibowo atau dikenal dengan Gustiwiw meninggal dunia di penginapan yang berlokasi di Jalan Maribaya, Lembang, Kabupaten Bandung Barat
Polisi menyebut pelaku, Vance Luther Boelter, 57, masih buron dan diyakini menyamar sebagai aparat kepolisian saat melakukan aksinya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved