Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
PELAKU usaha properti di Provinsi Aceh mendesak agar perbankan konvensional diizinkan kembali beroperasi di wilayah tersebut. Mereka menilai bahwa perbankan syariah saat ini belum dapat mendukung secara optimal pembiayaan untuk pembangunan rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di Aceh.
Pengamat Ekonomi Aceh Rustam Effendi menjelaskan bahwa bank konvensional memilih untuk meninggalkan Aceh setelah terbitnya Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Ini merupakan penjabaran dari Pasal 21 ayat 1 Qanun Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syariah Islam.
"Qanun LKS tidak secara otomatis mengusir bank konvensional dari Aceh, melainkan mengharuskan mereka untuk membuka Unit Usaha Syariah (UUS)," ungkap Rustam, Senin (22/7).
Baca juga : 497 Rumah Subdisi Dibangun di Soreang Bandung
Menurut Rustam, hengkangnya bank konvensional menyebabkan jumlah kantor cabang perbankan di Aceh turun drastis dari 76 menjadi 52 cabang.
"Akibatnya, angka pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengangguran terbuka di Aceh meningkat secara signifikan, menciptakan efek domino yang besar. Pemerintah Aceh harus mempertimbangkan hal ini dengan serius agar tidak menimbulkan kegaduhan ekonomi lebih lanjut," tambahnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh mencatat pertumbuhan ekonomi Aceh triwulan I-2024 sebesar 4,82 persen (year on year), namun mengalami kontraksi 6,44% (quarter to quarter) dibandingkan triwulan IV-2023. Kontraksi terdalam terjadi pada sektor jasa konstruksi dengan penurunan 19,61 persen.
Baca juga : Kepastian Kuota FLPP 2024 Jadi Tantangan Pemerintahan Prabowo-Gibran
Sementara itu, kontribusi Aceh terhadap perekonomian Sumatera pada triwulan I-2024 sebesar 4,98%, menempatkannya di urutan ke-8 dari 10 provinsi di pulau tersebut. Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Sumatera yang mengalami pertumbuhan ekonomi di rentang 4,2% hingga 4,3%.
Rustam menambahkan, aset perbankan syariah kurang dari 10% dari total aset seluruh perbankan di Indonesia. Ironisnya, Aceh yang sedang mengalami darurat ekonomi justru menggantungkan nasib pada bank syariah yang kontribusinya secara nasional relatif kecil.
Ketua Dewan Pengurus Daerah Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (DPD REI) Aceh, Zulkifli HM Juned, menyatakan, nasib pengembang di Aceh tidak seberuntung pelaku usaha di daerah lain karena tidak adanya dukungan pembiayaan dari bank pelaksana selain perbankan syariah.
Baca juga : Pemerintah DIY Dorong Program KPR Sejahtera FLPP untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah
"Jumlah bank pelaksana yang melayani skema pembiayaan untuk pengembangan rumah bersubsidi di Aceh sangat terbatas, hanya bank syariah," ujar Zulkifli.
Ketidakhadiran bank konvensional memicu kesulitan bagi developer dalam memperoleh pembiayaan untuk proyek hunian bersubsidi. "
Tidak hanya itu, masyarakat di Aceh juga menghadapi kesulitan dalam mengajukan kredit pemilikan rumah (KPR) bersubsidi," tambah Zulkifli.
Baca juga : Pemerintah Minta Penyaluran 166 Ribu Rumah Bersubsidi Tepat Sasaran
Untuk mengatasi keterbatasan ini, pengembang anggota REI Aceh mulai mengalihkan pengajuan pembiayaan kredit modal kerja ke bank konvensional di Provinsi Sumatera Utara.
"Dari 150 perusahaan anggota REI Aceh, ada puluhan developer yang sudah mengurus pembiayaan kredit modal kerja dari bank konvensional di Medan. Hal ini karena perbankan syariah di Aceh belum dapat melayani pendanaan kredit usaha yang diajukan developer," jelasnya.
Pengembang rumah bersubsidi di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar harus membuat permohonan kredit modal kerja ke bank konvensional di Sumatera Utara karena ketiga bank syariah di Aceh—Bank BTN Syariah, Bank Syariah Indonesia (BSI), dan Bank Aceh Syariah—tidak dapat meloloskan pengajuan dukungan pembiayaan akibat regulasi dan limitasi.
Zulkifli meminta agar eksekutif dan legislatif Aceh melakukan evaluasi terhadap aturan untuk memungkinkan bank konvensional kembali beroperasi di Aceh.
Sebagai solusi jangka pendek, ia berharap bank syariah di Aceh dapat lebih mengoptimalkan pelayanan, terutama dalam hal kualitas dan kuantitas pembiayaan untuk pelaku usaha properti serta penyaluran KPR khusus MBR.
Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Daerah (BPOD) REI Aceh Muhammad Nofal, juga mengungkapkan dampak serius dari penutupan bank konvensional terhadap sektor usaha di Aceh.
“Penutupan bank konvensional berdampak besar pada dunia usaha di Aceh, menyebabkan tingginya angka pengangguran. Para tokoh masyarakat Aceh diminta untuk realistis dalam menghadapi masalah ini, yang berdampak langsung pada kesempatan kerja dan masa depan anak-anak Aceh,” tegas Nofal. (Z-10)
Menteri PKP, Maruarar Sirait atau Ara, menegaskan bahwa kementeriannya terus mengumpulkan masukan dan aspirasi dari generasi milenial terkait draf revisi program rumah subsidi
MENTERI Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait meninjau langsung usulan konsep rumah subsidi dengan luas 14 meter persegi yang diusung oleh Lippo Group
Sebanyak 16 rumah diberikan secara gratis kepada masyarakat dari berbagai latar belakang oleh PT Kawaanukirah Property di Banten, Kamis (12/6).
Wamen Perumahan dan Kawasan Permukiman Fahri Hamzah membantah kabar yang menyebut luas tanah rumah subsidi akan dipangkas menjadi hanya 25 meter persegi dengan luas bangunan 18 meter persegi.
Kebijakan segmentasi penerima Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) berdasarkan profesi yang digagas Kementerian PKP terbukti efektif dorong penjualan rumah subsidi
RENCANA pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur dengan mengalokasikan dana sebesar Rp48 triliun
Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam mewujudkan kepemilikan rumah yang layak dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Pemerintah diminta membedakan skema subsidi perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan masyarakat berpenghasilan tanggung (MBT).
Akses pembiayaan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dinilai masih terhambat oleh sistem penilaian riwayat kredit
Pemerintah tengah mengkaji ulang standar desil 8 yang digunakan dalam program perumahan, mengingat perbedaan standar hidup di setiap provinsi.
Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Mori Hanafi, menilai target pembangunan tiga juta rumah per tahun yang dicanangkan pemerintah perlu disesuaikan dengan anggaran
Kebutuhan hunian yang terjangkau bagi masyarakat semakin mendesak, terutama di kawasan yang berdekatan dengan Ibu Kota.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved