Headline
Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.
MASYARAKAT adat di pegunungan Meratus, Provinsi Kalimantan Selatan menyatakan penolakan terhadap kebijakan perdagangan karbon yang dikampanyekan pemerintah dalam rangka mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Perdagangan karbon atau pemanfaatan nilai ekonomi karbon dari kawasan hutan Pegunungan Meratus dinilai justru menjadi ancaman keberlangsungan hidup masyarakat adat.
Hal itu ditegaskan Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalsel, Rubi, Sabtu (25/1). "Komunitas Masyarakat Adat di Kalimantan Selatan menolak kebijakan perdagangan karbon, khususnya di kawasan pegunungan Meratus. Ada beberapa alasan diantaranya adanya kekhawatiran bahwa perdagangan karbon akan membuka peluang bagi konsesi baru dalam kawasan hutan di Indonesia, yang dapat mengancam keberlangsungan hidup Masyarakat Adat," tegasnya.
Skema perdagangan karbon dinilai sebagai solusi palsu dalam mengatasi perubahan iklim, yang justru akan mengeksekusi masyarakat adat. Selain itu, perdagangan karbon juga berdampak akan terjadinya penggusuran masyarakat adat dan komunitas lokal, seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Merauke.
Komunitas masyarakat adat di Kalimantan Selatan menolak perdagangan karbon dan memilih untuk menjaga keberlangsungan hidup mereka dengan cara yang lebih berkelanjutan. "Pada tahun 2024, penolakan perdagangan karbon hutan pegunungan Meratus telah disuarakan Pengurus Daerah AMAN Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan mendapat dukungan berbagai organisasi sipil lainya," kata Rubi.
Di sisi lain pemerintah Indonesia menyatakan komitmen untuk pengendalian perubahan iklim, dengan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Nasional dan berperan dalam mengurangi emisi GRK secara global. Indonesia telah menargetkan penurunan emisi GRK ke UNFCCC dengan kemampuan sendiri sebesar 29% dan dengan dukungan internasional sebesar 41%.
Untuk mencapai target NDC Sektor Kehutanan, pemerintah berkomitmen mencapai penurunan emisi GRK sebesar -140 juta ton CO2e pada 2030, serta mendukung Net Zero Emission.
Pada bagian lain Wakil Menteri Kehutanan (Wamenhut) RI, Sulaiman Umar menghadiri perayaan HUT ke-19 Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) Regional Kalimantan yang berlangsung di Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam, Mandiangin, Kabupaten Banjar Banjar, Kalimantan Selatan, Jumat (24/1).
Dalam sambutannya Wamenhut mengingatkan tantangan dan ancaman yang dihadapi dalam melindungi hutan dan kawasan hutan masih sangat berat dan kompleks. Karena itu SPORC diminta untuk terus meningkatkan kuantitas dan kualitas upaya penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan.
Keberadaan SPORC menjadi salah satu kunci dalam menangani tindak kejahatan pengrusakan hutan. Termasuk melindungi kelestarian sumber daya alam di dalamnya.
PEMERINTAH mulai memproses pembebasan tanah warga dua desa terpencil di Kecamatan Peramasan, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan untuk pembangunan bendungan Riam Kiwa.
PEMERINTAH Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) menetapkan status siaga darurat bencana kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) seiring semakin meningkatnya titik panas
LEBIH dari 850 ribu hektare lahan di luar kawasan hutan atau Area Penggunaan Lain (APL) di Provinsi Kalimantan Selatan belum belum terdaftar, terpetakan, dan belum tersertifikasi secara resmi.
Angka pernikahan dini di Kalsel jauh di atas rata-rata nasional 18%, sementara angka stunting nasional 19,8%.
BPBD akan segera melakukan koordinasi untuk aksi pembasahan lahan gambut terutama di kawasan prioritas (ring satu) sekitar bandara internasional Syamsudin Noor Banjarbaru
Peserta terbagi dalam 6 kelas balapan yang berbeda, yaitu Junior U-19, Master A, Master B, Master C, Men Elite, dan Women Open.
Acara bersejarah ini bukan sekadar perayaan budaya, melainkan sebuah pernyataan politis dan kultural yang akan menegaskan kembali relevansi hukum adat.
SEBANYAK 400 ribu hektare telah ditetapkan sebagai Hutan Adat oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Hal itu dilakukan sebagai upaya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat.
"Pengakuan adalah pondasi penting dari upaya perlindungan dan pemajuan hak Masyarakat Adat,"
Koordinator aksi Arifin sangaji dalam orasinya, menyebut aktivitas perusahaan tersebut telah menimbulkan dampak lingkungan, merampas tanah adat, dan memicu kriminalisasi terhadap warga.
DOSEN Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona menjelaskan ada beberapa negara yang sudah menerapkan regulasi tentang masyarakat adat seperti di Filipina hingga Australia.
SAWIT Watch meminta pemerintah memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi petani dan pekebun kecil serta masyarakat adat yang berada di sekitar kawasan hutan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved