Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Kasus Pemerkosaan Anak, Polres Tangsel Harus Perhatikan UU TPKS

Syarief Oebaidillah
23/10/2022 17:12
Kasus Pemerkosaan Anak, Polres Tangsel Harus Perhatikan UU TPKS
Ilustrasi(DOK MI)

KEBERHASILAN jajaran Polres Tangsel menangkap S, 45, terduga pelaku pemerkosaan terhadap anak perempuan berusia 10 tahun di Komplek Kejaksaan, Cipayung, Ciputat, Tangsel, menuai apresiasi. S, yang ditangkap di wilayah Setu Pengasinan, Sawangan, Depok, Selasa (18/10), juga diduga melakukan pencabulkan terhadap tiga anak di di Depok.

"Saya mengapresiasi kerja aparat Polres Tangsel yang telah menangkap S. Penangkapan ini merupakan pintu masuk bagi korban untuk mendapatkan keadilan," kata Dosen Pidana dan Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak Fakultas Hukum Universitas Pamulang (Unpam), Tangsel, Halimah Humayrah Tuanaya, Minggu (23/10).

Selanjutnya aktivis dan praktisi hukum ini menyarankan, dalam kasus ini Polres Tangsel  menerapkan ketentuan sebagaimana dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Dengan merujuk pada UU TPKS, lanjut Halimah, maka mulai dari pemeriksaan di kepolisian hingga nanti di pengadilan, korban berhak atas pendampingan oleh pendamping. Korban juga berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan.

"Restitusi ini berupa ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan korban, penggantian biaya medis, psikolog, dan kerugian lainnya. Restitusi jika tidak bisa dibayar oleh S sebagai pelaku, maka negara akan membayar kompensasi," tegasnya.

Jadi, dia menekankan agar polisi memperhatikan serius UU TPKS termasuk kewajiban penyidik memberitahukan perihal restitusi kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). "Terkait hukuman, maka menurut saya dengan korban empat anak, S pantas diberikan sanksi pidana penjara maksimal sesuai dengan UU Perlindungan Anak yaitu 15 Tahun penjara," tegasnya.

Namun Halimah tidak menampik hukuman lebih keras diterapkan pada pelaku. Ia mengutarakan, berdasarkan Pasal 81 angka (5) UU No. 17 tahun 2016 hukuman mati memungkinkan terhadap pelaku dalam perkara ini mengingat korbannya lebih dari satu orang.

Namun, hukuman mati bukanlah satu-satunya pemidanaan yang dapat diancamkan terhadap pelaku. Selain pidana mati, pelaku dapat diancam dengan pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 2O (dua puluh) tahun. "Perbuatan pelaku juga dapat diancam sanksi tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik, " cetusnya.

Namun penegak hukum, jelasnya, khususnya hakim, juga harus mulai berpikir progresif dengan memikirkan kebutuhan korban dan tidak hanya terjebak pada pembalasan terhadap pelaku yang tidak akan menolong korban sama sekali.  Dikatakan, jika pelaku dikenai pidana mati, hakim akan menghadapi pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 67 KUHP yang melarang penjatuhan pidana tambahan lain kepada terdakwa yang dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup.

"Sehingga tertutup bagi pelaku untuk dikenai pidana restitusi, untuk memberikan ganti kerugian pada korban," jelasnya. (OL-15)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Widhoroso
Berita Lainnya