Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Quito Krisis Air Terburuk dalam 25 Tahun, Warga Terpaksa Antre dan Gunakan Air Tak Layak Minum

Thalatie K Yani
17/7/2025 07:57
Quito Krisis Air Terburuk dalam 25 Tahun, Warga Terpaksa Antre dan Gunakan Air Tak Layak Minum
Ribuan warga Quito, ibu kota Ekuador alami krisis air bersih selama sepekan terakhir, akibat pipa air rusak akibat longsor.(CNN)

RIBUAN warga Quito, ibu kota Ekuador, masih hidup tanpa air bersih hampir sepekan sejak terjadinya krisis air terburuk dalam 25 tahun terakhir. Sekitar 400 ribu penduduk terdampak setelah tanah longsor merusak pipa utama yang menyuplai air ke wilayah selatan kota.

“Kami tidak bisa hidup tanpa air!” teriak warga Chillogallo yang berbaris di jalan menunggu kedatangan truk tangki. Namun pasokan terbatas, dan jadwal distribusi sering tak menentu.

Lansia Paling Rentan

Banyak warga lansia menunggu berjam-jam di bawah terik matahari demi mendapatkan air. Inés Castro, 74, mengaku berdiri sejak pagi. “Saya tinggal sendirian. Kalau pun dapat air, semoga ada tetangga yang membantu membawanya,” katanya sambil menahan tangis.

Sebagian warga mengaku kelelahan membawa ember dan wadah air. Elsa Sarango menuturkan, “Kalau masih muda mungkin kuat. Tapi sekarang berat sekali. Di rumah makin banyak kebutuhan kebersihan.”

Erselinda Guilca, seorang pensiunan, berharap krisis cepat diatasi. “Lebih baik listrik mati daripada air tak ada. Kami bahkan tak bisa mandi,” keluhnya.

Air Tak Layak Minum Jadi Pilihan Terakhir

Di kawasan Nueva Aurora, warga terpaksa mengambil air dari mata air liar yang tidak memenuhi standar kesehatan. Mereka berjalan beberapa blok, sebagian membawa gerobak rakitan atau bahkan kantong plastik karena tak memiliki wadah.

“Airnya tidak layak minum, tapi setidaknya bisa untuk toilet,” kata Tomás Chiguano, seorang tukang bangunan. Ia mengaku pekerjaannya terganggu karena tak ada air untuk mencampur semen dan pasir.

Pemerintah mulai memasang instalasi pengolahan air portabel untuk mencegah wabah penyakit.

Biaya Akses Air Membengkak

Selain kelelahan, warga juga harus menanggung biaya tambahan untuk mengangkut air. “Kadang kami harus membayar 2–3 dolar untuk mobil yang membantu membawa air,” ujar seorang warga.

Maria Tipán, yang merawat cucunya, mengatakan ia harus bolak-balik hingga delapan kali. “Air makin mahal, tapi tagihan bulanan tetap akan dibebankan,” keluhnya.

Pemerintah Lokal dan Nasional Saling Menyalahkan

Wali Kota Quito, Pabel Muñoz, mengerahkan 71 truk air, beberapa titik distribusi tetap, dan sistem tangki tambahan. Ia menargetkan pasokan air bersih kembali normal di enam wilayah terdampak pada Minggu.

Namun, koordinasi dengan pemerintah pusat memanas. Wakil Presiden María José Pinto ditunjuk untuk menangani distribusi bantuan, sementara Komite Operasi Darurat Nasional (COE) memasang tiga instalasi pengolahan air tambahan.

Menteri Energi Inés Manzano menuding pemerintah kota lambat merespons krisis. “Kami meminta rencana krisis, tapi tidak diserahkan tepat waktu. Karena itu kami turun tangan,” katanya.

Sebaliknya, Muñoz mempertanyakan minimnya komunikasi dari pemerintah pusat. “Mengapa mereka tidak hadir di posko komando?” ujarnya.

Presiden Daniel Noboa belum memberikan komentar langsung soal krisis ini. Kritik terhadap pemerintahannya kian meningkat, terutama karena fokusnya lebih banyak pada penindakan keamanan dibanding isu sosial. (CNN/Z-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya