Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Solo tak Pernah Tidur, Jejak Listrik di Tanah Raja

Widjajadi
24/11/2021 20:50
Solo tak Pernah Tidur, Jejak Listrik di Tanah Raja
Eko Sulistyo, penulis buku, menyerahkan buku karyanya kepada Sinuhun Pakoe Boewono XIII(MI/WIDJAJADI)


WARGA menyebutnya Lampu Setan. Ia datang menjadi awal lahirnya budaya malam di Kota Surakarta atau Solo.

Solo pun menjadi kota yang nyaris tidak pernah tidur. Tidak ada bedanya antara siang dan malam, sejak listrik muncul pertama kali.

Solo menjadi kota kedua yang beraliran listrik setelah Kota Batavia atau Jakarta. Dari buku Babad Surakarta, listrik muncul di Solo pada 1902. Namun di buku tulisan Eko Sulistyo berjudul : Jejak Listrik Di Tanah Raja, listrik secara formal ada di Kota Solo sejak 1901.

"Perlu waktu penelitian satu tahun untuk mengetahui jejak listrik di tanah Vorstenlanden (Hindia Belanda) ini. Dari sumber Babad Surakarta, listrik  di Kota Surakarta atau Solo ini pada 1902. Namun saya mendapatkan data, secara formal listrik di Solo sudah ada sejak 1901," kata Eko, yang juga anggota dewan komisaris PT PLN ini pada bedah buku "Jejak Listrik Di Tanah Raja" di Sasono Mulyo Keraton Kasunanan, Selasa malam (23/11).

Menurut dia, keberadaan listrik di tanah raja yang didirikan oleh Soloche Electriciteit Maatschappij (SEM)  ini sangat penting, karena menjadi penanda zaman munculnya modernitas. Tidak sebatas hanya untuk penerangan, tapi juga penggerak industri.

Lebih dari itu, ujar dia, listrik yang menurut orang pinggiran kala itu disebut sebagai lampu setan, karena bisa menyala sendiri tanpa diberi upet atau minyak tanah, telah mengubah kultur masyarakat Solo, termasuk masalah keagamaan.

" Artinya, konteks listrik pada saat itu tidak dianggap sebagai teknologi yang bertentangan dengan agama, bahkan melengkapi. Seperti misal masjid besar di keraton  dipasangi listrik, sehingga suara adzan menggema. Ini sangat mendukung," katanya.

Kehadiran listrik di Surakarta, tutur Eko, menjadi bagian dinamika ruang kota. Banyak ruang publik dan jalan-jalan yang gelap saat malam, menjadi bercahaya terang dan melahirkan banyak kegiatan.

"Seperti munculnya budaya lembur, sehingga irama kehidupan menjadi semakin panjang. Banyak usaha buka sampai malam yang membuat Solo dikenal sebagai kota yang tidak pernah tidur. Tidak ketinggalan  emansipasi politik pun meningkat, karena waktu belajar dan membaca juga semakin banyak," kata dia.

Ada dua hal penting yang dicatat Eko dalam bukunya, yakni keberadaan  listrik di Solo disokong langsung oleh Raja Pakoe Boewono X dan Mangkunegoro VI serta menjadi representasi hubungan antaretnis.

Investasi SEM dalam mendirikan perusahaan listrik di Solo, terdiri atas Keraton Kasunanan yang diwakili Patih Sosroningrat IV, lalu De Kock van Leeuwen mewakili Mangkunegoro, serta komunitas Tionghoa yang diwakili Be Kwat Koen serta wakil firma van Buuren & Co.

Eko dalam buku Jejak Listrik di Tanah Raja juga memberikan gambaran secara gamblang terkait pasang surut perusahaan listrik SEM, dari era kolonial Hindia Belanda, masa pendudukan Jepang, hingga pasca kemerdekaan, yakni dari rentang waktu 1901-1957.

Dalam buku setebal 278 halaman itu, Eko memposisikan SEM  bukan hanya dalam konteks penerangan semata, namun juga dalam konteks politik dan perubahan masa kolonial.

Dalam acara bedah buku itu, Eko juga memberikan bukunya kepada Sinuhun Pakoe Boewono XIII yang hadir bersama permaisuri. (N-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : NUSANTARA
Berita Lainnya