Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Perang, Edukasi, dan Noda Sejarah

Rian Fauzi, Peneliti Banten Heritage, Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah STKIP Setiabudhi Rangkasbitung
21/3/2022 15:15
Perang, Edukasi, dan Noda Sejarah
Rian Fauzi(Dok pribadi)

PERANG adalah bencana yang tercipta atau diciptakan. Bencana yang mutlak bersumber dari umat manusia, sehingga sangat bisa dihindari. Kendati demikian, perang dapat dibenarkan bila terdapat dalil yang kuat, yakni untuk membela diri, atau untuk menegakan nilai-nilai yang pantas, sebagaimana halnya perang terhadap Hitler. (Karen Armstrong, History of God)

Tetapi pada masa modern, perang fisik di kawasan yang terkenal maju seperti Eropa nampak terdengar anakronis atau tidak sesuai dengan spirit zaman. Selain itu saat ini tidak ada lagi negara yang benar-benar berwujud sebagai agresor dengan kepemimpinan diktator yang layak diperangi seperti yang pernah ada di masa lalu. Berbekal pengalaman pahit akibat perang, wajah dunia kini sama sekali berbeda. Wujud persaingan pun sudah bertransformasi sedemikian rupa. Perang mengalami perluasan definisi yang tidak terbatas pada perang fisik atau persenjataan, sehingga melahirkan istilah-istilah baru seperti perang dagang, proxy war dan lain sebagainya.

Peperangan fisik serupa perang dunia (PD) pada masa sekarang ini menuntut variabel potensial yang kompleks. Karenanya peperangan dengan skala besar sangat kecil kemungkinannya. Bila dimasa lalu persoalan ekonomi (krisis ekonomi) menjadi sebab terjadinya krisis politik yang kemudian melahirkan perang, kini justru persaingan ekonomi lah yang menjadi peperangan itu sendiri.

Edukasi sejarah

Melihat sejumlah fakta dan situasi saat ini, tentu jauh berbeda bila dibanding dengan situasi ketika PD I dan PD II berkecamuk. Ketiadaan aliansi pertahanan yang mapan dan terkoneksi dengan tujuan menjaga stabilitas keamanan, juga karena lemahnya pengawasan Liga Bangsa-bangsa (LBB) terhadap perlombaan persenjataan yang dilakukan sejumlah negara pada periode sebelum meletusnya PD II, menjadi pembeda.
Sekurang-kurangnya dari aspek infrastruktur kelembagaan, dunia kini relatif terjamin berkat peran dan keberadaan organisasi regional maupun global yang lebih mapan. 

Hal lain yang tidak dapat dikesampingkan ialah kuatnya memori kolektif dunia internasional, khususnya negara-negara yang terlibat dan merasakan langsung dampak dari peperangan. Jepang misalnya, merasakan kegetiran perang setelah peristiwa Hirosima-Nagasaki yang menghasilkan trauma massal berkepanjangan.

Setali tiga uang dengan Jepang, Jerman juga memiliki sejarah yang tidak kalah kelamnya. Jerman menjadi aktor yang terlibat langsung dalam dua perang besar (PD I dan PD II) yang mengakibatkan melayangnya jutaan nyawa manusia. Tetapi Jerman tidak menutupi sisi kelam sejarahnya, Jerman justru menjadikannya sebagai pedoman agar tidak mengulangi kekeliruan di masa depan. Memang seyogianya ribuan fakta historis yang terdokumentasi melalui berbagai buku dan video tentang kengerian perang di masa lalu, tidak saja berlaku dari aspek edukasi yang menjangkau para pelajar di sekolah atau mahasiswa di universitas. Melainkan juga sebagai literasi bagi para pemimpin negara di dunia agar terhindar dari bencana perang.

Perang tidak hanya penting dalam dimensi historis. Lebih dari itu, perang begitu melekat dari sisi emosional sehingga mendorong umat manusia untuk bersatu mengupayakan kehidupan yang damai dan stabil. Hal ini seperti yang pernah diucapkan oleh Presiden Jerman Frank W Steinmeier yang dikutip dari dw.com bahwa sejarah harus dilihat sebagai jawaban bagi masa depan yang lebih baik.

Perang melahirkan kengerian tetapi juga dipandang sebagai cara efektif yang meniscayakan lahirnya kerinduan terhadap suasana damai. Aspek emosional dan memori kelektif tentang perang ini agaknya terbukti efektif mencegah terulangnya peperangan pada masa selanjutnya. Ini pula yang dijunjung dunia internasional selepas PD II. Bahkan ketika dunia masih terbelah menjadi dua blok (barat dan timur), perang skala besar antar negara maju atau antar aliansi pertahanan urun terjadi. Dengan pengecualian perang sipil dan peperangan yang terjadi di Timur Tengah.

Ringkasnya, selama hampir 8 dasawarsa, dunia internasional dianggap berhasil memelihara suasana damai. Karenanya, dunia terperanjat ketika Rusia melakukan serbuan ke Ukraina. Ukraina memang bukan tergolong negara kuat dalam aspek militer. Tetapi negara tersebut terletak di kawasan Eropa yang notabene sebagai kawasan maju dan mapan dalam banyak aspek. Jelas dampak invasi tersebut akan dirasakan langsung oleh negara-negara Eropa terutama yang bertetangga dengan Ukraina.

Noda 

Serangan Rusia ke Ukraina juga bisa dibilang sebagai noda di atas kain putih bersih yang selama ini menyelimuti Eropa beberapa dekade lamanya. Di mata bangsa Eropa, mobilisasi pasukan dan alutsista, desing peluru, atau hantaman roket, adalah pemandangan anakronistis; tidak sesuai dengan visi, suasana, dan spirit zaman bangsa Eropa. Di lain sisi, goal politik tidak selalu sebanding dengan penderitaan, kematian dan kerugian yang diderita.

Walau ada keyakinan bila perang berlangsung lama akan melambungkan harga minyak dan menguntungkan Rusia sebagai pemasok minyak terbesar ketiga di dunia, tetapi sanksi terkoordinasi yang menghujani Rusia juga berpotensi menggoyahkan perekonomian Rusia dan bahkan dunia. Mengingat sebagian besar negara Eropa selama ini menggantungkan diri pada minyak dan gas alam Rusia.

Jelas bahwa persepsi ancaman dari NATO merupakan sebab dominan ketimbang dorongan motif ekonomi. Invasi yang didorong atas perasaan untuk menjaga marwah merupakan corak baru dalam sejarah perang modern. Walau deklarasi perang tanpa muatan ekonomi bisa ditertawakan seluruh dunia, tetapi tangan Rusia mungkin sudah terlanjur gatal sejak lama. 

Sejak AS terus menerus memanas-manasi dengan memperluas NATO sampai ke titik yang diumumkan sebagai garis merah bagi Rusia. Kalau sudah demikian perang ini mungkin masih jauh dari kata akhir, sehingga dunia harus bersiap menghadapi kondisi yang serba tidak pasti.

Ketidakpastian ini bukan saja berdampak pada ketidakpastian ekonomi global, tetapi juga yang lebih mengerikan ialah potensi meluasnya eskalasi perang. Seandainya peperangan ini terjadi di kawasan lain di luar Eropa, mungkin dunia tidak akan terlalu mengaitkannya dengan potensi perang dunia ketiga. Kini dunia menunggu pengalaman dan sikap bijak Eropa dalam menghadapi krisis besar dalam sejarah modern. Di lain pihak Indonesia juga harus waspada dengan dampak dari kegentingan yang terjadi di Eropa Timur. Karena meski jauh secara geografis, tetapi dampak perang ini akan dirasakan oleh Indonesia. 

Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor minyak di samping produsen. Dalam kurun waktu antara 2000 sampai 2018, produksi minyak kita semakin menurun, sementara konsumsinya semakin meningkat. Naiknya komoditas impor bisa menguras cadangan devisa negara. Memang perang di tengah kondisi negara yang saling terkoneksi dan terintegrasi dengan rantai perdagangan menyebabkan persoalan yang kian kompleks. Tetapi di luar kalkulasi dampak ekonomi yang diakibatkan perang, dalam hal ini menurut saya penting bagi Indonesia untuk melihat lembaran sejarah, dan melihat posisi Indonesia sebagai negara pelopor gerakan anti-perang, yang juga harus diartikan sebagai anti keberpihakan terhadap pihak yang memicu terjadinya peperangan.

Bagi Indonesia, perang selalu anakronis dalam setiap zaman. Perang tidak sejalan dengan visi kemanusiaan dan perdamaian. Pepatah klasik menyatakan 'dalam kondisi damai, anak-anak menguburkan orangtuanya, sementara perang mendobrak hal-hal alamiah yang menyebabkan orangtua menguburkan anaknya'.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya