Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Kerukunan Umat Beragama dan Dialektika Fundamentalisme Agama

Abd Rohim Ghazali Direktur Eksekutif Maarif Institute Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah
25/5/2022 05:00
Kerukunan Umat Beragama dan Dialektika Fundamentalisme Agama
(Dok. Pribadi)

SETIAP agama lahir bukan di ruang hampa. Karena, fungsi agama ialah bagaimana agar manusia bisa hidup secara damai, tidak bertikai satu sama lain. Sebagai pembawa risalah agama, tugas Rasul ialah membawa rahmat bagi semesta. Dalam sejarah, agama diuji, apakah mampu menciptakan suasana kehidupan yang harmonis dan damai atau tidak. Jika kehadiran agama justru melahirkan konflik antarmanusia, agama telah kehilangan fungsinya. Kalau begitu, lantas buat apa beragama?

Pada saat kita merasa perlu membahas kerukunan umat beragama, secara tersirat sebenarnya ada yang salah dengan kerukunan beragama, apakah disebabkan agamanya, umatnya, atau dua-duanya. Karena ada yang salah itulah, maka perlu adanya upaya yang konstruktif untuk menghadirkan tafsiran dan implementasi agama yang membawa kedamaian.

Kalau saya berpendapat agamanya yang salah, saya bisa dikecam banyak orang, untung kalau cuma dikecam, kalau disomasi atau bahkan dipersekusi bisa fatal akibatnya. Kalau begitu, tidak mungkin juga dua-duanya salah. Artinya, pasti umatnya yang salah karena telah menjadikan agama sebagai alat pemecah belah, alat untuk memicu permusuhan, bahkan alat untuk membunuh orang lain. Jadi, umatnyalah yang menyalahfungsikan agama sehingga tidak terbangun kerukunan umat beragama.

Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Agama itu nasihat.” Lantas para sahabat bertanya, “Nasihat untuk siapa?” Rasulullah menjawab, “Untuk Allah, untuk kitab-Nya, Rasul-Nya, dan untuk para pemimpin kaum muslimin dan kalangan umum.”

Hadis ini menunjukkan paket komplet dari fungsi agama. Nasihat untuk Allah artinya bagaimana kita menaati perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Nasihat untuk kitab-Nya artinya kita harus membaca, memahami, dan mengamalkan isinya. Nasihat untuk Rasul-Nya artinya kita harus mengikuti dan meneladani perilakunya. Nasihat untuk para pemimpin artinya kita menaati para pemimpin sepanjang perintahnya benar, dan kita nasihati jika perintahnya salah. Nasihat untuk manusia secara umum, artinya sesama manusia kita harus saling memahami, menghormati, dan mencintai (mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri).

 

Agama dan konflik

Kalaulah kita sudah memfungsikan agama dengan benar, tidak akan ada konflik dan pertikaian antarumat beragama. Jadi, apa yang menyebabkan konflik yang kerap terjadi baik sesama pemeluk dalam satu agama maupun sesama umat beragama? Pertama, karena pemahaman yang dangkal. Memahami agama setengah-setengah atau bahkan sepotong-sepotong. Memahami agama harus secara kafah, komprehensif agar tidak mudah menyalahkan orang lain.

Kedua, karena kecenderungan pada pemahaman literalis. Menempatkan atau menafsirkan nash (ayat dan hadis) bukan pada tempatnya sehingga kehilangan konteks. Ayat dan hadis harus dibaca dan ditafsirkan secara kontekstual, sesuai perkembangan zaman agar agama bisa menjadi faktor signifikan untuk melahirkan perdamaian.

Ketiga, karena terlampau sibuk pada furuiyyah dan melupakan yang pokok. Jangan terpaku pada hal-hal yang teknis karena yang teknis pasti bersifat kondisional. Jika kita terpaku pada satu kondisi, pada saat dihadapkan pada kondisi yang berbeda, kita akan menyalahkan keadaan, berburuk sangka pada lingkungan sekitar.

Keempat, karena suka menghalalkan darah orang lain yang bebeda keyakinan. Bergaul, saling mengenal sesama umat manusia ialah titah Al-Qur'an (QS, Al-Hujurat/49:13). Tidak ada petunjuk dalam Al-Qur'an yang menyatakan bahwa mereka yang bebeda agama halal darahnya. Karena keberbagaian manusia dari segi agama dan keyakinan ialah kehendak Allah SWT (QS, Al-Maidah/5:48).

Kelima, karena mudah mengafirkan orang lain yang tidak memiliki pemahaman yang sama dengan dirinya. Kita tidak boleh menganggap diri paling benar. Allah mengingatkan umat beriman, “Apakah engkau tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih. Sebenarnya Allah menyucikan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikit pun.” (QS An-Nisa/4: 49). Sementara itu, Nabi SAW pernah bersabda, “Salah seorang dari kalian dapat melihat kotoran kecil di mata saudaranya, tetapi dia lupa akan kayu besar yang ada di matanya.” (HR Bukhari).

Keenam, karena memahami secara keliru terhadap pengertian sejumlah terminologi agama terutama “jihad” dan “kafir.” Kekeliruan memahami kedua kata/istilah ini akan sangat fatal akibatnya. Jihad dipahami sebagai perang melawan agama lain. Demikian juga kafir dipahami sebagai pemeluk agama lain. Padahal, makna jihad ialah setiap upaya yang dilakukan dengan bersungguh-sungguh untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan makna kafir ialah mereka yang menutup diri dari kebenaran.

Ketujuh, karena memutlakkan mazhab. Mazhad adalah jalan yang dipedomani sekumpulan orang, atau jalan yang diikuti banyak orang. Di dunia ini, karena beberapa faktor, mazhab tidak tunggal. Karena tidak tunggal itulah, mazhab tidak boleh dimutlakkan (kebenarannya). Imam Syafii, salah satu imam mazhab yang paling banyak pengikutnya (termasuk umat Islam di Indonesia) pernah berkata, “Kalamy shawaabun yahtamilu al-khatha, wa kalamu ghairy hathaun yahtamilu al-shawaab.” Artinya, “Pendapatku boleh jadi benar, tetapi berpeluang salah, sedangkan pendapat orang lain bisa jadi salah, tetapi berpeluang benar.”

Kedelapan, karena kurang bacaan, keterbatasan ilmu atau kurang wawasan, dan kurang berinteraksi –apalagi berdiskusi—dengan penganut mazhab atau agama lain. Kurang bacaan, wawasan, dan pergaulan akan mempersempit perspektif melihat dan membaca sesuatu dengan perspektif yang terbatas bisa menyebabkan salah pengertian. Kesalahannya akan jadi pangkat dua (kuadrat) pada saat kita menyalahkan orang lain padahal diri kita sendiri yang salah.

 

Fenomena fundamentalisme agama

Menurut Karen Armstrong dalam Islam a Short History (2002), fundamentalisme adalah fakta global dan muncul pada semua kepercayaan sebagai respons atas masalah-masalah kemodernan kita. Ada fundamentalis Yahudi, fundamentalis Kristen, fundamentalis Hindu, fundamentalis Buddha, fundamentalis Sikh, bahkan fundamentalis Konghuchu. Tipe awal fundamentalisme, ialah fundamentalis Kristen yang muncul di Amerika Serikat pada awal abad ke-20. Mengapa demikian, karena di Amerika Serikat kemodernan tampak begitu pesat.

Islam ialah agama yang terakhir mengembangkan gerakan fundamentalisme ketika modernisasi mulai merambah negara-negara muslim pada akhir 1960-an dan 1970-an. Salah satu pelopor gerakan fundamentalisme Islam ialah Abul Ala Maududi, yang mendirikan Jemaat el-Islami di Pakistan pada 24 Agustus 1941. Sebelumnya, ada Hasan al Banna yang mendirikan Ikhwanul Muslimin di Mesir pada Maret 1928.

Masyarakat muslim enggan menyebut gerakan fundamentalisme dan lebih suka menyebutnya sebagai ushuliyyah al-Islamiyyah. Apa pun jenis kepercayaan yang diusungnya, fundamentalisme memiliki karakteristik yang sama, yakni kecewa pada modernisasi yang dianggap gagal memenuhi harapan-harapannya.

Dalam menghadapi masalah, termasuk modernisasi, umat Islam memiliki formula yang khas, “ar-ruju’ ila al-Quran wa as-Sunnah” atau kembali pada Al-Qur’an dan hadis sebagai asas utama Islam. Setiap organisasi keagamaan, termasuk Muhammadiyah, yang berupaya merujuk kembali pada sumber-sumber asasi agama (Al-Qur’an dan hadis), organisasi itu layak disebut sebagai gerakan fundamentalisme agama.

Jadi, fundamentalisme agama bisa diartikan sebagai gerakan dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fundamental), untuk melawan hal-hal baru yang dianggap tidak sejalan, atau bahkan bertentangan dengan asas-asas agama. Sampai di sini, tidak ada yang salah dengan fundamentalisme agama, bahkan bisa jadi suatu keniscayaan.

 

Dialektika fundamentalisme

Yang menjadi masalah, kelompok-kelompok yang mengikuti paham fundamentalis sering kali berbenturan dengan kelompok-kelompok lain, bukan hanya dengan pemeluk agama lain, bahkan ada yang dengan sesama pemeluk agamanya sendiri. Mereka menganggap diri sendiri lebih murni, dan dengan demikian juga lebih benar dari pada lawan-lawan mereka yang iman atau ajaran agamanya dianggap sudah tidak murni lagi. Dalam melakukan koreksi dan perlawanan, kadang kala mereka menempuh cara kekerasan, karena, cara moderat atau bil-hikmah wal mau’idzoh hasanah sebagaimana yang diajarkan Al-Qur’an dianggap tidak efektif.

Dalam sejarah, gerakan fundamentalisme agama banyak membawa korban. Kesediaan “pengantin” untuk melakukan bom bunuh diri yang menyasar para pemeluk agama lain, atau mereka yang dianggap berbuat maksiat, atau kepada mereka yang dianggap sesat, ialah salah satu dari ekspresi pemahaman fundamentalis.

Karena itu, secara sosiologis, fundamentalisme kerap dimaknai secara negatif, dianggap sebagai gerakan keagamaan yang membahayakan kerukunan dan kedamaian dengan ciri-cirinya (1) berpikiran sempit, (2) menutup diri dari kebenaran agama lain, (3) militan, (4) subjektif (hanya membenarkan perspektifnya sendiri). Lalu, (5) oposan (terhadap yang tidak sejalan), (6) menolak pembaruan, (7) hitam putih, dan (8) tak jarang menmpuh cara-cara kekerasan.

Agar tidak bermakna negatif, fundamentalisme agama harus didialektikkan (dinalar dalam ruang terbuka secara dialogis). Caranya, tesis-tesis negatif tentang fundamentalisme diantitesiskan dengan hal-hal yang positif. Kita ubah: (1) berpikiran sempit menjadi berpikiran yang luas, (2) menutup diri dari kebenaran agama lain menjadi memahami dan menghomati kebenaran agama lain, (3) militan menjadi berdamai dengan pihak lain, (4) subjektif menjadi objektif. Selanjutnya, (5) oposan menjadi kolaboratif dan koeksistensi, (6) menolak pembaruan menjadi berorientasi pembaruan, (7) hitam putih menjadi multiperspektif, dan (8) cara-cara kekerasan menjadi cara-cara yang damai dan dialogis.

Dengan menformulasikan fundamentalisme agama secara positif, niscaya kerukunan umat beragama bisa dibangun secara konstruktif. “Kembali kepada Al-Qur’an dan hadis” kita maknai secara progresif dan inklusif. Progresif artinya kontekstual, dinalar sesuai dengan semangat zaman. Inklusif artinya terbuka dengan pendapat dan tafsiran yang berbeda-beda. Wallahualam!



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya