Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Relawan Libanon Gotong Royong di Tengah Agresi Israel

Ferdiand Ananda Majni
04/10/2024 06:44
Relawan Libanon Gotong Royong di Tengah Agresi Israel
PM Libanon Najib Mikati(AFP/JOSEPH EID )

DAPUR umum nirlaba Nation Station di Beirut, Libanon, menjadi lebih ramai. Para relawan bergerak ke sana kemari, mondar-mandir, menumpuk makanan di atas meja. 

Di belakang mereka, yang lain mengaduk daging, menanak nasi, atau memotong selada sambil berbicara secara singkat.

Dapur umum di lingkungan Geitawi, awalnya didirikan setelah ledakan Pelabuhan Beirut tahun 2020. Kini para relawan di sana berupaya membantu warga yang kehilangan tempat tinggal akibat serangan udara Israel baru-baru ini. 

Baca juga : Tiongkok Kecam Serangan Israel ke Libanon

Organisasi tersebut telah meningkatkan jumlah pasokan makanannya sebagai tanggap darurat sejak Selasa (24/9) dan mendistribusikannya ke berbagai sekolah yang digunakan sebagai tempat penampungan. 

Organisasi ini menyiapkan 700 makanan sehari dan berharap dapat meningkatkan jumlah ini.

“Lima puluh kali makan!”, salah satu sukarelawan berteriak kepada rekan-rekannya sambil memperhatikan patokannya. 

Baca juga : Serangan Israel Tewaskan Pemimpin Hamas di Beirut

Mereka membalas semangat tersebut dengan keceriaan bersama tanpa jeda dari tugasnya.

Satu juta orang mengungsi 
Sejak Israel mulai membombardir wilayah selatan Libanon, Lembah Bekaa di timur dan pinggiran selatan Beirut mulai penuh sesak. Lebih dari 110.000 orang telah mengungsi dari rumah mereka di Libanon selatan selama 11 bulan serangan lintas batas.

Peningkatan eskalasi pada Senin lalu memaksa lebih banyak orang untuk mengungsi dan situasinya menjadi lebih mengerikan ketika Israel meratakan seluruh blok di pinggiran selatan Beirut dan juga membunuh Sekretaris Jenderal Hizbullah Hassan Nasrallah dan pejabat lain dari kelompok tersebut. 

Baca juga : Cuma Beberapa Menit usai Perintah Evakuasi, Israel Serang Beirut Selatan

Tentara Israel kemudian meminta sebagian besar warga di wilayah pinggiran Beirut, yang sudah hancur akibat serangan minggu sebelumnya untuk dievakuasi.

Pada hari-hari berikutnya, Perdana Menteri Najib Mikati mengatakan sebanyak satu juta orang  atau sekitar seperlima penduduk negara itu menjadi pengungsi. 

Kementerian Pendidikan Libanon menetapkan sejumlah sekolah sebagai tempat penampungan sementara bagi para pengungsi sementara tingkat hunian hotel dan apartemen sewaan meningkat. 

Baca juga : Israel Serang Perdana Beirut, Tiga Pemimpin Palestina Tewas

Namun di luar itu, kapasitas negara Libanon terbatas. Negara ini terjebak pada tahun kelima krisis ekonomi dan perbankan yang menghancurkan. Bahkan sebagian besar para ahli menyalahkan kinerja elite yang berkuasa.

Mengatasi kekurangan
Ketika pemerintah, PBB atau LSM internasional mengalami kegagalan, inisiatif seperti Nation Station dapat mengisi kekosongan tersebut.

“Nation Station dimulai sehari setelah ledakan 4 Agustus 2020,” kata Josephine Abou Abdo, salah satu pendiri Nation Station kepada Al Jazeera. 

“Kami menanggapi kebutuhan darurat saat itu dan sejak agresi Israel pada hari Senin, kami telah memasak makanan untuk mereka yang membutuhkan," sebutnya.

Para relawan memasak sarapan, makan siang, dan makan malam untuk para pengungsi dan diantar ke tempat penampungan. 

"Totalnya, membuat 700 porsi makanan setiap hari. Membuat makanan sebanyak itu membutuhkan banyak biaya," ujarnya.

Abou Abdo mengatakan kelompok tersebut secara aktif mencari sukarelawan untuk membantu memberi makan para pengungsi.

Pihak lain yang bukan bagian dari inisiatif seperti Nation Station juga telah mengambil tindakan, mengajak keluarga ke rumah mereka, menyumbangkan darah atau mendistribusikan air kepada orang-orang yang terdampar di jalan raya.

Influencer
Di lingkungan Ramlet al-Bayda di Beirut, beberapa siswa sibuk berjalan bolak-balik. Dengung sistem sirkulasi udara yang terus-menerus meredam suara obrolan. 

Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, beberapa membuat kotak, sementara yang lain mengisinya dengan bahan pokok seperti makanan kering, air atau perlengkapan kebersihan. 

Setelah kotak-kotak itu selesai dibuat, kelompok-kelompok tersebut membentuk jalur perakitan untuk menyerahkannya ke dalam van putih yang diparkir saat seorang pemuda memberikan instruksi. Setelah penuh, van berangkat ke bagian negara yang paling membutuhkan.

Inisiatif ini diprakarsai oleh tiga influencer media sosial, Ghena Sandid, Farah Dika, dan Sara Fawaz. 

Ketiganya, yang tidak memiliki organisasi atau asosiasi dan belum memberi nama inisiatif mereka. Hanya memobilisasi pengikut mereka untuk mengisi garasi parkir bawah tanahnya, serta mengatur dan mengirimkan bantuan. 

Orang-orang dari luar negeri juga telah menyumbangkan uang untuk upaya bantuan tersebut. Namun dengan runtuhnya sistem perbankan Libanon pada tahun 2019, banyak upaya penggalangan dana mengalami kesulitan dalam menyalurkan dana tersebut ke Libanon. 

Untuk mengakalinya, Dika mengatakan kepada Al Jazeera bahwa Western Union telah mencabut batas transfernya.

“Awalnya kami mengira inisiatif ini kecil, hanya sepuluh hingga 15 orang yang membantu,” kata Sandid.

“Jumlah itu dengan cepat berubah menjadi sekitar 450 siswa. Mereka telah memberikan bantuan ke lebih dari 50 sekolah di 30 wilayah di Libanon," sebutnya.

Semua sama

Di luar garasi, seorang remaja bernama Zoey Zein berdiri bersama sekelompok temannya. 

“Saya datang untuk membantu karena saya ingin orang-orang tahu bahwa ada orang yang membantu selama mereka membutuhkannya," ujarnya.

Mobilisasi ini telah memberikan bantuan kepada ribuan orang, namun kelompok tersebut berjuang untuk mengimbangi jumlah pengungsi yang terus meningkat.

“Salah satu kendala yang kami hadapi adalah awalnya kami harus melayani 1.000 orang,” kata Dika. 

"Sekarang jumlahnya mencapai 5.000.” Dika berbicara kepada Al Jazeera pada Jumat sore, hanya beberapa jam sebelum serangan yang menewaskan Nasrallah. 

Sejak itu, jumlah orang yang terpaksa meninggalkan rumah mereka meningkat. Banyak yang tidur di taman atau di tepi pantai. (Fer/P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irvan Sihombing
Berita Lainnya