Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
DUTA Besar Indonesia untuk Rusia Jose Antonio Morato Tavares menjelaskan Indonesia mendapat banyak manfaat dengan bergabung dalam kelompok ekonomi BRICS. Indonesia, pada 6 Januari lalu, resmi menjadi anggota kesepuluh BRICS.
Menurut Dubes Jose, BRICS bisa jadi platform Indonesia menyuarakan isu-isu yang selama ini tidak masuk agenda negara-negara Barat, seperti isu Palestina,
“Negara Barat kan selama ini cenderung standar ganda di isu ini,” ujar Jose dalam diskusi BRICS: Menakar Langkah Indonesia, di Barito Mansion, Kebayoran Baru, Sabtu (18/1).
Dalam diskusi yang digelar Ikatan Alumni Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran (Ikahi Unpad) tersebut, Jose menjelaskan dengan gamblang keuntungan lain, seperti di bidang ekonomi. Seperti dalam ekspor kelapa sawit, negara-negara anggota BRICS, mengimpor 62 persen dari total produksi sawit Indonesia.
“Sehingga perdagangan bisa lebih lancar, apalagi jumlah populasi anggota BRICS mencapai 45% populasi dunia, yakni sekitar 900 juta orang,” ujar Jose.
Sehingga, selain produksi, keanggotaan BRICS juga bisa menjadi pasar diantara negara anggota BRICS.
Selain itu, total kemampuan ekonomi BRICS sampai 35% dari GDP dunia, dilihat dari purcashing power parity atau daya beli masyarakat.
“G7 saja masih 30%,” ujar Jose.
Menurut Jose, dari kelebihan-kelebihan tersebut, meski di depan mata, tetap harus waspada. Karena, saat ini, ekonomi dunia yang sedang lesu dan mengalami tantangan keras. Termasuk berkelompoknya negara secara Geopolitik dan Geoekonomi, sehingga kehidupan di G7 atau kelompok negara maju pun saat ini tak mudah.
Dalam peta Geopolitik saat ini, menurut Jose, Indonesia dengan masuk BRICS, bisa menjadi jembatan antara BRICS dan OECD. OECD adalah kelompok negara maju yang didominasi negara Barat.
Indonesia, pada 2024, sudah melamar menjadi anggota OECD, namun belum mendapat persetujuan para anggotanya. Dengan basis politik luar negeri bebas aktif, Indonesia di BRICS, kata Jose, hanya mengambil manfaat ekonomi, bukan posisi politiknya.
“Jembatan ini bisa efektif, karena posisi politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, sehingga antara BRICS, dan OECD bisa terhubung,” ujar Jose.
Paparan Dubes Jose didukung Asisten Deputi Stabilisasi Harga Kemenko Pangan Siradj Parwito, yang menilai langkah Indonesia tepat masuk BRICS, lantaran sejumlah hal yang bisa menguntungkan dalam bidang perdagangan. Termasuk soal ekspor sawit. Indonesia sudah sulit mengekspor sawit ke Eropa. Lantaran sawit Indonesia seolah sudah menjadi ideologi bagi Eropa, sehingga sulit masuk.
“Daripada kita ngotot ke Eropa, padahal ini soal ideologi (lingkungan hidup) bukan semata ekonomi. Kalau kita ke Amerika Serikat, kita penuhi syarat, produk kita bisa masuk. Tapi yang namanya Uni Eropa, kita penuhi aturannya, bisa muncul aturan baru lagi,” ujar Siradj.
Dalam diskusi tersebut, Siradj menjelaskan posisi Indonesia di BRICS, sebagai diplomat senior dari Kementerian Luar Negeri. Saat ini, Siradj ditugaskan di Kemenko Pangan.
Lebih lanjut, menurut Siradj, ada bank pembangunan BRICS, yakni New Develpoment Bank atau NDB, yang bisa dimanfaatkan Indonesia untuk pendanaan berbagai proyek pembangunan.
“NDB ini sumber alternatif pembiayaan pembangunan. Seperti refinancing proyek-proyek kita supaya bankable (layak kredit bank). Ini kata kuncinya, bankable. Bagaimana proyek-proyek kita yang berisiko tinggi, bisa menggunakan dana seperti NDB,” ungkap Siradj.
Proyek penuh resiko yang dimaksud adalah proyek di mana investor swasta yang menimbang untung rugi, enggan masuk, lantaran tak ramah bagi sang investor. Seperti proyek Geotermal Indonesia yang berisiko tinggi dan harus menyertakan PLN.
“Kebijakan pelistrikan kita kan unik nih, karena PLN monopoli, jadi investor berpikir beberapa kali. Nah, proyek semacam ini yang direstrukturisasi Kementerien Keuangan,” tutur Siradj.
Tapi, kenyataannya meski sudah masuk BRICS, langkah Indonesia masih mendapat kritik dari para pengamat dan akademisi ekonomi politik. Salah satunya, karena proses pembuatan kebijakannya yang tidak jelas kapan, tapi tiba-tiba ada keputusan.
Irman Gurmilang Lanti, dosen Politik Luar Negeri Universitas Padjadjaran, menilai proses semacam tidak baik. Karena tidak menyertakan masyarakat yang bisa memberikan diskursus dan pencerahan bagi masyarakat umumnya.
“Saya tahu kajiannya masih belum selesai, ini kan yang buat teman-teman di Kementerian Keuangan,” ujar Irman, yang selama belasan tahun menjadi ahli ekonomi politik di badan-badan PBB.
Menurut dia, perdebatan justru muncul setelah Indonesia melamar sebagai anggota BRICS.
“(Mahluk) Apa ini? Untung ruginya baru dibahas. Ini jadi terbalik, ibaratnya bukan kuda menarik kereta, tapi kereta menarik kuda.”
Dia mengamati proses pembuatan kebijakan Presiden Prabowo Subianto, mirip pendahulunya, Jokowi.
“Proses pembuatan kebijakan publik sangat amburadul di zaman Jokowi, saya pikir dan berharap tadinya, dibereskan di zaman Prabowo. Ternyata sama amburadulnya,” kata Irman.
Selain menyindir politik luar negeri, Irman menyindir polemik pagar laut 30 kilometer yang bisa tiba-tiba muncul dan ramai di publik. Karena ramai di publik, baru dibereskan. “Ini jadi membingungkan.”
Irman setuju, bila Indonesia harus memilih, antara BRICS dan OECD, bila ingin bertahan di tengah perekonomian global yang semakin keras persaingannya. Sebelum ke BRICS, Indonesia saat Jokowi tengah melamar ke OECD. Namun belum ada kejelasan status, tiba-tiba Indonesia di bawah Prabowo melamar ke BRICS dan disetujui.
Menurut Irman, Indonesia lebih cocok masuk ke OECD.
“Kalau ke OECD, kita masuk kelompok elite ekonomi dunia. Rating kredit pasti naik. Orang akan lihat Indonesia sebagai jaminan mutu, kalau saya mau investasi, tidak perlu cemas. Uang saya pasti aman.” Sebaliknya, menurut dia, Indonesia masuk BRICS,”Apakah orang bilang Indonesia aman karena masuk BRICS? Enggak.”
Saat ini, Indonesia dipandang Barat bermain dua kaki. Masalahnya, kata Irman, dengan peta politik saat ini, terutama setelah Senin (20/1), Donald Trump dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat, kondisi ekonomi global bakal lebih sulit.
“Dia belum dilantik saja sudah bilang tarif, tarif, tarif. Ancaman ini bakal nyata atau enggak? Menurut saya nyata.”
Kata Irman, Trump bakal memukul Tiongkok dengan tarif. “Rusia juga dipukul dengan tarif. Nah kita yang diasosiasikan dengan kelompok negara BRICS, apakah juga dipukul dengan tarif? Kalau iya, apakah ekonomi kita cukup kuat menghadapinya?” ujar Irman.
Ini pekerjaan rumah tambahan diplomat Indonesia. “Kita mesti menjelaskan kepada Washington (pemerintah AS dan sejumlah lembaga keuangan dunia), London (pemerintah Inggris), Paris (Paris Club, konsorsium utang Indonesia, dan IMF). Kita tidak memusuhi OECD, tidak memusuhi Barat.”
Irman menilai, semangat Indonesia menjadi jembatan penghubung BRICS dan OECD tidak realistis.
“Jembatan itu kan menghubungkan antara satu dengan yang lain. Kalau dua-duanya tidak mau dihubungkan, bagaimana dong?”
Menurut Irman, keanggotaan di BRICS kurang efektif, karena selama ini, Indonesia sudah bagus perdagangannya dengan Tiongkok, Rusia, Brasil, India yakni para pendiri awal BRICS.
“Tiongkok mitra dagang nomor satu Indonesia. India nomor tiga, Rusia dan Brasil, kita impor teknologi, termasuk persenjataan. Lalu apa yang bisa kita lakukan di BRICS, yang tidak kita bisa lakukan di level bilateral?”
Dosen Hubungan Internasional Unpad, Teuku Rezasyah menilai masuknya Indonesia ke BRICS sudah menjadi keputusan pemerintah. Yang penting saat ini, kata dia, bagaimana sosialisasi bahwa Indonesia memang mendapat manfaat dengan bergabung di BRICS.
Reza memberikan resep dengan melakukan penyamaan pikiran atau paradigma. “Untuk menjadi isu nasional, level tought nya harus sama nih di pemerintah, lembaga negara, kementerian. Rumuskan semua dalam konstelasi strategis dengan penjabaran yang tepat.”
Selanjutnya, words alias kata-kata kunci. Kata kunci penting dilakukan dalam dialog sehari-hari. Dengan BRICS, Indonesia bisa menjadi titik tengah dalam implementasi Gerakan Non Blok dengan politik luar negeri yang bebas aktif. “Harus dinyatakan tertulis. Bukan hanya di pemerintah tapi juga masyarakat.”
Setelah itu, ke habit atau kebiasaan di lingkungan pemerintah. Kata kunci diulang terus sehingga menjadi kebiasaan. Terakhir harus menjadi karakter.
“Supaya bisa beradaptasi dengan baik dalam keanggotaan BRICS,” ujar Reza.
Reza menilai BRICS saat ini cocok dengan karakter Indonesia yang memperjuangan kerjasama Selatan-Selatan atau Global South.
Dalam karakter ini, kata Reza, Indonesia bisa ikut menentukan reformasi PBB, khususnya dalam berbagai keputusan untuk isu penting yang seringkali didominasi Barat dan mendapat veto. Anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang menjadi tulang punggung PBB, seringkali tak sepaham dengan sejumlah isu yang tak menguntungkan Barat.
Tapi, kata dia, meski termasuk negara yang menjadi pengatur BRICS kelak, Indonesia saat ini tak boleh santai. Di level ASEAN, Gerakan Non Blok, dan APEC, Indonesia adalah leader. Namun karakternya berbeda dengan BRICS.
“Kita harus belajar cepat, apa yang sudah dilakukan Tiongkok, Rusia, Brasil, India. Ini termasuk pertarungan budaya. Budaya Tiongkok, Rusia, India,” pungkasnya. (Z-1)
Duta Besar Jepang untuk Indonesia Masaki Yasushi mendorong pelajar asal Indonesia untuk mengambil studi di 'Negeri Matahari Terbit'.
Festival ini jadi simbol kuat eratnya hubungan bilateral yang harmonis, menegaskan posisi Indonesia sebagai mitra budaya signifikan di level internasional.
Rod Brazier sebelumnya menjabat sebagai Deputy Secretary di Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia, yang bertanggung jawab untuk isu pembangunan dan multilateral.
Masjid Al Hikmah Den Haag menjadi salah satu tujuan warga masyarakat yang ingin menunaikan salat Idul Fitri.
Gubernur Jateng Ahmad Luthfi, menerima kunjungan Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia, Wang Lutong, beserta delegasi investor dan perwakilan bank, pada 19 Maret 2025.
PRIA berkacamata dan peci hitam itu alias Dubes Inggris dengan cekatan menumbuk kenari untuk dijadikan sambal khas Maluku.
Indonesia menyesalkan kegagalan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam mengesahkan rancangan resolusi yang menyerukan gencatan senjata permanen di Gaza.
Pakar HI Hikmahanto Juwana menyampaikan perjanjian ekstradisi antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura telah berlaku efektif sejak 21 Maret 2024.
PENGUNDIAN babak kualifikasi Piala Asia U-23 2026 resmi dilakukan. Indonesia harus bersaing di Grup J bersama tim kuat Korea Selatan (Korsel)
BADAN Pengelola Investasi (BPI) Danantara mengumumkan penandatanganan Nota Kesepahaman dengan perusahaan pertambangan asal Prancis, Eramet
P2KM Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Yayasan Cendekia Muda Madani menggelar bedah buku
Adapun ruang lingkup kerja sama yang dilakukan yaitu pengembangan sistem klaim digital dan pengembangan sistem pembayaran kepada seluruh fasilitas kesehatan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved