Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
SAWIT Watch meminta pemerintah memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi petani dan pekebun kecil serta masyarakat adat yang berada di sekitar kawasan hutan, salah satunya terkait kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Sebelumnya Sawit Watch telah mengajukan Permohonan Uji Materiil dan Tafsir Pasal 12 A, Pasal 17A dan Pasal 110 B Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi (MK).
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, menegaskan pihaknya memiliki perhatian penuh atas tata kelola sawit di Indonesia, khususnya keberadaan sawit dalam kawasan hutan. "Kami melihat ada yang hal kurang terang benderang atas norma yang ada di Pasal 12A, 17A dan 110B. Permohonan uji materiil ini sebagai usaha untuk memperjelas konteks ini sehingga kelompok diatas memiliki keadilan secara konstitusional,” ujar Surambo di saat menjadi pembicara dalam Diskusi Online Tandan Sawit berjudul “Menanti Putusan Mahkamah Konstitusi : Kemana Arah Nasib Petani Sawit dalam Kawasan Hutan Ditentukan?” yang diinisiasi Sawit Watch, pekan lalu.
“Kondisi terkini di Sumatra banyak titik api kebakaran hutan dan lahan. Kami temukan di Riau di lokasi kebun sawit dalam kawasan hutan. Ini kurang elok dan baik, status belum selesai namun terjadi kebakaran hutan dan lahan. Proses ini tidak boleh terjadi dan harus segera diselesaikan. Pemerintah tidak boleh Stecu (setelan cuek) atas persoalan ini, sudah saatnya memberikan kepastian dan keadilan hukum serta perlindungan bagi mereka yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan yang belum terdaftar dalam kebijakan penataan kawasan hutan,” tambah Surambo.
Grahat Nagara, Akademisi dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, mengatakan bahwa kedudukan Pasal 12 A itu dan pasal 110 B UUP3H mempunyai potensi dan mudah digunakan untuk menjerat masyarakat di sekitar kawasan hutan. Faktanya saat ini banyak kasus lahan diambil alih oleh Satgas PKH.
"Setidaknya ada tiga poin penting yang harus dikaji, pengakuan terhadap tanah secara tradisional oleh Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal setempat merupakan bagian proses politik menjadi Warga Negara Indonesia. Kedudukan aturan-aturan pidana yang masih mengikuti logika hukum kolonial sebenarnya berusaha dikoreksi meskipun masih terbatas. Serta penataan kawasan hutan hanya dapat menjadi cara untuk menuju pengakuan hak Masyarakat adat apabila memposisikan hak-hak mereka sebagai hak yang bersifat deklaratif,” ungkap Grahat Nagara.
Ia menambahkan, jika hal ini dibiarkan, sangat dikhawatirkan relokasi akan terjadi besar-besaran, seperti yang terjadi di Tesso Nilo rentan sekali terjadi di banyak tempat.
Penasehat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice/IHCS, Gunawan memaparkan bahwa, kondisi saat ini ketika mengajukan permohonan di Mahkamah Konstitusi, UUP3H sudah diubah melalui UU Cipta Kerja (UUCK), lalu lahir PP No 24 Tahun 2021 sebagai kebijakan turunan. Kebijakan ini sudah diuji Sawit Watch di Mahkamah Agung pada 2023 lalu, melalui putusan dapat dilihat kebijakan ini tidak efektif, hanya sebagian kecil yang diproses. Karena ketidakefektifan itu keluar Perpres 5 Tahun 2025 lalu untuk pembentukan satgas penertiban kawasan hutan.
"Menjadi tidak efektif bisa jadi karena bercampurnya antara mereka yang seharusnya ditindak dan masyarakat yang harusnya dikecualikan. Inilah yang menjadi landasan mendasar pengajuan uji materiil di MK,” kata Gunawan. (H-3)
Tantangan terbesar di kita (Indonesia) ini, masing-masing sektor sebaiknya tidak over sektoralism, perlunya pengoptimalan yang lebih efisien termasuk pada tata kelola sawit.
KOALISI masyarakat sipil dari berbagai organisasi menyerukan untuk mencabut Undang-Undang (UU) Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Program MMSGI dinilai mendorong kemandirian ekonomi masyarakat adat Dayak Kenyah, di Desa Lung Anai Kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
KOALISI Kawal Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang diinisiasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menekankan ada dua tujuan dari Undang-Undang Masyarakat Adat.
Ketika masyarakat adat ditinggalkan dan tidak diakui, demokrasi akan menurun
PSBI juga mendorong pentingnya pembangunan manusia yang berakar pada budaya dan nilai-nilai luhur.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved