Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
REVISI Undang-undang Pemilu sudah mulai dibahas DPR. Banyak isu penting yang Rperlu diperhatikan secara serius oleh pembuat undang-undang dalam rangka menghasilkan regulasi pemilu yang berkualitas, demokratis, dan inklusif.
Salah satunya mengenai isu keterwakilan perempuan dalam parlemen, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kota/kabupaten. Sebagai arena yang bertugas membangun representasi politik, pemilu harus memastikan tidak ada satu pun orang yang tidak terwakili di pemerintahan ‘no one left behind’, termasuk perempuan di dalamnya.
Persoalannya, sejauh ini keterwakilan perempuan di pemilu dan pemerintahan masih belum berjalan secara maksimal. Padahal, Indonesia merupakan salah satu negara yang tergabung dalam rencana aksi global sustainable development goals (SDGs) yang mana dari 17 tujuan yang ada, tujuan kelima ialah ‘mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan anak’, salah satunya di bidang politik. Tujuannya ialah terciptanya Gender Equality Planet 50:50 yang direncanakan tercapai pada 2030.
Untuk itu, revisi UU Pemilu dan pemilu mendatang perlu ditempatkan sebagai sarana bagi Indonesia untuk semakin meningkatkan partisipasi aktif perempuan, termasuk keterwakilan perempuan di bidang politik.
Terdapat dua langkah utama yang dapat dipersiapkan untuk mencapai tujuan tersebut. Pertama, revisi UU Pemilu perlu meninjau ulang ketentuan afirmasi bagi perempuan di pencalonan anggota legislatif dan penyelenggara pemilu.
Sebagai salah satu kebijakan yang tergolong dalam special temporary measure, Indonesia sudah mengadopsi ketentuan pencalonan perempuan minimal 30% dalam daftar calon anggota legislatif sejak Pemilu 2004.
Ketentuan ini mendorong partai politik peserta pemilu mengikutsertakan perempuan sebagai calon anggota legislatif di pemilu dalam rangka menghadirkan representasi politik perempuan di kursi legislatif.
Persoalannya, sekalipun sudah terdapat ketentuan afirmasi angka keterwakilan perempuan di parlemen masih di bawah angka critical mass 30%, pada Pemilu 2004 sebanyak 45 perempuan terpilih atau 9% angka keterpilihan perempuan di DPR. Kemudian di Pemilu 2009, sebanyak 11% atau 61 perempuan duduk sebagai anggota DPR. Selanjutnya di Pemilu 2014, sebanyak 17,6% atau 97 perempuan terpilih dan terdapat 118 orang perempuan terpilih atau 20,5% di Pemilu Serentak 2019.
Menata ulang
Terdapat dua faktor yang melatarbelakangi masih rendahnya keterwakilan perempuan di legislatif.
Pertama, sekalipun partai politik dipaksa mencalonkan minimal 30% perempuan dan di antara tiga calon terdapat satu perempuan, faktanya calon perempuan yang ditempatkan di nomor urut satu masih sangat sedikit.
Padahal, jika melihat kajian-kajian yang sudah ada, sebagian besar calon anggota legislatif terpilih ditempatkan di nomor urut satu.
Kedua, kebijakan afirmasi hanya berjalan parsial di pencalonan saja, sedangkan di tahapan kampanye cenderung absen. Tidak sedikit calon perempuan mengeluhkan tingginya dana kampanye yang diperlukan selama masa kampanye berlangsung.
Untuk itu, ke depan, RUU Pemilu perlu menata ulang ketentuan afirmasi bagi pencalonan perempuan dengan cara menempatkan calon anggota legislatif perempuan di nomor urut satu di 30% daerah pemilihan.
Sementara itu, pada tahapan kampanye, perlu kiranya mengadopsi kebijakan afirmasi berupa dialokasikannya kampanye yang dibiayai negara dalam bentuk barang, seperti iklan di media massa cetak/elektronik sebanyak 30% untuk calon-calon anggota legislatif perempuan.
Hal ini diharapkan dapat meringankan beban anggaran dana kampanye bagi calon perempuan. Selain itu, ketentuan sanksi yang selama ini diatur di peraturan KPU berupa diskualifikasi bagi partai politik yang tidak mampu memenuhi pencalonan perempuan di dapil perlu diatur dalam level undang-undang.
Mengawal dan memastikan
Selain afirmasi pencalonan perempuan sebagai peserta pemilu, RUU Pemilu juga perlu memperhatikan desain afi rmasi yang mengatur rekrutmen penyelenggara pemilu KPU dan Bawaslu di setiap tingkatannya. Sekalipun UU Pemilu sebelumnya sudah mencantumkan ketentuan ‘memperhatikan keterwakilan perempuan 30%’, realitasnya, kehadiran perempuan sebagai anggota penyelenggara pemilu belum mampu dicapai secara maksimal.
Frasa ‘memperhatikan’ yang terdapat dalam regulasi pemilu tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mendorong keterlibatan perempuan di penyelenggara pemilu. Utamanya bagi tim seleksi yang bertugas melakukan rekrutmen penyelenggara pemilu. Karena itu, ke depan, perlu diatur ulang ketentuan afi rmasi di seleksi penyelenggara pemilu yang mampu mengakomodasi partisipasti perempuan.
Kedua, meskipun pemilu masih lama, penting bagi partai politik, perempuan politik, dan perempuan aktivis mempersiapkan Pemilu 2024 mendatang. Persiapan ini dapat dilakukan dengan cara mulai aktif mengikuti isu-isu terkini. Utamanya yang menyangkut pembahasan revisi UU Pemilu dalam rangka memahami aturan main yang akan diterapkan pada 2024 mendatang.
Jangan sampai perempuan politik, yang saat pemilu, merupakan aktor utama tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang aturan main pemilu. Bahkan, tidak hanya mengikuti isunya, tetapi juga harus mengawal dan memastikan isu keterwakilan perempuan mendapat dukungan regulasi yang kuat. Perempuan politik melalui Organisasi Kaukus Perempuan Politik atau organisasi sayap parpol harus memastikan revisi UU Pemilu membuahkan keberpihakan pada perempuan.
Bagi partai politik, rekrutmen politik sebagai salah satu fungsi utama partai, tentunya bisa dilakukan jauh-jauh hari untuk mempersiapkan calon-calon anggota legislatif perempuan terbaik.
Sementara itu, bagi perempuan aktivis, perlu kiranya saling bersinergi saling membantu dan mendukung dalam rangka meningkatkan angka keterwakilan perempuan di pemilu mendatang. Jika upaya ini berjalan dengan baik, kita berharap dapat menyaksikan sebuah pemilu yang ramah perempuan pada 2024. Semoga.
perempuan di Jakarta masih terjebak dalam ketidakpastian. Mulai dari pencarian kerja, dunia akademik, hingga kehidupan sehari-hari.
Acara ini merupakan puncak dari rangkaian pelatihan dan pendampingan yang telah mereka jalani selama enam kali pertemuan dalam Program Glorious Golo Mori.
Perempuan Indonesia punya peran besar dalam perjuangan kemerdekaan, mulai dari pendidikan, perlawanan bersenjata, hingga politik.
Program SisBerdaya dan DisBerdaya ini menjadi salah satu implementasi nyata dari komitmen tersebut, sekaligus strategi menjembatani kesenjangan digital di kalangan pelaku UMKM perempuan.
HAPPY Girlfriend Day (gf day) diperingati pada tiap 1 Agustus. Hari tersebut menjadi perayaan pasangan romantis. Namun, bukan saja untuk mereka yang memiliki pasangan,
KEBERPIHAKAN terhadap korban dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang kerap melibatkan perempuan harus dikedepankan.
Selama ini pelaporan dana kampanye hanya dilakukan untuk memenuhi syarat administratif. Dana yang dilaporkan juga diduga tak sepenuhnya sesuai dengan realitas di lapangan.
Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) sebagai alat bantu penghitungan suara pada Pemilihan 2020 lalu harus diperkuat agar proses rekapitulasi hasil pemilu ke depan lebih akurat
REVISI Undang-Undang Pemilu dan Pilkada dinilai sebagai satu-satunya jalan untuk mengakhiri polemik terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan pemilu nasional dan lokal.
WAKIL Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan pihaknya akan hati-hati dalam membahas revisi Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu).
WAKIL Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto meminta kepada publik agar menghentikan perdebatan mengenai pro dan kontra terkait metode penyusunan Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada.
Ketua KPU Mochammad Afifuddin mendorong DPR segera merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved