Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Waspada Serangan Fajar Menjelang Pilkada 2020

Ervanus Ridwan Tou | Sekjen Vox Point Indonesia
07/12/2020 21:05
Waspada Serangan Fajar Menjelang Pilkada 2020
Dok Pribadi(Dok. Pribadi)

   PELAKSANAAN pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 9 Desember 2020 tinggal hitung hari. Kini, telah masuk pada masa tenang. Masa di mana tidak ada lagi aktivitas kampanye dan kegiatan politik lainnya. Namun, berbagai upaya untuk menggalang dukungan atau suara pemilih diduga masih terjadi dengan cara melakukan serangan fajar.

   Sesuai jadwal KPU bahwa masa tenang Pilkada 2020 berlangsung tiga hari, yakni sejak 6-8 Desember 2020. Setelah sebelumnya, para calon kepala daerah telah kampanye sejak 26 September - 5 Desember 2020.

    KPU telah mengatur jadwal dengan pertimbangan logis, sesuai aturan yang berlaku. Tujuannya, agar pasangan calon kepala daerah mempunyai waktu cukup untuk istirahat sebelum pelaksanaan berlangsung. Sebab, mereka telah menghabiskan waktu dua bulan lebih berkampanye. Kegiatan yang menguras energi, karena mengunjungi warga dari kampung ke kampung. Dalam satu hari bisa mendatangi lima tempat berbeda. Demikian pula rakyat, diberi kesempatan yang sama selama tiga hari untuk mempertimbangkan siapa yang pantas didukung.

   Masa tenang selama tiga hari ini, mesti menjadi momentum bagi rakyat agar dapat mengevaluasi. Mempertimbangkan siapa yang layak dipilih. Pertimbangan itu tentu saja melalui penilain sesuai hati nurani. Berdasarkan evaluasi setelah mendengar visi, misi dan program kerja dari setiap pasangan calon kepala daerah.

  Berdasarkan jadwal dan aturan tersebut, kegiatan apa pun terkait konsolidasi atau kampanye politik di masa tenang tidak dibenarkan. Baik yang dilakukan oleh paslon maupun oleh tim pemenangan. Apalagi, kegiatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, seperti pemberian imbalan berupa barang dan uang yang sering diistilahkan sebagai serangan fajar.

    Dikutip dari Wikipedia, dalam dunia politik Indonesia, serangan fajar, adalah istilah yang digunakan untuk menyebut bentuk politik uang dalam rangka membeli suara yang dilakukan oleh satu, atau beberapa orang untuk memenangkan calon yang bakal menduduki posisi sebagai pemimpin politik. Serangan fajar, umumnya menyasar kelompok masyarakat menengah ke bawah dan kerap terjadi menjelang pelaksanaan pemilihan umum. Bentuk politik uang yang dilakukan, adalah dengan cara membagi-bagikan uang menjelang hari pemungutan suara, dengan tujuan agar masyarakat memilih partai atau pasangan calon kepala daerah tertentu.

    Serangan fajar, dianggap sebagai metode yang tepat untuk mempengaruhi warga. Serangan fajar juga menjadi pelatuk setiap kandidat untuk meraup suara sebanyak-banyaknya. Maka, tidak heran jika banyak kandidat yang terpilih karena melakukan praktik perjudian tersebut. Kepala daerah yang dihasilkan dengan cara seperti ini, tentu saja berpotensi melakukan korupsi. Mereka akan menghalalkan segala cara untuk mengembalikan uang yang telah digunakan sebagai modal serangan fajar.

   Namun, beberapa praktik serangan fajar, uang bukan lagi satu-satunya objek yang diberikan untuk mendapat dukungan. Beberapa praktik dirubah dalam bentuk sembako dan berbagai barang, seperti barang elektronik, dan sebagainya.

    Praktik politik seperti ini tentu saja tidak sejalan dengan harapan publik. Karena, tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Padahal, kita menghendaki adanya proses politik yang bersih. Pilkada yang jurdil dan demokratis. Sehingga demokrasi kita naik kelas, menjadi demokrasi yang bermartabat dan berkualitas.

    Jika praktik serangan fajar masih terjadi, maka jangan berharap kita menghasilkan kepala daerah yang amanah. Jangan pula berharap kita mendapatkan pemimpin yang dapat menjadi contoh bagi generasi yang akan datang. Kita hanya mengahasilkan orang buruk untuk berkuasa. Karena, cara seperti ini tentu saja mencederai demokrasi Indonesia. Menambah kerusakan alam demokrasi, yang mestinya sudah harus lebih baik. Serangan fajar merupakan bentuk kasus suap yang bertentangan dengan UU KUHP pasal 149 ayat (1) dan (2).

    Ayat (1) berbunyi, “Barang siapa pada waktu diadakan pemilihan berdasarkan aturan-aturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang supaya tidak memakai hak itu menurut cara tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling besar empat ribu lima ratus rupiah.”

    Sedangkan ayat (2) berbunyi, “Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih, yang dengan menerima pemberian atau janji, mau disuap.” Undang-undang tersebut, bertujuan memberi efek jera bagi pegiat politik uang. Juga, untuk memutuskan mata rantai penyebaran terjadinya serangan fajar. Sehingga ke depan tidak ada lagi praktik serupa mewarnai proses politik di Tanah Air.

Potensi di tengah covid-19

   Praktik serangan fajar menjelang pilkada di tengah pandemi covid-19 sangat mungkin terjadi. Hal itu, karena melemahnya ekonomi akibat pandemi covid-19. Apalagi, daerah-daerah yang  masyarakatnya melek demokrasi. Jika tidak waspada, pelaung terjadinya transaksi atau suap sangat besar

   Untuk mengantisipasi terjadinya serangan fajar, kita diminta inisiatif mengkawal proses pilkada sampai pada pengumuman resmi oleh KPUD. Tugas kita selamatkan demokrasi. Jika ditemukan, dan mengetahui adanya praktik serangan fajar, kita langsung melapor pada pihak berwajib. Tugas itu, bagian dari upaya untuk menjaga kedaulatan demokrasi. Dengan demikian, praktik politik kotor bisa diatasi.

   Selain untuk menyelamatkan demokrasi dari praktik politik kotor, upaya ini juga sebagai bentuk dukungan kepada KPU, agar penyelenggaraan pilkada 2020 dapat berjalan aman dan lancar. Dukungan yang sama juga untuk Bawaslu, agar tugasnya mengawasi jalannya pilkada berjalan sesuai yang diharapkan. Bawaslu tentu saja mengharapkan peran serta masyarakat untuk ikut memantau dan mengawasi proses pilkada di 270 daerah.

    Ketua Bawaslu, Abhan, telah meminta Sentra Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu) daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota mengoptimalkan peran, dalam mengantisipasi pelanggaran menjelang masa tenang pelaksanaan Pilkada Serentak 2020. Menurutnya, berdasarkan pengalaman pelaksanaan pilkada lalu, pelanggaran selama masa tenang terjadi tren peningkatan.

   Hal itu dikatakan Abhan saat konferensi pers bersama jajaran Polri dan Kejaksaan Agung di Gedung Bawaslu, Jakarta, Kamis 3 Desember 2020. Ia mengatakan menjelang masa tenang ada beberapa potensi pelanggaran, seperti politik uang, ujaran kebencian, dan hoaks di media sosial. Ada pula potensi pelanggaran menjelang pemungutan suara seperti pihak yang tidak masuk DPT (daftar pemilih tetap).

Rakyat harus lawan

Berdasarkan persoalan tersebut, perlu partisipasi seluruh rakyat. Sehingga, pilkada 2020 menjadi lebih baik dari pilkada masa lalu. Pilkada 2020 harus menjadi sejarah baru. Walaupun digelar di tengah pandemi covid-19, tapi kita mampu melaksakannya sesuai aturan yang berlaku.

    Kita harus jujur pada diri sendiri, bahwa pilkada merupakan tanggung jawab kita sebagai warga negara. Karena itu, harus dikerjakan dengan benar dan penuh tanggung jawab. Sehingga pilkada bisa melahirkan pemimpin yang amanah. Pemimpin yang bukan untuk kepentingan kelompok tertentu. Namun, pemimpin yang siap mengabdi untuk kepentingan rakyat.

    Selain sebagai kebutuhan, politik juga sebagai panggilan yang bertujuan untuk kemaslahatan bangsa. Jika merujuk pada tujuan tersebut, maka tak ada alasan bagi rakyat untuk tidak aktif dan berpartisipasi dalam politik. Baik sebagai pemilih, maupun orang yang akan dipilih.

    Keterlibatan dalam politik, merupakan salah satu bentuk kepedulian kepada bangsa dan negara. Untuk itu, sebagai warga negara yang baik, kita diharapkan ikut terlibat dalam berbagai kontestasi politik. Salah satu tujuannya untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan harapan publik. Walaupun dalam praktiknya, pesta demokrasi sering diwarnai berbagai dinamika politik kotor.

    Untuk menghindari agar tidak terjadinya praktik politik kotor, maka butuh partisipasi dan kekompakan rakyat. Rakyat harus serius dan sungguh-sungguh mengikuti seluruh proses pilkada, termasuk mengawasi terjadinya berbagai serangan fajar. Pilkada 2020 harus menjadi sejarah baru bagi rakyat. Sejarah yang memerdekakan dari belengu politik masa lalu. Sudah saatnya kita tinggalkan praktik politik kuno yang tidak sejalan dengan cita-cita rakyat. Untuk itu, harus ada gerakan bersama melawan segala macam tawaran, baik berupa uang, sembako maupun jabatan atau janji lainnya yang bermaksud mendukung calon kepala daerah tertentu.

    Jika selama ini, para aktor politik uang masih  bergerilya jalan tengah malam untuk membujuk warga, maka saatnya harus dilawan. Karena cara kerja politik seperti ini adalah musuh demokrasi. Perbuatan seperti ini, adalah racun demokrasi. Jika dibiarkan, bisa melahirkan benih rusak yang tak layak untuk dipuji.

    Untuk itu, sekali lagi, rakyat tidak boleh takut. Apa pun bentuk ancaman, teror dan intimidasi para pelacur politik harus dilawan. Karena politik tidak pantas dilacurkan, apalagi ditawari dengan harga yang sangat murah.

    Politik tak bisa digadai dengan janji manis. Politik bukan barang murahan seperti para mafia politik, yang hanya muncul di musim politik. Mereka akan hilang, sampai pilkada kembali digelar. Mereka ini layak disebut sebagai penjahat politik yang sering sekali bekerja karena pesan sponsor.

     Untuk menghentikan tindakan seperti ini, perlu kesadaran kolektif dari rakyat. Harus dimulai dari diri sendiri. Seperti menjadi intelijen demokrasi. Yang memata-matai para pelaku politik kotor. Bahkan, menjadi pengadilan bagi diri sendiri. Menjadi orang pertama yang berani menolak segala macam tawaran dengan iming-iming tertentu.

     Kita juga harus menjadi informan yang bisa melaporkan segala bentuk praktik politik kotor ke pihak berwajib, dan, pemberi informasi untuk mengingatkan ke sesama warga, jika menemukan adanya tanda-tanda praktik politik yang tak seperti biasanya, yang tidak berdasarkan konstitusi. Jika cara ini dilakukan secara total, dan berkesinambungan, maka ke depan, demokrasi kita lebih baik. Masyarakat yang selama ini memilih apatis bisa aktif dan terlibat dalam politik.

     Dengan harapan mereka akan melakukan politik santun dan benar yang bisa diwariskan ke generasi Bangsa Indonesia. Dengan cara seperti ini pula kita dapat melahirkan pemimpin yang siap mengabdi untuk kepentingan rakyat. Yang bekerja untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan keluarga, kelompok dan tim sukses.

    Semoga Pilkada 2020, menjadi momentum yang tepat, untuk melahirkan pemimpin yang siap mengabdi untuk rakyat, yang siap bekerja, untuk melakukan perubahan di daerahnya masing-masing



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya